Tapin (ANTARA) - Rantau, - Petani bawang merah Kabupaten Tapin mengeluhkan masih tingginya harga bibit umbi bawang merah dan harus di datangkan dari pulau Jawa dan Sulawesi.
"Untuk perhekatar lahan, kami perlu menyiapkan dana 40 juta untuk membeli bibit umbi bawang merah," ujar Karlis petani bawang merah desa Pampain, Kecamatan Tapin Selatan.
Selain itu, lamanya perjalanan atau pengiriman bibit umbi bawang merah juga berakibat banyaknya bibit yang rusak karena busuk dan lainnya, bahkan setiap pengiriman hampir 25 persen bibit rusak.
"Kami pernah mencoba memproduksi bibit umbi sendiri dengan harapan biar lebih ekonomis, namun gagal karena banyak yang rusak," ujarnya.
Dengan tingginya harga bibit umbi bawang merah tersebut, beberapa petani bawang merah di Tapin mulai beralih teknologi ke bibit biji yang tentunya harganya lebih murah.
"Ada beberapa petani memulai beralih ke bibit biji, namun masih tahap uji coba, karena kebiasaan petani disini dengan umbi, jadi tentu perawatannya lebih mudah," ujarnya.
Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Dinas Pertanian Tapin, Wagimin mengatakan bahwa petani bawang merah Tapin belum mampu memprudiksi bibit umbi bawang merah sendiri.
Hal tersebut dikarenakan perawatan bawang merah untuk peroduksi atau di jual kepasaran dengan untuk bibit berbeda, dan kebiasaan petani disini untuk produksi.
"Padahal sudah kami dorong para petani disini agar memproduksi bibit umbi yakni dengan mengumpulkan bawang merah produksi yang kecil-kecil setelah di sortir, itu padahal bisa jadi bibit, tapi malah di buang," ujar Wagimin.
Menanggapi peralihan teknologi dari umbi ke biji, Wagimin mengakui bibit biji lebih murah, namun hasil produksi bawang merah dari biji ini kurang diminati oleh konsumen pasar lokal.
"Iya lebih murah, perbungkusnya kalau tidak salah 1,2 juta, tapi aroma bawangnya kurang, jadi konsumen disini kurang minat bawang dari bibit biji tersebut," ujarnya lagi.