Amuntai, (Antaranews Kalsel) - Sebanyak 23 anak-anak punk dalam dua pekan terakhir terjaring razia Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, karena dianggap meresahkan masyarakat.
Kepala Satuan polisi Pamong Praja (Satpol-PP), Kabupaten Hulu Sungai Utara Sugeng Riyadi di Amuntai, Selasa mengatakan, dua hari terakhir mengamankan sebanyak 18 anak punk, dua di antaranya perempuan, jadi yang terjaring hingga kini sebanyak 23 orang.
Menurut Sugeng, penampilan anak punk yang terkesan seperti, gelandangan bahkan seperti preman karena bertato, dianggap memberikan contoh negatif bagi generasi muda.
Aktivitas mereka yang mengamen dan meminta-minta juga dianggap meresahkan masyarakat.
Mereka yang terjaring akan didata Satpol PP, anak punk tersebut juga diminta melepaskan atribut seperti anting-anting ,dan menandatangani surat pernyataan tidak mengulangi kegiatan seperti mengamen, meminta-minta dan kegiatan lainnya yang dianggap meresahkan masyarakat.
Seorang warga Desa Tambalangan, Amuntai, Ali Abdillah yang mengaku menampung lima orang anak funk yang terjaring di Plaza Amutai, juga diminta menandatangani surat pernyataan bersedia bertanggung jawab jika anak funk yang ditampungnya masih berkeliaran dan mengganggu ketertiban masyarakat.
Kasi Perlindungan Masyarakat Satpol PP Hulu Sungai Utara H. Hanafi menambahkan pihaknya terpaksa memberikan sanksi apabila anak-anak punk yang terjaring masih kedapatan berkeliaran di kota Amuntai.
"Jika anak punk yang sudah terjaring dan diberi peringatan ini masih tertangkap lagi bisa kami kenakan sanksi tegas, seperti, dicukur botak, dan bahkan sanksi kurungan," kata Hanafi dalm rilisnya.
Hanafi mengatakan penampilan komunitas funk yang terkesan premanisme
cenderung menimbulkan keresahan masyarakat, apalagi sebagian besar anak funk yang terjaring tidak bisa memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Seorang anak punk Muhammad Andi (17) mengaku warga Amuntai mencoba membela diri saat diintrograsi petugas Satpol PP, dan petugas Polres Hulu Sungai Utara.
"Kami juga manusia, bukan hewan, kami bukan preman apalagi teroris," katanya.
Andi yang mengaku sempat bersekolah di pondok pesantren meski tidak lulus menganggap pekerjaan mereka seperti mengamen tidak meresahkan masyarakat.