Jakarta (ANTARA) - Sepuluh dari 12 klub yang mendirikan Liga Super Eropa memang sudah mundur dari skema kontroversial itu, namun gagasan liga ini jauh dari kata mati.
Pemilik Juventus Andrea Agnelli bahkan masih "yakin kepada keindahan proyek itu", sedangkan Florentino Perez, presiden Real Madrid yang dinobatkan sebagai ketua Liga Super Eropa, menjadi yang paling ngotot sampai kini, ketika Atletico Madrid, Manchester United, Manchester City, Chelsea, Arsenal, Tottenham, Inter Milan dan AC Milan, sudah meninggalkan rencana yang oleh hampir semua kalangan sepak bola disebut semata karena motif uang.
Perez memang yang paling ngotot mendorong terwujudnya liga itu. Ini karena, bersama Barcelona, Madrid tengah dihimpit kesulitan finansial besar akibat pandemi virus corona yang nyaris tak sanggup mereka pikul.
Menurut Deloitte, pendapatan 20 besar klub Eropa memang anjlok 12 persen dari nilai tahun lalu sebesar 8,2 miliar euro. Tetapi adalah Madrid dan Barcelona yang paling kelimpungan.
Kedua klub pusing tujuh keliling mencari jalan keluar untuk mengkompensasikan beban 1 miliar euro (Rp17,5 triliun) yang sulit diperoleh dari pasar transfer era pandemi. Pemain yang mereka jual terlalu mahal untuk dibeli klub lain, sebaliknya pemain yang ingin mereka beli terlalu mahal bagi kantong mereka yang mengempis digerogoti pandemi.
Madrid sedang kesusahan menutup dana untuk rehabilitasi stadion supermahal, sedangkan Barca kesulitan membayar gaji pemain-pemainnya yang di atas rata-rata Eropa itu.
Perez juga bernafsu menumbangkan supremasi keuangan Liga Inggris yang berbeda dengan La Liga dibangun di atas kesetaraan klub-klubnya. Perez ingin laga-laga sepak bola Spanyol bisa seheboh Inggris sehingga pemasukan dari hak siar, sponsor dan tiket mengalir deras ke Spanyol.
Perez bahkan kemudian ingin masyarakat cukup dipuaskan oleh pertandingan antar-tim besar, misal Manchester City melawan Real Madrid, bukan misalnya Manchester City melawan tim kecil dari Kazakhstan yang pasti tak menarik.
Impian Perez yang terakhir itu adalah juga impian lama klub-klub besar Eropa. Mereka ingin membuat kompetisi di antara para raksasa yang memiliki basis penggemar besar di dunia karena yakin pertandingan-pertandingan antar mereka niscaya ditonton banyak orang di seluruh dunia. Dan ini adalah jaminan bagi masuknya hak siar, sponsor dan iklan yang luar biasa besar.
Dengan cara seperti ini pula aliran pendapatan terjamin, sekalipun saat ditempa situasi krisis akibat pandemi. Ini mirip dinikmati klub-klub bola basket NBA di Amerika Serikat yang kompetisinya tidak mengenal degradasi dan promosi.
Perez tak menemukan cara bagaimana harus memulai semua itu, sampai suatu saat mengetahui situasi pandemi juga membuat para konglomerat AS yang memiliki tiga dari enam klub Liga Inggris pendiri Liga Super Eropa, merintih karena rugi.
Keluarga Glazer yang menguasai Manchester United, Fenway Group yang mengendalikan Liverpool dan Keluarga Kroenka yang memiliki Arsenal, semuanya merugi. Mandeknya pemasukan tapi naiknya beban keuangan oleh ketidakpastian kompetisi dan performa tim yang fluktuatif membuat mereka menyambut gagasan Perez.
Meniadakan ketidakpastian
Mereka sendiri berharap ada sistem kompetisi yang memastikan aliran pemasukan keuangan tak terganggu oleh performa tim, khususnya Liga Champions, yang menjadi sumber pemasukan besar bagi klub-klub Eropa. Dan memang tidak tampil dalam Liga Champions sama artinya kehilangan pemasukan besar yang bisa membuat pemilik klub tak nyaman.
Manchester United bahkan terlempar dari tiga klub paling makmur di dunia. Dan ini sebagian gara-gara tak begitu sukses dalam menapaki Liga Champions belakangan tahun ini.
Mereka merasa membutuhkan sistem baru untuk meniadakan ketidakpastian sampai kemudian Perez datang membawa proposal Liga Super Eropa.
Skema ini berpotensi memastikan sirnanya ketidakpastian karena klub-klub pendiri selamanya tak akan tercampakkan karena kompetisi ini tak mengenal degradasi atau promosi seperti dikenal dalam kompetisi sepakbola Eropa saat ini.
Skema itu mirip dengan liga-liga olahraga profesional AS seperti Major League Baseball (MLB), National Basketball Association (NBA), dan National Football League (NFL) yang menarik perhatian para pemilik 12 klub Liga Super Eropa karena sistem ini memastikan stabilitas aliran revenue dan keamanan investasi.
Dalam sistem itu, jika Arsenal kalah terus, keuangan Arsenal tak akan jatuh. Dalam kata lain, neraca keuangan tak terpengaruh oleh naik turun prestasi di lapangan hijau.
Situasi itu kebalikan dari Liga Champions. misal, jika Liverpool tidak lolos Liga Champions musim ini, maka pendapatan The Reds musim depan tergerus yang akhirnya bisa merusak aliran laba kepada pemilik dan mengganggu kelancaran investasi.
Sebelum menguap dalam waktu 50 jam karena ditentang otoritas sepak bola internasional, otoritas liga domestik, berbagai pemerintahan, penggemar, pemain dan pelatih, Liga Super Eropa hampir saja terlaksana.
Jadwal kickoff bahkan sudah dipasang Agustus tahun ini. Mereka juga sudah menghubungi Amazon, Facebook, Disney, dan Sky untuk negosiasi hak siar. Dan yang tak kalah penting mereka siap membentuk sebuah perusahaan pengelola Liga Super Eropa yang sahamnya dimiliki oleh ke-12 klub itu, plus tiga lainnya yang tetap kosong karena Paris Saint Germain, Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund menentangnya.
Ke-12 klub kemudian bakal meminjam miliaran dolar AS dari bank yang memahami skema kompetisi model ini, selain memiliki reputasi dalam kompetisi olahraga dan “mengenal betul” para pencetus liga ini.
Pilihan lalu jatuh kepada JPMorgan Chase, bank terbesar Amerika Serikat yang biasa terlibat dalam liga-liga olahraga di AS dan mengelola asset 3 triliun dolar AS (Rp43.626 triliun) dengan bidang usaha merentang dari pendanaan ritel sampai investasi dan korporat.
Kapatalisme pasar yang curang
Ternyata, ada titik temu antara JPMorgan dengan sebagian dari para pemilik klub-klub itu, yakni Glazer si pemilik MU, Fenway Group sang pemilik Liverpool dan Keluarga Kroenka yang menguasai Arsenal adalah warga Amerika yang sudah pasti akrab dengan sepak terjang JPMorgan.
JP Morgan sendiri berkolaborasi dengan Key Capital yang salah satu investornya adalah pengusaha Spanyol bernama Borja Prado yang merupakan sahabat Florentino Perez.
JPMorgan dan Key Capital sepakat membenamkan dana maksimum 5 miliar dolar AS (Rp72 triliun) untuk mendanai Liga Super Eropa.
Dengan jumlah sebesar itu, pendanaan untuk liga ini menjadi kesepakatan pendanaan olahraga terbesar pada 2021 dan bakal menghadiahkan keuntungan luar biasa besar kepada JPMorgan yang akan menarik bunga antara 2 sampai 3 persen untuk 5 miliar dolar AS yang mereka benamkan itu.
Deloitte yang membuat laporan tahunan keuangan sepak bola menyebut kesepakatan itu menciptakan perubahan amat besar dalam dunia bisnis sepak bola.
Selama puluhan tahun belakangan ini, bisnis olahraga memang sudah menjadi pasar yang demikian cepat berkembang seiring dengan kian besarnya nilai hak siar televisi yang melonjak sampai miliaran dolar AS.
Pertumbuhan pasar setinggi ini sangat menarik perhatian investor ekuitas, pengelola dana investasi negara (sovereign wealth fund) dan bankir.
JPMorgan bahkan mendirikan tim keuangan olahraga akhir 1990-an dan bekerjasama dengan para pemilik klub olahraga. Salah satu klien terbesarnya adalah Stan Kroenke, miliarder pemilik Arsenal FC, klub NFL Los Angeles Rams, dan klub NBA Denver Nuggets. JPMorgan meminjamkan dana 2 miliar dolar kepada Kroenke untuk mendanai proyek Stadion Inglewood, markas Rams.
JPMorgan terus terlibat dalam membantu klub-klub olahraga dan pemilik-pemiliknya mendanai akuisisi tim, membangun stadion, modal kerja dan likuiditas lain yang dibutuhkan klub.
Komitmen dan keterlibatan dalam olahraga ini membuat JPMorgan dianggap mitra sangat strategis oleh para pendiri Liga Super Eropa. Lebih dari itu mereka memiliki tujuan sama, yakni memastikan adanya stabilitas pemasukan keuangan dari kompetisi olahraga yang tak terganggu performa tim dalam kompetisi.
Tetapi justru cara ini membuat mereka membuat Liga Super Eropa tak lebih dari salah satu wujud bahwa kapitalisme global berjalan di atas dasar pasar yang curang, bukan pasar bebas, dan mereka yang mengelola kompetisi ini hanya tertarik memperlebar kesenjangan yang sudah ada.
Tak heran para pemilik klub yang menjadi perancang-perancangnya dituding rakus dan tak pernah puas pada apa yang sudah mereka dapatkan, justru ketika komunitas sepak bola merintih karena merugi dan bahkan ada yang gulung tikar gara-gara pandemi.
Kompetisi ala mereka itu juga mengingkari esensi kompetisi olahraga dan melulu menganggap pemain, pelatih dan penggemar sebagai wayang untuk pertunjukan melalui mana mereka mengeduk keuntungan materi belaka.
Tak heran, prakarsa itu cuma bertahan 50 jam. Namun apakah ide tersebut mati? Sepertinya tidak, karena kompetisi dan klub mustahil tak membutuhkan modal dan pemodal.
Tetapi sepak bola dan dunia olahraga seharusnya tak membiarkan diri dieksploitasi untuk menjadi semata ladang uang bagi pemilik-pemiliknya.