Masalah yang perlu dibenahi dari SEA Games 2019
Minggu, 15 Desember 2019 9:22 WIB
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah mengklaim bahwa prestasi Indonesia di SEA Games 2019 tidak terlalu buruk, mengingat dengan separuh atlet junior yang dikirimkan, Indonesia mampu melampaui target perolehan medali emas yang dicanangkan.
Prestasi Indonesia memang lebih baik jika dibandingkan dengan SEA Games edisi sebelumnya di Malaysia yang kala itu berada di peringkat kelima. Sementara pada tahun ini, Merah Putih naik satu peringkat ke urutan keempat dengan perolehan 72 emas, 83 perak, dan 111 perunggu.
Bukan hanya naik peringkat, Kontingen Indonesia juga berhasil melampaui target medali dari Presiden Joko Widodo yang meminta 60 emas. Sayang, Indonesia masih belum mampu memenuhi satu permintaan lain, yakni finis di dua besar klasemen.
Kendati demikian, prestasi tersebut masih menyisakan kehampaan karena medali yang diraih Indonesia lebih banyak disumbangkan cabang tak terukur. Sementara cabang terukur seperti akuatik dan atletik justru belum mampu menunjukkan kejayaannya.
Indonesia harus kecolongan banyak medali di dua cabang olahraga olimpiade itu. Pada cabang akuatik, Indonesia hanya mampu menyumbangkan dua medali emas dari 38 yang diperebutkan. Hasil tersebut mengantarkan Indonesia tak berkutik di cabang ini karena hanya finis di urutan keenam, sangat tertinggal jauh dengan Singapura yang terlalu digdaya di peringkat pertama dengan perolehan 23 emas.
Pun demikian dengan cabang atletik yang hanya meraih lima keping emas dari 49 nomor yang dipertandingkan. Hasil tersebut menempatkan Indonesia berada di posisi kelima, tertinggal jauh dengan Vietnam dan Thailand.
Berbicara soal perolehan medali emas pun masih didominasi oleh atlet senior meski pada kenyataanya sebanyak 60 persen kontingen diisi oleh atlet junior.
Pada cabang renang, satu-satunya medali emas diraih oleh perenang senior I Gede Siman Sudartawa pada nomor 50 m gaya punggung. Sementara beberapa perenang junior seperti Azzahra Permatahani dan Farrel Armandio Tangkas bisa dibilang sudah tampil gemilang karena mampu menyumbangkan medali perak.
Begitu juga dengan cabang atletik. Lima medali emas itu digondol oleh para atlet senior yang sudah berpengalaman di berbagai kejuaraan internasional. Mereka adalah Agus Prayogo (marathon), Hendro Yap (jalan cepat 20 km), Sapwaturrahman (lompat jauh), Maria Natalia Londa (lompat jauh), dan Emilia Nova (lari gawang). Sementara para atlet junior, masih belum mampu bicara banyak di kejuaraan level Asia Tenggara itu.
Sementara cabang angkat besi, beberapa atlet junior tampaknya mulai memberikan harapan baru. Sebut saja Windy Cantika Aisyah yang sukses meraih emas di kelas 49 kg putri serta Rahmat Erwin Abdullah yang menyumbangkan satu keping lainnya di kelas 73 kg putra.
Apa yang salah?
Melihat kondisi tersebut, pengamat olahraga nasional Budiarto Shambazy menilai bahwa ada yang salah dalam pembinaan atlet dan sistem keolahragaan di Indonesia.
Alasan tersebut semakin masuk akal karena jika menengok ke belakang, Indonesia yang baru mengikuti ajang SEA Games 1977, mampu langsung menyabet gelar juara umum. Bahkan prestasi tersebut terulang pada SEA Games 1979, 1981, 1983, 1987, 1989, 1991, 1993, 1997, dan 2001.
Namun dominasi Indonesia terhenti pada SEA Games 1999, 2001, dan 2003 yang kala itu tim Merah Putih harus puas finish di urutan ketiga. Prestasi tersebut seketika merosot hingga ke posisi kelima pada SEA Games 2005, yang merupakan catatan terburuk di sepanjang pesta olahraga Asia Tenggara itu.
Catatan buruk itu terulang kembali pada SEA Games 2017 Malaysia. Indonesia seakan rapuh tak berdaya dikalahkan oleh tuan rumah, Thailand, Vietnam, dan Singapura.
Budiarto menilai masalah itu masih mengakar kuat hingga sekarang karena birokrasi olahraga yang terlalu rumit dan anggaran yang banyak tersedot untuk hal yang tidak perlu.
"Terlalu banyak organisasi yang mengurus pembinaan kita seperti Kemenpora KOI, KONI. KONI aja itu sampai daerah. Belum pengurus besar setiap cabang olahraga. Harus segera dilakukan penyederhanaan beban organisasi," ujar Budiarto.
"Harus dilakukan reformasi birokrasi olahraga. Jadi yang mengurus gak perlu banyak-banyak, disatukan saja. Pemisahan itu konsekuensinya menambah anggaran. Jadi uang tersedot bukan untuk atlet, tapi pengurus, "katanya menjelaskan.
Masalah lain yang perlu dibenahi, lanjut Budiarto, adalah dana pembinaan atlet. Ia menilai anggaran Rp1,95 triliun pada 2019 perlu ditambah agar prestasi olahraga Indonesia juga terus meningkat.
"Satu tahun cuma Rp2 triliun itu sangat kurang. Idealnya tiga kali lipat dari jumlah sekarang," katanya.
Apa yang dikatakan oleh Budiarto semakin tampak relevan kala beberapa pengurus cabang olahraga mengeluhkan dana Pelatnas yang telat turun sehingga menyebabkan persiapan tampil di SEA Games kurang matang.
Kepala Bidang Pembinaan Prestasi Olahraga (Kabidbinpres) PB PRSI Wisnu Wardhana mengakui bahwa Pelatnas akuatik untuk SEA Games 2019 kurang persiapan yang matang.
"Kita melihat dari hasil kemarin (SEA Games 2109) prestasinya kita akui kurang dan persiapannya harus lebih baik lagi. Untuk kedepannya kita ingin pelatnas terus jalan namun kita terkendala dana," kata Wisnu.
Wisnu berharap Indonesia dapat mencontoh Singapura dan Vietnam yang sudah mulai memfokuskan pembinaan pada cabang renang sejak 20 tahun yang lalu. Salah satu upayanya adalah mengirim atlet untuk melakukan training camp dan kompetisi di luar negeri, pembinaan jangka panjang serta mempersiapkan Pelatnas sedini mungkin.
"Sekarang cabang renang Singapura dan Vietnam itu memetik hasil pembinaan yang sudah mereka lakukan sejak 20 tahun yang lalu. Sehingga mereka siap dengan atlet pelapis yang berkualitas," ujar Wisnu.
Pelatih tim nasional renang Indonesia David Armandoni pun berpendapat serupa. Ia mengatakan bahwa atlet junior perlu dibina untuk mempersiapkan mereka menjadi perenang yang memiliki kualitas tak jauh berbeda dari seniornya.
Adapun untuk mempersiapkan mereka ke level itu, David mengatakan bahwa dibutuhkan program serta rencana Pelatnas yang jelas dan dipersiapkan lebih awal.
"Yang harus kita lakukan sekarang adalah melakukan training camp ke luar negeri, memetakan para perenang junior bagaimana mereka bisa mempersiapkan diri menjadi atlet berkualitas karena itu membutuhkan waktu yang lama."
Perhatian Pemerintah
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali juga sadar bahwa cabang olahraga penyumbang medali emas terbanyak seperti renang dan atletik memang perlu perhatian khusus.
Ia mengatakan bahwa saat ini pemerintah tengah melaksanakan rapat koordinasi nasional yang membahas soal masalah dan peningkatan olahraga nasional.
"Kita libatkan kementerian dan lembaga terkait untuk berdiskusi bagaimana kita memajukan olahraga kita khususnya cabang-cabang olahraga yang bisa dipertandingkan di olimpiade dan yang kita punya potensi meraih prestasi," ujar Zainudin.
Ia pun berjanji akan memberikan perhatian khusus serta percepatan pembinaan tidak hanya sepak bola, tetapi juga cabang olahraga olimpiade.
"Sepak bola memang benar ada Inpres (Instruksi Presiden) tersendiri soal percepatan sepak bola nasional. Namun bukan berarti cabor lain kita biarkan. Semua sama pengembangannya," tuturnya.
Dari SEA Games 2019, Indonesia seharusnya bisa memetik pelajaran bahwa untuk bisa menjadi yang terbaik dan membawa pulang banyak medali, dibutuhkan rencana dan persiapan yang matang, tidak mendadak, dan dana yang terpenuhi.
Meskipun SEA Games merupakan wadah berkompetisi bagi atlet muda, namun setidaknya dari ajang ini setiap cabang olahraga dan pemerintah bisa tahu apa yang perlu dibenahi dan ditingkatkan dalam hal pembinaan, terutama pada cabang olimpiade. Hal tersebut menjadi krusial apalagi Indonesia juga ingin mengejar asa untuk turut ambil bagian pada Olimpiade 2020 Tokyo.
Prestasi Indonesia memang lebih baik jika dibandingkan dengan SEA Games edisi sebelumnya di Malaysia yang kala itu berada di peringkat kelima. Sementara pada tahun ini, Merah Putih naik satu peringkat ke urutan keempat dengan perolehan 72 emas, 83 perak, dan 111 perunggu.
Bukan hanya naik peringkat, Kontingen Indonesia juga berhasil melampaui target medali dari Presiden Joko Widodo yang meminta 60 emas. Sayang, Indonesia masih belum mampu memenuhi satu permintaan lain, yakni finis di dua besar klasemen.
Kendati demikian, prestasi tersebut masih menyisakan kehampaan karena medali yang diraih Indonesia lebih banyak disumbangkan cabang tak terukur. Sementara cabang terukur seperti akuatik dan atletik justru belum mampu menunjukkan kejayaannya.
Indonesia harus kecolongan banyak medali di dua cabang olahraga olimpiade itu. Pada cabang akuatik, Indonesia hanya mampu menyumbangkan dua medali emas dari 38 yang diperebutkan. Hasil tersebut mengantarkan Indonesia tak berkutik di cabang ini karena hanya finis di urutan keenam, sangat tertinggal jauh dengan Singapura yang terlalu digdaya di peringkat pertama dengan perolehan 23 emas.
Pun demikian dengan cabang atletik yang hanya meraih lima keping emas dari 49 nomor yang dipertandingkan. Hasil tersebut menempatkan Indonesia berada di posisi kelima, tertinggal jauh dengan Vietnam dan Thailand.
Berbicara soal perolehan medali emas pun masih didominasi oleh atlet senior meski pada kenyataanya sebanyak 60 persen kontingen diisi oleh atlet junior.
Pada cabang renang, satu-satunya medali emas diraih oleh perenang senior I Gede Siman Sudartawa pada nomor 50 m gaya punggung. Sementara beberapa perenang junior seperti Azzahra Permatahani dan Farrel Armandio Tangkas bisa dibilang sudah tampil gemilang karena mampu menyumbangkan medali perak.
Begitu juga dengan cabang atletik. Lima medali emas itu digondol oleh para atlet senior yang sudah berpengalaman di berbagai kejuaraan internasional. Mereka adalah Agus Prayogo (marathon), Hendro Yap (jalan cepat 20 km), Sapwaturrahman (lompat jauh), Maria Natalia Londa (lompat jauh), dan Emilia Nova (lari gawang). Sementara para atlet junior, masih belum mampu bicara banyak di kejuaraan level Asia Tenggara itu.
Sementara cabang angkat besi, beberapa atlet junior tampaknya mulai memberikan harapan baru. Sebut saja Windy Cantika Aisyah yang sukses meraih emas di kelas 49 kg putri serta Rahmat Erwin Abdullah yang menyumbangkan satu keping lainnya di kelas 73 kg putra.
Apa yang salah?
Melihat kondisi tersebut, pengamat olahraga nasional Budiarto Shambazy menilai bahwa ada yang salah dalam pembinaan atlet dan sistem keolahragaan di Indonesia.
Alasan tersebut semakin masuk akal karena jika menengok ke belakang, Indonesia yang baru mengikuti ajang SEA Games 1977, mampu langsung menyabet gelar juara umum. Bahkan prestasi tersebut terulang pada SEA Games 1979, 1981, 1983, 1987, 1989, 1991, 1993, 1997, dan 2001.
Namun dominasi Indonesia terhenti pada SEA Games 1999, 2001, dan 2003 yang kala itu tim Merah Putih harus puas finish di urutan ketiga. Prestasi tersebut seketika merosot hingga ke posisi kelima pada SEA Games 2005, yang merupakan catatan terburuk di sepanjang pesta olahraga Asia Tenggara itu.
Catatan buruk itu terulang kembali pada SEA Games 2017 Malaysia. Indonesia seakan rapuh tak berdaya dikalahkan oleh tuan rumah, Thailand, Vietnam, dan Singapura.
Budiarto menilai masalah itu masih mengakar kuat hingga sekarang karena birokrasi olahraga yang terlalu rumit dan anggaran yang banyak tersedot untuk hal yang tidak perlu.
"Terlalu banyak organisasi yang mengurus pembinaan kita seperti Kemenpora KOI, KONI. KONI aja itu sampai daerah. Belum pengurus besar setiap cabang olahraga. Harus segera dilakukan penyederhanaan beban organisasi," ujar Budiarto.
"Harus dilakukan reformasi birokrasi olahraga. Jadi yang mengurus gak perlu banyak-banyak, disatukan saja. Pemisahan itu konsekuensinya menambah anggaran. Jadi uang tersedot bukan untuk atlet, tapi pengurus, "katanya menjelaskan.
Masalah lain yang perlu dibenahi, lanjut Budiarto, adalah dana pembinaan atlet. Ia menilai anggaran Rp1,95 triliun pada 2019 perlu ditambah agar prestasi olahraga Indonesia juga terus meningkat.
"Satu tahun cuma Rp2 triliun itu sangat kurang. Idealnya tiga kali lipat dari jumlah sekarang," katanya.
Apa yang dikatakan oleh Budiarto semakin tampak relevan kala beberapa pengurus cabang olahraga mengeluhkan dana Pelatnas yang telat turun sehingga menyebabkan persiapan tampil di SEA Games kurang matang.
Kepala Bidang Pembinaan Prestasi Olahraga (Kabidbinpres) PB PRSI Wisnu Wardhana mengakui bahwa Pelatnas akuatik untuk SEA Games 2019 kurang persiapan yang matang.
"Kita melihat dari hasil kemarin (SEA Games 2109) prestasinya kita akui kurang dan persiapannya harus lebih baik lagi. Untuk kedepannya kita ingin pelatnas terus jalan namun kita terkendala dana," kata Wisnu.
Wisnu berharap Indonesia dapat mencontoh Singapura dan Vietnam yang sudah mulai memfokuskan pembinaan pada cabang renang sejak 20 tahun yang lalu. Salah satu upayanya adalah mengirim atlet untuk melakukan training camp dan kompetisi di luar negeri, pembinaan jangka panjang serta mempersiapkan Pelatnas sedini mungkin.
"Sekarang cabang renang Singapura dan Vietnam itu memetik hasil pembinaan yang sudah mereka lakukan sejak 20 tahun yang lalu. Sehingga mereka siap dengan atlet pelapis yang berkualitas," ujar Wisnu.
Pelatih tim nasional renang Indonesia David Armandoni pun berpendapat serupa. Ia mengatakan bahwa atlet junior perlu dibina untuk mempersiapkan mereka menjadi perenang yang memiliki kualitas tak jauh berbeda dari seniornya.
Adapun untuk mempersiapkan mereka ke level itu, David mengatakan bahwa dibutuhkan program serta rencana Pelatnas yang jelas dan dipersiapkan lebih awal.
"Yang harus kita lakukan sekarang adalah melakukan training camp ke luar negeri, memetakan para perenang junior bagaimana mereka bisa mempersiapkan diri menjadi atlet berkualitas karena itu membutuhkan waktu yang lama."
Perhatian Pemerintah
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali juga sadar bahwa cabang olahraga penyumbang medali emas terbanyak seperti renang dan atletik memang perlu perhatian khusus.
Ia mengatakan bahwa saat ini pemerintah tengah melaksanakan rapat koordinasi nasional yang membahas soal masalah dan peningkatan olahraga nasional.
"Kita libatkan kementerian dan lembaga terkait untuk berdiskusi bagaimana kita memajukan olahraga kita khususnya cabang-cabang olahraga yang bisa dipertandingkan di olimpiade dan yang kita punya potensi meraih prestasi," ujar Zainudin.
Ia pun berjanji akan memberikan perhatian khusus serta percepatan pembinaan tidak hanya sepak bola, tetapi juga cabang olahraga olimpiade.
"Sepak bola memang benar ada Inpres (Instruksi Presiden) tersendiri soal percepatan sepak bola nasional. Namun bukan berarti cabor lain kita biarkan. Semua sama pengembangannya," tuturnya.
Dari SEA Games 2019, Indonesia seharusnya bisa memetik pelajaran bahwa untuk bisa menjadi yang terbaik dan membawa pulang banyak medali, dibutuhkan rencana dan persiapan yang matang, tidak mendadak, dan dana yang terpenuhi.
Meskipun SEA Games merupakan wadah berkompetisi bagi atlet muda, namun setidaknya dari ajang ini setiap cabang olahraga dan pemerintah bisa tahu apa yang perlu dibenahi dan ditingkatkan dalam hal pembinaan, terutama pada cabang olimpiade. Hal tersebut menjadi krusial apalagi Indonesia juga ingin mengejar asa untuk turut ambil bagian pada Olimpiade 2020 Tokyo.