Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan memiliki banyak obyek wisata religi dan bernilai sejarah, salah satunya Masjid Assuada atau masjid lancip yang berlokasi di Desa Waringin Kecamatan Haur Gading.
Mesjid yang terletak di tepi Sungai Tabalong ini memang unik, karena tidak seperti masjid kebanyakan yang mempunyai kubah berbentuk bundar, namun masjid ini memiliki kubah berbentuk tumpang dengan tiga tingkatan; pada tingkatan pertama atau paling atas berbentuk sangat lancip sesuai dengan budaya Banjar.
"Beberapa peneliti dari luar negeri pernah datang ke Masjid ini untuk meneliti arsitektur yang unik," ujar Panitia Masjid H Gusti Mastur di Amuntai, Rabu.
Mastur mengatakan, Masjid Assu'ada yang telah masuk dalam cagar budaya yang dilindungi sesuai Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Masjid ramai dikunjungi peziarah lokal tidak lepas dari sejarah pembangunannya di tepi sungai dimana pada zaman dulu sungai merupakan transportasi satu-satunya, sehingga jamaah masjid ini berasal dari daerah Telaga Silaba, Palimbangan, dan Haur Gading dengan menggunakan perahu atau kapal.
Berdasarkan keterangan Mastur dan tokoh masyarakat setempat H. Abdul Wahab, masjid ini diperkirakan dibangun pada 1886 dan berbentuk segi empat yang mana tinggi termasuk pataka kurang lebih 40 meter.
Masjid ini, terang Wahab awal pembangunan menggunakan atap sirap, tiang ulin, yang terdiri dari 4 buah tiang guru, 12 buah tiang bantu, 20 buah tiang yang terdapat pada dinding yang menggunakan ulin.
"Marmer lantainya khusus didatangkan dari negara tetangga Singapura," ungkapnya.
Dikatakan, lokasi dibangunnya Masjid Assu'ada merupakan tanah wakaf berukuran 38 x 24 m, dibangun oleh Syekh H. Abdul Gani.
Pertama kali pembangunannya, pekerja tidak menggunakan paku, melainkan menggunakan pasak yang terbuat dari serutan ulin atau bambu. Bahkan untuk menyatukan sambungan pun menggunakan tali ijuk.
Keunikan bangunan Masjid inilah, katanya membuat beberapa peneliti luar daerah pernah datang untuk menelitinya.
Sebagian bahan bangunan Masjid berornamen dalam bentuk ukiran yang tampak pada daun pintu, ventilasi, serta mimbar untuk khatib menyampaikan khotbah.
Dalam perjalanan waktu, masjid ini pernah mengalami beberapa kali renovasi, namun bentuk dan tiang masih dipertahankan, terkecuali atap yang dulunya menggunakan atap sirap sekarang sudah memakai atap seng.
Seperti pada tahun ini dilakukan renovasi dan pelebaran ruang masjid, mengingat jumlah jamaah semakin bertambah. Adapun biaya renovasi dibantu oleh Pemerintah Daerah, di samping swadaya masyarakat.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
Mesjid yang terletak di tepi Sungai Tabalong ini memang unik, karena tidak seperti masjid kebanyakan yang mempunyai kubah berbentuk bundar, namun masjid ini memiliki kubah berbentuk tumpang dengan tiga tingkatan; pada tingkatan pertama atau paling atas berbentuk sangat lancip sesuai dengan budaya Banjar.
"Beberapa peneliti dari luar negeri pernah datang ke Masjid ini untuk meneliti arsitektur yang unik," ujar Panitia Masjid H Gusti Mastur di Amuntai, Rabu.
Mastur mengatakan, Masjid Assu'ada yang telah masuk dalam cagar budaya yang dilindungi sesuai Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Masjid ramai dikunjungi peziarah lokal tidak lepas dari sejarah pembangunannya di tepi sungai dimana pada zaman dulu sungai merupakan transportasi satu-satunya, sehingga jamaah masjid ini berasal dari daerah Telaga Silaba, Palimbangan, dan Haur Gading dengan menggunakan perahu atau kapal.
Berdasarkan keterangan Mastur dan tokoh masyarakat setempat H. Abdul Wahab, masjid ini diperkirakan dibangun pada 1886 dan berbentuk segi empat yang mana tinggi termasuk pataka kurang lebih 40 meter.
Masjid ini, terang Wahab awal pembangunan menggunakan atap sirap, tiang ulin, yang terdiri dari 4 buah tiang guru, 12 buah tiang bantu, 20 buah tiang yang terdapat pada dinding yang menggunakan ulin.
"Marmer lantainya khusus didatangkan dari negara tetangga Singapura," ungkapnya.
Dikatakan, lokasi dibangunnya Masjid Assu'ada merupakan tanah wakaf berukuran 38 x 24 m, dibangun oleh Syekh H. Abdul Gani.
Pertama kali pembangunannya, pekerja tidak menggunakan paku, melainkan menggunakan pasak yang terbuat dari serutan ulin atau bambu. Bahkan untuk menyatukan sambungan pun menggunakan tali ijuk.
Keunikan bangunan Masjid inilah, katanya membuat beberapa peneliti luar daerah pernah datang untuk menelitinya.
Sebagian bahan bangunan Masjid berornamen dalam bentuk ukiran yang tampak pada daun pintu, ventilasi, serta mimbar untuk khatib menyampaikan khotbah.
Dalam perjalanan waktu, masjid ini pernah mengalami beberapa kali renovasi, namun bentuk dan tiang masih dipertahankan, terkecuali atap yang dulunya menggunakan atap sirap sekarang sudah memakai atap seng.
Seperti pada tahun ini dilakukan renovasi dan pelebaran ruang masjid, mengingat jumlah jamaah semakin bertambah. Adapun biaya renovasi dibantu oleh Pemerintah Daerah, di samping swadaya masyarakat.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019