Pemerintah RI meningkatkan peran Indonesia sebagai pusat kegiatan (hub) regional untuk penanganan limbah berbahaya dengan menandatangani Amandemen No.2 Kerangka Kerja Perjanjian tentang Pembangunan Basel Convention Regional Centre for Training and Technology Transfer for Southeast Asia (BCRC SEA).

Hal itu disampaikan dalam keterangan tertulis dari kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa yang diterima di Jakarta, Kamis.

Di sela-sela menghadiri Conference of Parties (COPs) Konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm, pemerintah Indonesia telah menandatangani Amandemen No.2 untuk Kerangka Kerja Perjanjian tentang Pembanguban BCRC SEA.

Penandatanganan dilakukan pada 30 April 2019 oleh Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Rolph Payet, Executive Secretary Konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm, dengan disaksikan oleh Duta Besar Hasan Kleib, Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa

Dengan penandatanganan tersebut, BCRC SEA yang telah berdiri di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2004 diperpanjang keberadaannya sampai tahun 2029. Keberadaan BCRC SEA mengukuhkan peran Indonesia sebagai pusat pelatihan dan transfer teknologi pengelolaan limbah berbahaya di kawasan Asia Tenggara.

Setiap tahun, BCRC SEA menyelenggarakan serangkaian kegiatan pelatihan peningkatan kapasitas dengan mengundang perwakilan pemerintah, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pihak terkait lainnya dari berbagai negara di Asia Tenggara.

Dalam sambutannya, Rolph Payet menyampaikan pernghargaan atas peran Pemerintah Indonesia dalam mendukung BCRC SEA. Saat ini terdapat 14 pusat-pusat kegiatan kawasan di seluruh dunia, di mana BCRC SEA termasuk salah satu pusat kegiatan kawasan yang menunjukkan kinerja terbaik dengan indikator kinerja sebesar 80 persen.

Direktur BCRC SEA Anton Purnomo menegaskan bahwa saat ini BCRC SEA melakukan beberapa kerja sama penelitian dengan beberapa mitra yang memberikan manfaat besar kepada Indonesia.

Sebagai contoh, BCRC SEA tengah berkonsentrasi membantu negara-negara Asia Tenggara dalam menyusun Rencana Penerapan Nasional (National Implementation Plans/NIPs) untuk memudahkan penyusunan kebijakan dalam mengurangi penggunaan pestisida berbahaya yang dikategorikan sebagai bahan pencemar organik persisten.

Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa Dubes Hasan Kleib mengemukakan bahwa aktivitas-aktivitas BCRC SEA merupakan wujud peran positif Indonesia dalam kerangka Kerja Sama Selatan-selatan yang perlu mendapat dukungan terus-menerus.

Dia menilai bahwa isu limbah secara khusus perlu menjadi sektor prioritas mengingat Asia Tenggara termasuk wilayah dengan pertumbuhan limbah berbahaya tertinggi di dunia.

United Nations University, misalnya, mencatat limbah elektronik di Asia Tenggara meningkat sebesar 63 persen dalam lima tahun terakhir. Secara global, menurut data Bank Dunia, jumlah sampah global diperkirakan meningkat drastis dari 2,01 miliar ton pada 2018 menjadi 3,40 miliar ton pada 2050.

Dalam mendukung BCRC SEA, PTRI Jenewa aktif mengusahakan terciptanya kerja sama penelitian dan pelatihan dengan negara dan organisasi mitra, salah satunya kerja sama penelitian antara BCRC SEA dan Pemerintah Norwegia tentang bahaya mikroplastik di kawasan Samudera Hindia, yang akan memetakan permasalahan sampah plastik laut, termasuk di lautan Indonesia.

COPs Konvensi Basel, Stockholm dan Rotterdam diselenggarakan di Jenewa, Swiss pada 29 April-10 Mei 2019. Ketiga konvensi tersebut merupakan perjanjian internasional yang mengatur perpindahan lintas batas limbah berbahaya, bahan kimia berbahaya dan pestisida berbahaya. ***3***

Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019