Pada era 80-an petani dan peladang berpindah di kecamatan dan sungaian di Kotabaru, Kalimantan Selatan berkeyakinan, tidak akan bisa membangun rumah jika tidak menanam lada.

Lada, kala itu, memang merupakan salah satu rempah-rempah primadona perdagangan luar negeri selain kayu manis dan cengkih.

Dengan harga lada "hanya" Rp4.500 per kg, saat itu banyak petani lokal mampu membangun rumah panggung, menyekolahkan anaknya ke luar daerah, bahkan menunaikan ibadah haji.   

Jika tidak berkebun lada, jangan harap mereka bisa menyekolahkan anak hingga lulus SMP, jangan harap bisa membangun rumah panggung yang bahan bangunannya dari 'kayu besi' atau kayu ulin yang hanya tumbuh di hutan tropis Kalimantan.       

Lada juga merupakan tanaman khusus untuk kekayaan, karena hasil panen lada bukan untuk dimakan sendiri, tetapi untuk dijual, berbeda dengan hasil tanaman palawija, seperti padi, jagung, ubi-ubian, sayur-mayur dan tanaman musiman lainnya yang dikonsumsi sehari-hari.

Mayoritas petani Kotabaru saat itu hanya menanam dua jenis tanaman, yakni lada dan padi, lada untuk dijual dan padi untuk dimakan sendiri.

Lada juga disimpan seperti batu permata atau logam mulai, barang tersebut baru akan dijual setelah harganya mahal.

"Waktu itu para orangtua di desa kami yang ingin berhaji, cukup mengumpulkan lada hingga beberapa tahun," kata H Rusmadi, mantan pekebun lada di Kelumpang Selatan, Kotabaru.

Rusmadi menyatakan biaya ibadah haji pada era 80-an hanya Rp4,5 juta per orang. Jadi dengan satu ton lada, petani laga Kotabaru bisa berangkat haji.

"Setelah biaya haji disetorkan ke Depag, warga langsung bisa berangkat ibadah haji tanpa antre seperti beberapa tahun ini," katanya.

Bapak empat anak itu mengaku, semua keluarganya, termasuk orangtua dan mertuanya telah menunaikan ibadah haji, hasil dari berkebun lada, dan sebagian menjual tanah.

Menurut sejumlah sesepuh warga Kotabaru, bahkan lada Kotabaru telah menjadi incaran pedagang asing sebelum perang kemerdekaan RI.

Sebelum merdeka, banyak pedagang dari luar negeri membeli rempah-rempah, dari Pulau Laut yang kini menjadi Kabupaten Kotabaru.

Mereka membawa dagangan seperti, kain, pakaian, perhiasan dan bahan makanan serta barang keperluan warga yang tidak ada di Pulau Laut, dengan menggunakan perahu layar.

Mereka membeli rempah-rempah dari Pulau Laut untuk dijual di negaranya sendiri. Perdagangan rempah-rempah itu berlangsung hingga Indonesia Merdeka.

Kejayaan lada di Kotabaru kini hanya menjadi cerita masa lalu yang menjadi catatan sejarah bagi anak-anak sekolah.

Setelah mengalami kejayaan, lambat laun perkebunan lada mulai berkurang, terutama di saat perusahaan kayu, perusahaan tambang batubara, perkebunan kelapa sawit dan karet, serta industri semen masuk ke wilayah Kotabaru.

Petani dan warga yang tinggal di sekitar hutan yang dulunya menanam lada, mulai direkrut untuk menjadi buruh perusahaan menebang kayu, karena hasilnya bisa langsung dinikmati hari itu juga.

Berbeda dengan lada, yang memerlukan waktu sekitar 3-4 tahun baru dapat memetik hasilnya.

Hamparan tanaman lada yang hijau berangsur menguning dan kering, karena tidak terawat ditinggalkan pemiliknya yang menjadi buruh tebang dan buruh angkut di perusahaan kayu.

Luas perkebunan lada terus menyusut, seiring masuknya industri perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan tambang batubara di daerah itu.

Ganti rugi lahan tidak dapat dihindari lagi, hamparan tanaman lada berangsur berubah menjadi lahan tambang batubara, kebun karet dan perkebunan kelapa sawit serta tanaman lainnya.

Kebun lada semakin menciut, tatkala masyarakat mulai mengikuti anjuran pemerintah yang kala itu menggalakkan budidaya tanaman karet dengan bibit unggul.

Masyarakat yang tidak mau diganti rugi lahannya untuk ditambang batubara, mereka mencoba berkebun karet dan sawit.

Mereka semakin antusias mengganti kebun ladanya dengan tanaman karet dengan menggunakan benih unggul, karena hasilnya berlipat ganda.

"Ratusan hektare tanaman lada di kampung kami, kini berubah menjadi tanaman karet, kelapa sawit dan sayur-mayur," jelas Rusmadi.

Jika di daerah kami dulu sempat terbuka kebun lada hingga 1.000 hektare, mungkin saat ini hanya tersisa kurang dari dua hektare, demikian Rusmadi.

Kebun lada yaang tersisa itu adalah milik orang tua yang tidak kuat bekerja keras, sehingga mereka mempertahankan kebun ladanya meskipun hasilnya minim.

Mantan Kepala Desa Pembelacanan, Kelumpang Selatan, Kotabaru, Habibah, mengaku warganya kini tidak lagi menanam padi dan lada seperti dulu. Mereka sudah mengganti kebunnya dengan tanaman karet dan kelapa sawit, ujarnya.

"Karena hasilnya lebih baik dari hasil berkebun lada," terangnya.

Masyarakat di sejumlah kecamataan di Kotabaru kini mulai antusias menanam kelapa sawit dan karet, hasil dari berkebun sawit dan getah itu kini telah mengubah pola hidup sebagian masyarakat Kotabaru, yang dulunya hidup sederhana dan apa adanya, tetapi kini mulai bergaya hidup konsumtif.

Antena parabola, pesawat televisi dan kendaraan roda dua hampir tersedia di setiap rumah di desa dan pelosok di Kotabaru.

Bahkan rumah panggung yang bahan bakunya dari kayu ulin itupun kini mulai diganti dengan rumah beton yang menggunakan tulangan besi baja.

Sebagian besar kekayaan itu dibeli dari hasil berkebun kelapa sawit dan karet, dimana harga kelapa sawit terus melonjak hingga hampir Rp2.000 per kg tandan buah segar.

Begitu juga dengan harga lateks/getah karet, kini mencapai kisaran Rp18-000-Rp20.000 per kg, padahal sebelumnya hanya sekitar Rp3.000.-Rp4.500 per kg.

Petani lada di Kotabaru yang kini telah menjadi petani karet dan kelapa sawit, menyatakan, lada Kotabaru tidak lagi pedas.

Sementara hasil karet saat ini kisaran Rp1,5 juta per ha per per bulan, dan kebun kelapa sawit kisaran Rp1,5 juta - Rp2 juta per ha per bulan.

Sedangkan hasil lada semakin tidak jelas, karena banyak penyakit tanaman lada yang menyertainya.
    (T.I022/B/T010/T010)

Pewarta:

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2011