Amuntai, (Antaranews Kalsel) - Musibah kebakaran pemukiman mendominasi jumlah kasus bencana alam yang terjadi selama 2018 di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) mendata sebanyak 27 kasus kebakaran pemukiman dengan jumlah kepala keluarga (kk) yang terdampak atau menjadi korban sebanyak 91 kk dan 276 jiwa dengan perkiraan kerugian total Rp6,9 Miliar.

"Meski demikian dari dari semua kasus bencana yang terjadi di HSU selama 2018 hanya menelan satu korban jiwa yakni pada kasus orang tenggelam," ujar Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD HSU H Burhanuddin di Amuntai, Jum'at.

Burhanuddin mengatakan kasus bencana alam kedua yang banyak terjadi yakni angin puting beliung sebanyak 4 kasus dengan jumlah kk yang tedampak sebanyak 69 kk dan 88 jiwa dengan nilai kerugian ditaksir sebesar Rp75 juta.

Berikutnya bencana lonsor sebanyak 2 kasus dengan jumlah 23 kk dan 108 jiwa yang terdampak bencana ini namun tidak terjadi kerugian materi dan jiwa.

Justru bencana alam berupa banjir yang biasanya paling sedikit terjadi dua kali terjadi dalam setahun, namun pada 2018 hanya terjadi satu kali namun dengan jumlah kk dan jiwa yang terdampak paling besar dibanding kasus bencana alam lainnya di Kabupaten HSU.

"Banjir hanya satu kali terjadi namun  sebanyak 2665 kepala keluarga dan 8656 jiwa yang terdampak," terang Burhanuddin.

Namun BPBD tidak memiliki data taksiran kerugian akibat musibah banjir ini karena tidak ada laporan dari semua kecamatan.

Diinformasikan, berdasarkan pola bencana yang dipetakan oleh BPBD, musibah banjir melanda semua desa di Kabupaten HSU. Dari sebanyak 219 desa/kelurahan yang ada di wilayah Kabupaten HSU bencana banjir yang masuk kategori tinggi terjadi di 187 desa, kategori sedang 28 desa dan kategori remdah 3 desa, total 218 desa.

Kepala BPBD HSU Sugeng Riyadi menambahkan bencana banjir paling lama terjadi di Kecamatan Danau Panggang karena sebagian warga ditepian sungai bisa sampai tiga bulan rumahnya terendam banjir.

"Pemerintah sudah menyarankan kepada warga disekitar tepian aliran sungai agar pindah ke tempat lain, namun warga tidak bersedia, bahkan mengaku telah terbiasa menghadapi banjir setiap tahunnya," kata Sugeng.

Warga lebih memilih meninggikan sebagian lantai rumah untuk tidur dan beraktivitas lainnya, karena menurut mereka tinggal ditepi sungai memudahkan kehidupan dan mata pencarian sebagai nelayan.

 

Pewarta: Eddy Abdillah

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019