Banjarmasin (Antaranews Kalsel)- Sebuah desa yang tadinya sunyi senyap seketika menjadi hiruk-pikuk dengan didatangi banyak orang, bukan saja berasal dari warga masyarakat sekitar desa itu tapi tak sedikit warga yang berasal dari kota-kota besar.

Bukan hanya rakyat jelata yang berada dikumpulan banyak orang itu, bisa jadi di sana ada bupati, camat, atau pejabat lainnya, setidaknya dihadiri seorang kepala desa atau lurah.

Bahkan bisa pula terdapat para politikus dari berbagai partai politik berbaur di acara yang disebut sebagai atraksi budaya dan agama “Mauludan Rasul” yang hampir dipastikan digelar setiap tahun  di desa-desa wilayah Banua Enam (enam Kabupaten Utara Kalsel).

Penulis yang melakukan perjalanan ke wilayah Kabupaten Balangan termasuk wilayah Banua Enam atau yang disebut pula kawasan “Pahuluan” (hulu sungai) akhir November 2018 ini menyaksikan begitu semaraknya perayaan Mauludan Rasul, terutama tampak terlihat di di Kabupaten Balangan.

Desa Panggung dan Inan salah satu desa yang menggelar acara tersebut dikunjungi banyak orang, sehingga kampung itu menjadi ramai. Pendatang bukan saja dari desa tetangga dan sekitarnya tapi tak sedikit datang dari kota hanya untuk mengikuti proses acara Mauludan Rasul tersebut.

Meriahnya acara Mauludan Rasul di desa tersebut, karena bukan saja sebagai atraksi budaya dan agama ternyata acara tersebut dinilai sebagai ajang silaturahmi terbesar di tengah masyarakat.

Menurut beberapa warga Desa Panggung dan Inan Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan, bila acara  Maulud Rasul itu digelar salah satu keluarga, maka keluarga yang lain seakan wajib menghadiri acara itu, karena kehadiran keluarga dan pamily lainnya merupakan bentuk penghargaan bagi sipenyelanggara acara tersebut.

“Makanya bila ada keluarga yang tak hadir dalam  acara Maulud Rasul maka keluarga tersebut dianggap mengurangi nilai hubungan kekeluargaanya, dan  nantinya bila keluarga yang tidak hadir itu menyelanggarakan acara serupa maka si keluarga yang lain bisa tidak hadir pula,” kata Aspiani penduduk setempat.

Oleh karena itu tidak heran bila satu keluarga menggelar acara Maulud Rasul maka hampir seluruh keluarga berdatangan, bahkan yang berada di kota juga ikut mudik untuk meramaikan acara tahunan tersebut.

Bahkan menghadiri Maulud Rasul dianggap lebih sakral ketimbang hadir saat Lebaran Idul Fitri atau Idhul Adha, karena saat acara ini merupakan ajang silaturahmi keluarga paling akbar dalam setahun.

Pada perayaan Maulud Rasul di Desa tersebut dipusatkan salah satu surau yang ada di desa tersebut, dibarengi dengan pembacaan syair-syair Maulud Al Habsyi, dan Maulud Diba serta ceramah agama oleh seorang ulama setempat.

Berdasarkan keterangan, acara serupa merupakan yang kesekian kali di gelar oleh warga di desa-desa kawasan tersebut, bahkan terkesan setiap hari selama bulan maulid selalu saja ada yang menggelar acara tersebut sehingga selama bulan Rabiul Awal atau bulan maulid nabi ini banyak sekali undangan menghadiri acara itu, kata Syamsul penduduk setempat menambahkan.

Menurut Syamsul, karena acara ini dianggap menarik maka banyak sekali warga berdatangan dari kota-kota besar bahkan warga dari propinsi tetangga Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Timur (Kaltim).

Penyelanggaraan acara Mauludan Rasul dalam rangka memperingati kelahiran nabi Muhammad SAW memang dinilai mahal, tetapi bagi warga tidak menjadi masalah, karena penyelanggraan yang telah terjadi secara turun-temurun di tengah masyarakat  Muslim setempat dinilai bisa mengangkat harkat martabat atau prestise bagi penyelanggaranya, disamping nilai-nilai agama.

Oleh karena itu bagaimanapun seorang keluarga di desa-desa tersebut berusaha untuk ikut menjadi penyelanggara walau harus membayar mahal.

Tetapi warga memiliki cara tersendiri untuk meringankan beban penyelanggaraan tersebut yakni dengan cara menggelar tabungan mingguan yang disebut “handil maulud.” 

Dengan cara menyetor uang setiap minggu kepada seorang panitia yang dipercaya mengumpulkan dana sehingga selama setahun akan terkumpul dana yang cukup besar.

“Dana yang dikumpulkan selama setahun itulah yang kemudian dibelikan seekor sapi atau kerbau, untuk disembelih, kemudian daging sapi atau kerbau itu dibagi-bagian kepada warga yang ikut menjadi anggota tabungan maulud tersebut.” kata Aspiani warga Inan yang menakui setiap tahun menggelar acara  Mauludan Rasul tersebut.

Namun, tambah warga untuk menentukan acara Mauludan Rasul setiap kampung atau desa harus ditentukan, maksudnya agar tidak berbarengan dengan desa-desa  yang lain di kawasan tersebut.

Dalam setiap penyelanggaraan di suatu desa maka warga desa lain diundang untuk hadir kemudian bila desa yang lain menggelar maka warga desa yang terlebih dahulu menggelar acara itu harus pula menghadiri acara demikian di desa yang menyelanggarakan belakangan.

“Agar penyelanggaraan Maulud Rasul pasti dihadiri warga desa lain, maka biasanya ada hukum yang tidak tertulis di dalam masyareakat setempat disebut “limit.”  Artinya warga yang menjadi anggota limit wajib hadir, kalau tidak hadir bisa dianggap kualat,” tutur Aspiani.

Oleh karena itu seorang warga dinyatakan sebagai anggota limit, walau ia banyak pekerjaan, atau kegiatan lain maka wajib membatalkan pekerjaan dan kegiatan itu hanya untuk menghadiri acara Maulud Rasul tersebut.

Memeriahkan acara Maulud Rasul bagi warga dinilai memiliki nilai-nilai tersendiri dalam agama karena sama dengan menjujung nilai-nilai kehidupan Nabi Muhamad SAW maka diharapkan mendapat reda dan safaat dari Nabi Muhammad SAW.

Berdasarkan keterangan waktu penyelanggaraan acara Mauludan Rasul di setiap desa Kaki Pegunungan Meratus tersebut, selama dua hari, hari pertama disebut sebagai hari “bamula” sementara hari kedua disebut hari “H” atau hari gawi.

Oleh karena itu, keluarga warga yang mengikuti acara itu harus menginap di rumah keluarga yang mengundang untuk mengikuti hari “h” atau hari gawi.

Dalam acara tersebut dimulai dengan menghidangkan makanan awal atau makan pagi, terdiri dari berbagai makanan khas dan tradisional setempat, seperti laksa, katupat Kandangan, gangan balamak, lontong, nasi kuning, atau makanan lainnya tergantung keinginan tuan rumah.

Selain itu pada sajian awal itu juga dihidangkan penganan tradisional. Setiap rumah penyelanggara menyajikan beraneka penganan tergantung kemampuan tuan rumah.

Namun penganan yang disajikan tersebut kebanyakan penganan yang disebut  penganan khas suku Banjar yang dikenal wadai 41 macam, seperti wajik, apam, kikicak, kalelapon, sarimuka, bingka, lamang, keraraban, wadai balapis,bingka barandam, cucur, katupat balamak, gaguduh, pais, gayam, bubur habang, bubur putih, onde-onde, jalabia atau cakodok,agar-agar, cangkarok, amparan tatak, dadar gulung,puteri salat, hintalu karuang, patah dan lainnya.

Setelah hidangan awal di gelar maka seluruh undangan, khususnya undangan laki-laki berkumpul di masjid atau surau untuk membacakan syair-syair maulud, baik jenis syair Maulud Diba, Maulud Al Habsyi, maupun Maulud Barjanji semuanya berisi syair berupa puji-pujian kepada Nabi Muhamad SAW.

Dalam pembacaan syair Maulud  Rasul ini juga dibawakan kelompok-kelompok kampung, artinya saat perayaan di salah satu kampung   maka kelompok kampung lain yang menyajikan bacaan syair-syair Maulud Rasul  tersebut, kemudian nantinya bila kampung yang lain itu menyelanggarakan hajatan serupa maka kampung yang ini membacakan syair Maulud Rasul atau dengan cara berbalas-balasan.

Setelah selesai membaca syair-syair Maulud proses selanjutnya masih di dalam masjid atau surau tamu diharuskan mendengarkan lantutan pembacaan ayat suci Al Qur, an  oleh salah seorang yang ditunjuk panitia,biasanya seorang qari di kampung tersebut, serta mendengarkan tausiah atau ceramah agama dari seorang ulama.

Ulama yang diundang memberikan tausiah biasanya biasanya pula adalah ulama yang ternama, atau yang dikenal dengan sebutan tuan guru, tentu ceramah yang disampaikan didominasi berkisar sejarah kehidupan Nabi Muhamad SAW baru ajaran-ajaran agama Islam yang lainnya.

Proses acara berada di masjid atau surau sejak pembacaan syair-syair Maulud rasul, hingga pembacaan ayat suci Al Qur’an dan ceramah agama biasanya berlangsung sekitar tiga hingga empat jam, setelah itu baru ditutup dengan doa kemudian bubaran acara di masjid.

Namun tak jarang, dalam acara di masjid atau surau tersebut juga dihadiri pejabat setempat, seperti bupati, atau camat, paling rendah harus dihadiri kepala desa. Para pejabat itupun diminta memberikan sambutan atau wejangan untuk menjelaskan berbagai program pembangunan atau wejangan lain kepada masyarakat.

Setelah bubaran di masjid itulah, kepada undangan diharapkan mendatangi rumah keluarga atau keramat masing-masing yang ikut menjadi penyelanggaran Mauludan Rasul guna menikmati hidangan utama atau makan siang, yang tentu makanannya terbuat dari daging sapi atau daging kerbau yang disembelih itu.

Namun bagi keluarga yang cukup mampu biasanya selain menyajikan makanan terbuat dari daging sapi dan kerbau yang disebut sebagai gangan gendol, juga makanan tambahan lainnya terbuat dari ikan, ayam, udang, sayuran,  yang disebut warga sebagai makanan “baampal.”

Tidak ada yang tahu persis kapan acara Mauludan Rasul mulai berkembang di daratan paling Selatan Pulau terbesar di tanah air tersebut, namun ditaksir sejak masuknya Islam di wilayah tersebut.

Dalam perkembangannya acara Mauludan Rasul di Kalsel, agaknya tidak lagi sekedar memperingati kelahiran nabi untuk memperoleh berkah sesuai anjuran agama, tetapi sudah pula terdapat muatan-muatan lain, seperti silaturahmi bahkan untuk pariwisata karena termasuk atraksi budaya yang bernilai wisata.

Yang pasti nilai yang paling besar dalam acara itu adalah nilai silaturahmi antar warga yang  sangat positip dalam upaya menjaga kebersamaan dan kerukunan.
 

Pewarta: Hasan Zainuddin

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2018