Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Pernikahan dini di Kalimantan Selatan menjadi masalah yang seakan tidak ada jalan keluarnya karena sejak puluhan tahun persoalan tersebut selalu menjadi isu nasional dalam setiap pembahasan tentang indeks pembangunan manusia.

Salah satu daerah yang sering menjadi sorotan tentang persoalan tingginya pernikahan dini adalah Kabupaten Hulu Sungai Utara, yang merupakan wilayah dengan topografi 90 persen lebih merupakan kawasan rawa.

Sebagai kabupaten dengan status daerah tertinggal, karena kondisi wilayah yang minim sumber daya alam, membuat sebagian warganya berada di bawah garis kemiskinan.

Kondisi tersebut, membuat sebagian besar orangtua memilih cepat menikahkan anak perempuannya dari pada harus melanjutkan sekolah.

Selain itu, masih melekatnya pandangan orangtua, bahwa anak perempuan bila terlambat menikah takut tidak laku, juga mendorong sebagian besar masyarakat memilih secepatnya menikahkan putrinya, bahkan saat mereka belum menyelesaikan sekolah dasar.

Kondisi ekonomi dan pandangan masyarakat yang takut anaknya tidak laku tersebut, membuat tingkat pernikahan dini di kabupaten tersebut, menjadi tertinggi di Kalimantan Selatan.

Bahkan, secara nasional, pernikahan dini di Kalimantan Selatan juga berada di urutan kedua.

Tingginya angka pernikahan dini tersebut, membuat indeks pembangunan manusia Kalimantan Selatan juga rendah, berada di urutan ke-26 nasional.

Hal itu terjadi, karena tingginya pernikahan dini, memicu tingginya angka putus sekolah, yang juga menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan, akibat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan.

Rendahnya pendidikan, juga membuat pemerintah sulit mengubah pola pikir masyarakat, untuk bijak menyikapi perkembangan zaman dan ekonomi.

Sehingga, keterbatasan pola pikir dan tingkat kemiskinan seakan menjadi warisan turun temurun, yang sulit untuk diubah.

Dari segi kesehatan, pernikahan dini juga menyebabkan tingkat kematian ibu dan bayi tinggi, sebab anak belum siap untuk melahirkan, karena belum siapnya reproduksi bagi wanita.

Selain itu, belum siapnya mental menghadapi berbagai kesulitan berumah tangga, termasuk perekonomian, juga menyebabkan tingkat perceraian cukup tinggi.

Kemiskinan seakan menjadi "warisan", karena generasi penerus tidak mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan lebih baik.

Kala itu, tingkat pernikahan dini di HSU mencapai 70 persen dari tingkat usia remaja di daerah yang kehidupan masyarakatnya mengandalkan sektor pertanian dan perikanan itu.



Gerakan PIK

Tingginya angka pernikahan dini menyadarkan sebagian remaja Hulu Sungai Utara yang mengenyam pendidikan tinggi, untuk berjuang membantu generasi mereka keluar dari belenggu kemiskinan.

Muhammad Ainor Rahman seorang mahasiswa di daerah tersebut, menjadi salah satu penggerak untuk mengajak mahasiswa lainnya turun ke daerah-daerah untuk mengampanyekan tentang pentingya pendidikan.

Ainur dan mahasiswa lainnya, yang tergabung dalam Komunitas Genre di Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja, berjuang mendatangi masyarakat dari rumah ke rumah, untuk menyosialisasikan tentang pentingnya pendidikan.

"Tantangan pasti berat, karena bukan hal yang mudah mengubah pandangan dan pola pikir masyarakat yang sudah mengakar turun temurun sejak puluhan tahun," kata Ainur yang juga menjadi ketua komunitas tersebut.

Tapi, tantangan tersebut tidak menyurutkan langkah para anggota komunitas Genre, untuk terus berjuang menyadarkan masyarakat daerahnya agar memberikan kesempatan kepada putra-putri mereka, untuk melanjutkan sekolah.

Bukan hanya tantangan mendobrak perubahan pola pikir masyarakat, kondisi wilayah yang sebagian besar rawa-rawa dan daerah yang saling berjauhan, karena dipisahkan oleh hamparan rawa yang sangat luas, juga menjadi tantangan yang tidak mudah.

Menuju desa satu dengan yang lainnya, diperlukan waktu hingga berjam-jam dengan transportasi sampan atau kapal kayu.

Tantangan yang tidak kalah berat, adalah kendala keuangan para mahasiswa yang umumnya memang pas-pasan.

"Untuk melakukan kegiatan tersebut, kami banyak mengeluarkan uang saku kami sendiri, sehingga kadang tantangan tersebut terasa semakin berat," katanya.

Wakil Ketua PIK Remaja Abdul Ghani menambahkan, sebagai remaja juga pernah merasakan akan kebutuhan remaja terhadap bimbingan, terlebih remaja yang tidak memiliki orangtua atau kerabat yang kurang memperhatikan persoalan mereka, menjadi salah satu kekuatan untuk terus berjuang.

Seringkali, kata Ghani, anggota PIK Remaja dicemooh, karena status mereka yang belum menikah dianggap tidak layak memberikan sosialisasi mengenai perkawinan dan permasalahan keluarga.

Tetapi melalui pengalaman konseling dengan para remaja, Ghani dan anggota PIK Remaja lainnya menjadi tahu akan permasalahan yang sering dihadapi remaja dan kebutuhan mereka.

"Informasi berharga yang kami peroleh dari berbagai kegiatan konseling ini kami bagikan kepada para orangtua agar bisa lebih baik dalam mendidik keluarga," kata Ghani.

Melalui kegiatan sosialisasi ke sekolah-sekolah secara tidak langsung mereka juga memberikan motivasi dan inspirasi kepada siswa agar tidak putus sekolah.

Anggota PIK Remaja mencoba memberikan pencerahan agar para siswa termotivasi melanjutkan pendidikan sehingga tidak tertarik melakukan perkawinan usia muda.

Guna menyemangati komunitas Genre dan menarik minat remaja oleh pihak DKKBD HSU dilaksanakan berbagai lomba, seperti lomba yel-yel genre yang pernah dimenangkan komunitas Genre HSU di tingkat Provinsi Kalsel bahkan berlanjut meraih juara dua tingkat nasional.

"Lomba lainnya seperti lomba bercerita dan lomba pidato mengenai genre juga dilaksanakan, bahkan setiap tahun kami melaksanakan pemilihan duta genre," pungkasnya.



Pernikahan Dini Turun

Perjuangan Ainor dan teman-teman akhirnya membuahkan hasil, sejak 2016, jumlah angka pernikahan dini di HSU turun drastis, dari sebelumnya angka pernikahan usia belia itu mencapai 70 persen dari jumlah remaja di daerah tersebut, kini turun tinggal 30 persen.

Kini HSU bisa lepas dari status tingkat pernihakan dini tertinggi di Kalsel dan posisi tersebut diganti oleh Kabupaten Tapin, Tanah Bumbu dan beberapa daerah lainnya di Kalsel.

Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten HSU Anisah Rasyidah Wahid mengatakan, perjuangan Komunitas Genre sangat membantu pemerintah, dalam upaya menurunkan angka pernikahan dini.

Menurut Anisah, bekerja sama dengan dinas terkait, pihaknya juga terus mengampanyekan pencegahan pernikahan dini melalui program wajib belajar 12 tahun.

"Dengan program belajar 12 tahun, maka anak-anak minimal akan menikah setelah usia 19 tahun, atau setelah lulus SLTA," katanya.

Melaksanakan program tersebut, tambah Anisah, bersama komunitas Genre, pihaknya terus menyosialisasikan program pendidikan dan bahanyanya pernikahan dini.

Melalui bahasa remaja, ternyata program tersebut sangat berpengaruh terhadap kesuksesan HSU menurunkan angka pernikahan dini, bahkan program ini, kini sangat ngetop di HSU, terlebih telah memenangi juara dua lomba nasional.

Anisah yakin, hanya dengan pendidikan, maka remaja putri HSU, akan maju dan terlepas dari jeratan kemiskinan dan keterbelakangan.

"Dampak dari pernikahan dini ini cukup besar bagi kehidupan sosial masyarakat," katanya.

Tingginya angka perkawinan anak selalu diiringi dengan tingginya tingkat perceraian dari perkawinan usia anak.

Hal ini menunjukkan, bahwa pengelolaan rumah tangga yang baik, belum dapat dilakukan oleh anak.

Dampak lain dari perkawinan anak yaitu kekerasan seksual, angka kematian ibu saat melahirkan, angka kematian bayi, perdagangan manusia, eksploitasi kerja, dan nikah tanpa pengesahan negara.

Dampak paling fatal dalam perkawinan usia anak adalah kehamilan dan persalinan dini, karena berhubungan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi dan keadaan tidak normal bagi ibu yang belum sepenuhnya matang untuk melahirkan.

Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dunia dalam kasus kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun.

Secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan terjadi pada anak perempuan usia 15-19 tahun.

Yaa... persoalan pernikahan dini, kini menjadi pekerjaan rumah paling berat, yang harus segera dituntaskan, sehingga masyarakat Kalsel, bisa segera terlepas dari jeratan kemiskinan dan kebodohan.

Untuk itu, apa yang dilakukan oleh remaja HSU, bisa diikuti oleh remaja-remaja lainnya di Kalsel, karena sesungguhnya, hanya dengan melibatkan para remaja dalam pembangunan sejak dini, maka keberlangsung pembangunan nasional, akan terus belanjut dengan lebih baik.

Dengan memberikan kepercayaan kepada generasi muda, untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat, akan mampu menumbuhakan rasa kepedulian dan sekaligus melatih mereka untuk menjadi pemimpin yang sebenar-benarnya pemimpin, yang peduli terhadap nasib rakyatnya, bukan pemimpin yang hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
 

Pewarta: Ulul Maskuriah/Eddy Abdillah

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2018