Seorang peneliti yang tergabung dalam tim ekspedisi khatulistiwa 2012 Koordinator Wilayah 08 Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan, mencatat pembagian tanah atau tata guna lahan menurut fungsinya bagi warga Dayak Pegunungan Meratus.

DR.Ir Abdul Haris Mustari yang juga dikenal sebagai dosen pada Fakultas Kehutanan IPB Bogor, yang bertindak sebagai peneliti pada tim ekspedisi khatulsitwa tersebut menyampaikan masalah tersebut kepada ANTARA Banjarmasin, melalui emailnya yang diterima, Senin.

Berdasarkan catatannya, dalam pembagian atau peruntukan tanah di Pegunungan Meratus tersebut dikenal dengan sebutan Tanah Diagih.

Tanah Diagih artinya pembagian tanah menurut fungsinya, atau yang lebih dikenal adalah tatatguna lahan versi Dayak Meratus.

Tanah diagih membagi lahan menurut fungsi dan peruntukannya, dan ini telah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Menurut adat istiadat Dayak Meratus, katanya, tanah atau hutan adat dibagi menjadi hutan lindung, hutan adat, hutan kramat, serta hutan pamali.

Hutan lindung adalah hutan yang diperuntukkan untuk menjadi sumber air dan mencegah banjir dan erosi serta untuk menjaga kesuburan tanah.

Di hutan lindung tidak diperkenankan menebang pohon dan akar-akaran serta tidak membuka ladang karena dianggap dapat merusak lingkungan.

Di kampung Juhu dan sekitarnya beberapa kawasan hutan yang dianggap sebagai hutan lindung yaitu Gunung Halau Halau, Gunung Kilai, Gunung Himayung, Gunung Mansilan, dan Gunung Kepala Pitu.

Hutan lindung dan gunung-gunung tersebut secara turun temurun tidak pernah dibuat ladang atau menjadi kawasan pemukiman oleh nenek moyang Dayak Meratus.

Kemudian hutan adat adalah hutan yang terutama diperuntukkan sebagai sumber buah dan getah seperti getah damar.

Sedangkan hutan keramat adalah hutan yang terdapat di lahan pekuburan, tempat arwah nenek moyang mereka bersemayam.

Di hutan keramat tidak diperbolehkan menebang kayu karena dianggap keramat, dan apabila terjadi pelanggaran, mereka percaya bahaya akan menimpa.

Yang terakhir hutan pamali adalah hutan tempat pemujaan, dimana terdapat pohon-pohon yang dianggap keramat misalnya pohon Kariwaya (sejenis pohon beringin).

Pemilihan pohon yang dipuja biasanya melalui mimpi atau alamat kepada orang tertentu dari anggota keluarga, dan pemujaan dilakukan oleh beberapa Kepala Keluarga (KK) bukan seluruh anggota masyarakat di suatu kampung.

Pohon yang dipuja diperlakukan istimewa, dan diberikan sesaji setiap tahun. Mereka percaya bahwa di pohon Kariwaya itu berdiam mahluk halus dan karena itu perlu diberikan sesaji waktunya biasanya pada bulan September atau Oktober.

Bahan sesaji berupa ayam kampung yang dipotong, air kunyit yang melambangkan cahaya kuning matahari, lamang, telur ayam kampung, air gula merah/telaga darah dan kemenyan.

Persembahan sesajin dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 0800-1000. Mantra dibaca untuk memanggil roh Sang Hyang .

Setelah pemberian sesaji, seluruh anggota keluarga dari beberapa KK yang tergabung dalam pemujaan itu tidak boleh masuk hutan dimana pohon yang dipuja itu berada selama tiga hari.

Apabila pantangan itu dilanggar maka mereka percaya bahwa sesuatu yang buruk misalnya kecelakaan akan menimpa mereka.

Warna Kuning melambangkan cahaya bulan dan warna merah melambangkan cahaya matahari yang baru tenggelam (bianglala)./D/C


Pewarta:

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2012