Ketika Seseorang semakin terjepit maka orang itu akan semakin banyak akal dan itulah yang terjadi pada nelayan di Kotabaru Kalimantan Selatan.
Sejak terjadinya krisis ekonomi dan naiknya harga BBM khususnya solar dari Rp1.200 per liter menjadi Rp4.500 per liter.
Nelayan di 'Bumi Saijaan' Kotabaru semakin kreatif dalam menyiasati naiknya harga solar.
Bagaimana tidak, kondisi mengharuskan nelayan yang sebagian besar tidak mengenyam pendidikan tinggi itu bisa bertahan hidup dalam kondisi sulit.
Untuk mempertahankan hidup, mereka harus tetap bisa mengoperasikan perahu tangkapnya, meski tidak mampu membeli BBM solar seharga Rp4.500 per liter.
Nelayan terpaksa mengoplos atau mencampur minyak tanah dengan oli bekas dengan perbandingan berfariasi untuk bahan bakar perahu menggantikan solar.
Meski risikonya mesin cepat aus, dan harus lebih sering mengganti noksel (peralatan yang berfungsi untuk menyemprotkan minyak ke pengapian) karena cepat rusak.
Itu jauh lebih baik, daripada dapur tidak mengepul.
Tidak semua bahan bakar perahu menggunakan BBM oplosan, namun masih ada sebagian kecilnya tetap harus menggunakan solar asli baru dicampur dengan BBM oplosan tersebut.
Awalnya, hanya sebagian nelayan yang terpaksa melakukan hal demikian, akan tetapi kini hampir sebagian besar nelayan di daerah itu sudah sangat lihai menyiasati agar perahunya tetap beroperasi dengan biaya murah tersebut.
Mungkin karena terlalu lama menderita, kesulitan demi kesulitan itu akhirnya dirasakan oleh nelayan sebagai hal yang biasa.
Namun belakangan ini, kondisi mereka semakin terpuruk, manakala solar bersubsidi itu semakin sulit diperoleh di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di daerah itu.
Hal yang sama juga dialami para sopir truk angkutan umum.
Mereka sering menemui SPBU tutup karena kehabisan solar, meski sebelumnya sudah antre hingga berjam-jam.
Bangun SPBN
Menyikapi keluhan nelayan, Pemkab Kotabaru membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Khusus Nelayan (SPBN) dengan kapasitas sekitar 100 ton per bulan.
"SPBN itu dibangun bibir pantai Teluk Gosong, Pulau Laut Timur, untuk memudahkan nelayan mendapatkan solar bersubsidi," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru H Talib.
Namun belakangan ini, kuota SPBN terpaksa dikurangi, karena diduga sebagian BBM bersubsidi dijual kepada pihak lain bukan nelayan.
"Saat ini kuotanya tinggal sekitar 75 ton per bulan," ujar Talib, seraya mengatakan, ia terpaksa tidak memberikan rekomendasi sesuai kuota SPBN sekitar 100 ton.
Talib mengaku, beberapa bulan terakhir nelayan kembali bergejolak karena sulit mendapatkan BBM dengan harga murah.
Oleh karenanya, DKP mengajukan kepada pemerintah pusat agar segera membangun SPBN tambahan.
Rencananya, akan dibangun SPBN di lokasi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Stagen, untuk meyalani nelayan dari arah barat selatan dan utara Kotabaru.
Diperkirakan SPBN yang akan dibangun memiliki kapasitas 100-200 ton per bulan, mengingat jumlah nelayan yang dilayani jauh lebih banyak dibandingkan SPBN di Teluk Gosong.
Menurut kepala dinas, gejolak nelayan karena sulit memperoleh BBM bersubsidi belakangan ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Karena sebagian nelayan sudah memiliki usaha alternatif, tidak tergantung dengan hasil tangkapan di laut," ujarnya.
Misalkan, membudidayakan rumput laut, ikan kerapu di keramba, dan usaha ikan asin atau membuat kerupuk dengan menggunakan bahan baku ikan dan udang hasil tangkapannya sendiri.
"Sebagian nelayan juga sudah mendapatkan pinjaman modal bergulir di kelompok dari pemerintah," ujarnya.
Menurut Talib, pemerintah telah menggelontorkan dana lebih dari Rp10 miliar untuk mendukung usaha nelayan kurang mampu di daerah.
"Alhamdulillah, sebagian besar dana tersebut lancar dan nelayan kita sudah lebih sejahtera," paparnya.
  Â
Subsidi dialihkan.
Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010, jumlah nelayan di daerah itu sebanyak 15.961 jiwa sekitar 60 persen-70 persen masuk kategori miskin dan membutuhkan pinjaman modal untuk mengembangkan usahanya.
"Masih banyak kelompok nelayan belum bisa diakomodir keinginannya untuk mendapatkan pinjaman modal," katanya.
Banyak nelayan Kotabaru beberapa tahun lalu menerima dana bantuan dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak dan dana dari program yang lainnya.
Program tersebut dikucurkan kepada nelayan kurang mampu dengan berbagai jenis kegiatan.
Pada APBD 2012 Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru kembali akan mengucurkan dana sekitar Rp2 miliar melalui program pengembangan usaha mina perdesaan kepada nelayan kurang mampu di daerah itu.
Dana tersebut akan diserahkan kepada sekitar 10 kelompok masing-masing beranggotakan 10 orang nelayan kurang mampu.
"Setiap nelayan akan mendapatkan dana sekitar Rp10 juta untuk modal usaha menangkap ikan," katanya.
Dana tersebut diharapkan untuk membeli alat tangkap bisa berupa perahu dan mesin, jaring ikan atau peralatan tangkap yang lainnya.
Dengan pola trersebut, DKP Kotabaru berharap jumlah nelayan kurang mampu terus berkurang.
Menurut dia, sejak terjadi krisis ekonomi dan kenaikan harga BBM menyebabkan banyak nelayan tradisional di Kotabaru terpuruk tiodak bisa melaut karena tidak memiliki alat tangkap.
"Tidak apa-apa jika BBM subsidi harganya dinaikkan, asal selisih kenaikannya dikembalikan kepada nelayan untuk mensubsidi harga penjualan ikan hasil tengkapan nelayan di daerah," katanya.
Misalkan, ujar Talib, apabila seorang nelayan menjual ikan 100 kg dengan harga Rp5.000/kg, maka pemerintah akan memberikan subsidi Rp1.000 per kg atau sebesar kenaikan harga subsidi, sehingga nelayan bisa menikmati harga ikan Rp6.000 per kg.
Kebijakan tersebut bisa dipertimbangkan, mengingat harga ikan di pasaran masih tidak sebanding dengan biaya operasional.
Talib mengakui, masalah subsisi BBM akhir-akhir ini menjadi sebuah persoalan yang pelik, tidak mudah diselesaikan hanya dengan satu sudut pandang.
Banyak gejolak di masyarakat yang merupakan akibat dari sulitnya mendapatkan BBM bersubsidi.
Tingginya selisih harga BBM bersubsidi dan non subsidi menjadi pemicu utama, antrean panjang di Stasiun Pengisian Bakar Umum (SPBU).
Nelayan menjerit tidak bisa melaut, sopir angkutan umum mengeluh dan industri rumah tangga gulung tikar tidak bisa beroperasi karena kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi.
Menurut dia, pemerintah bisa saja menaikan harga BBM subsidi, dengan catatan selisih kenaikan harga dikembalikan kepada nelayan sesuai jatah BBM bersubsidi yang diserap nelayan.
"Apabila nelayan Kotabaru setahun menyerap 1.000 ton solar, maka selisih kenaikan harga subsidi dikali jumlah BBM yang terserap dikembalikan kepada nelayan Kotabaru dalam bentuk program bantuan yang lain," paparnya.Â
Ia berharap jumlah BBM bersubsidi tidak dibatasi, karena dampaknya akan semakin luas di masyarakat.
Ketua Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Kotabaru H Amrah Mislimin menegaskan, pengawasan penyaluran BBM bersubsidi harus ekstra ketat.
Kalau tidak program apapun yang menurut pemerintah itu baik, namun kenyataanya akan kurang maksimal, karena pengawasan yang kurang.
"Apabila pemerintah sudah membuat kebijakan terkait BBM bersubsidi, hendaknya diikuti sanksi tegas dan pengawasan yang ekstra ketat," pungkasnya.C/D
Â
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2012