Barabai, (Antaranews Kalsel) - Selain melamang, sukacita menyambut Lebaran di Hulu Sungai Tengah,
biasanya juga ditandai dengan perang meriam karbit semalaman suntuk yang
dilakukan masyarakat di Kecamatan Pandawan.
Tradisi yang setiap tahun dilakukan pada Idulfitri tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun dengan melibatkan beberapa desa, seperti Rasau, Palajau, Mahang, Pandawan, Banua Asam, Palas, dan Buluan yang dimulai sesudah Salat Isya.
Menurut panitia pelaksana Ahmad Kursani, kegiatan tahunan yang menjadi wisata pada malam Lebaran digelar secara swadaya oleh masyarakat setempat.
Meriam yang digunakan rata-rata terbuat dari pohon aren yang sebelumnya dilubangi dan ikat kuat. Panjang meriam beragam, mulai dari 10 meter hingga 15 meter dengan diameter 30 s.d. 50 sentimeter.
"Sebelum perang meriam dilakukan, warga sekitar seperti orang yang jompo, anak-anak, bayi, dan orang-orang yang mempunyai penyakit jantungan sudah diungsikan," katanya.
Hal itu dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena suaranya sangat nyaring radius puluhan kilometer. Bahkan, ketika sebuah meriam ditembakkan, tanah dalam radius beberapa meter di sekitarnya bergetar.
"Bila ada bahaya atau kerusakan dari meriam tersebut, panitia akan mengganti," katanya.
Untuk bisa menghasilan suara meriam yang keras, menurut dia, perlu waktu 3 hari untuk menyiapkannya. Hal ini bisa menghabiskan biaya Rp300 ribu s.d. Rp500 ribu setiap meriam.
Rahman, pengunjung, mengatakan bahwa dirinya bersama temannya dari Barabai setiap tahun selalu antusias melihat perang meriam karbit tersebut walaupun biaya masuknya relatif cukup mahal sebesar Rp30 ribu.
"Memang masuknya cukup mahal. Akan tetapi, kami sangat puas mendengar suaranya, apalagi para penyulut api juga melakukan atraksi yang cukup berani," katanya.
Sebelum berangkat ke sana, dia bersama temannya menyiapkan penutup telinga ataupun "headset" untuk meredam suara-suara nyaring dentuman meriam.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2017
Tradisi yang setiap tahun dilakukan pada Idulfitri tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun dengan melibatkan beberapa desa, seperti Rasau, Palajau, Mahang, Pandawan, Banua Asam, Palas, dan Buluan yang dimulai sesudah Salat Isya.
Menurut panitia pelaksana Ahmad Kursani, kegiatan tahunan yang menjadi wisata pada malam Lebaran digelar secara swadaya oleh masyarakat setempat.
Meriam yang digunakan rata-rata terbuat dari pohon aren yang sebelumnya dilubangi dan ikat kuat. Panjang meriam beragam, mulai dari 10 meter hingga 15 meter dengan diameter 30 s.d. 50 sentimeter.
"Sebelum perang meriam dilakukan, warga sekitar seperti orang yang jompo, anak-anak, bayi, dan orang-orang yang mempunyai penyakit jantungan sudah diungsikan," katanya.
Hal itu dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena suaranya sangat nyaring radius puluhan kilometer. Bahkan, ketika sebuah meriam ditembakkan, tanah dalam radius beberapa meter di sekitarnya bergetar.
"Bila ada bahaya atau kerusakan dari meriam tersebut, panitia akan mengganti," katanya.
Untuk bisa menghasilan suara meriam yang keras, menurut dia, perlu waktu 3 hari untuk menyiapkannya. Hal ini bisa menghabiskan biaya Rp300 ribu s.d. Rp500 ribu setiap meriam.
Rahman, pengunjung, mengatakan bahwa dirinya bersama temannya dari Barabai setiap tahun selalu antusias melihat perang meriam karbit tersebut walaupun biaya masuknya relatif cukup mahal sebesar Rp30 ribu.
"Memang masuknya cukup mahal. Akan tetapi, kami sangat puas mendengar suaranya, apalagi para penyulut api juga melakukan atraksi yang cukup berani," katanya.
Sebelum berangkat ke sana, dia bersama temannya menyiapkan penutup telinga ataupun "headset" untuk meredam suara-suara nyaring dentuman meriam.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2017