Catatan Dari Ekspedisi Meratus

Barabai, (Antaranews Kalsel) - Desa Mangga Jaya salah satu daerah yang kini menjadi incaran berbagai pihak. Ibarat wanita, desa yang terletak di hutan rimba pegunungan Meratus Kalimantan Selatan itu, adalah seorang perawan cantik dengan tubuh molek yang memesona setiap pemuda yang ada disekitarnya.
    
Memerlukan waktu yang cukup panjang dengan medan berat, untuk bisa sampai ke Mangga Jaya yang merupakan anak Desa Aing Bantai Kecamatan Batang Alai Timur (BAT) Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Menuju ke desa tersebut, dari kota Barabai terlebih dahulu ke Desa Hinas Kiri sekitar 25 Km dengan menggunakan mobil atau pun sepeda motor dengan menempuh waktu perjalanan sekitar satu jam.

Dari Desa Hinas kiri melewati Desa Atiran menuju Desa Batu Perahu juga masih bisa menggunakan sepeda motor sejenis trail sekitar tiga jam perjalanan, namun jika berjalan kaki mencapai enam sampai delapan jam.

Dari Desa Batu Perahu ke Desa Aing Bantai, sekitar 13 kilometer, hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki yang bagi penduduk setempat hanya membutuhkan waktu tiga sampai empat jam, namun bagi pendatang bisa sampai sepuluh jam karena medannya yang terjal, licin dengan di samping kiri kanan jalan setapak adalah jurang yang curam.

Selain itu, pendakian yang tinggi serta harus menyeberangi lima sungai besar yang kedalamannya sepaha orang dewasa dan bila hujan tingginya mencapai dua meter, merupakan medan tersulit untuk bisa sampai di desa tersebut.

Dari Desa Aing Bantai menuju Mangga Jaya berjarak 17 Km membutuhkan waktu sekitar 12 jam dengan medan jalan lebih ekstrem dan banyak tanjakan.

Menurut Arifin salah satu pendaki gunung, dibandingkan dengan perjalanan ke Gunung Halau-Halau 1901 Mdpl puncak tertinggi Kalimantan Selatan, ke Mangga jaya jauh lebih menantang.

Warga yang mendaki ke desa tersebut, kalau tidak berhati-hati bisa jatuh ke jurang atau pun digigit binatang penghisap darah yang oleh penduduk setempat disebut dengan halimatak, ali-ali, dan pacat yang sama-sama merupakan binatang karnivora sejenis lintah.

Desa Aing Bantai mempunyai tiga anak desa, RT 01 yaitu, Balai Datar Tarap atau Aing Bantai yang memiliki 17 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 65 orang jiwa, R .02 yaitu Balai Pasumpitan 23 kepala keluarga dengan 82 orang jiwa, dan RT 03 yaitu Balai Mangga Jaya berpenduduk 25 kepala keluarga atau sebanyak 82 orang jiwa.

Kendati berada di lokasi yang sangat terpencil dan sulit dijangkau oleh warga dari berbagai daerah lain, Desa Mangga Jaya, merupakan daerah yang sangat populer.

Desa Mangga Jaya memang kecil, tetapi di desa tersebut, sumber daya alamnya sangat melimpah. Bagaimana tidak, hanya dengan Malinggang (menambang emas di air dengan alat tradisional) sambil mandi sore saja bisa dapat sekitar dua gram emas, apalagi kalau seharian.

Gunung-gunung di sekitarnya pun, tanpa digali sudah kelihatan bongkahan batu baranya, sehingga sangat menarik bagi orang-orang untuk mendapatkan kekayaaan dengan sebesar-besarnya.

Hal inilah yang dijaga oleh warga Mangga Jaya, jangan sampai kekayaan yang cukup melimpah, justru menjadi awal bencana bagi warga sekitar, akibat kerakusan pihak-pihak luar yang ingin menjarah dan mendapatkan kekayaan secara membabi buta, seperti daerah lain yang hampir setiap tahun panen bencana, akibat kerusakan alam yang tidak terkendali.

Menjaga hal itu, warga Mangga Jaya cukup sensitif terhadap masuknya orang luar, yang tidak sopan dan mengusik ketenangan mereka, apalagi sampai berani mengambil sumber mata pencahariannya yaitu menambang emas, maka tidak segan-segan mereka menindaknya yang kemungkinan besar pulang hanya tinggal nama.

    
Perhatian Pemerintah

Banyaknya pihak yang mengincar potensi sumber daya alam Desa Mangga Jaya,  menyebabkan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) membuat peraturan daerah, menolak masuknya perusahaan penambangan dan perkebunan kelapa sawit, dan memilih merawat alam dengan mengembangkan sektor pertanian.

Selain itu, pemerintah juga berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan membantu membangun akses infrastruktur, termasuk pendidikan dan kesehatan.

Untuk mengetehui kondisi dan kebutuhan masyarakat secara langsung, Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif yang baru sekitar satu tahun menjabat, melakukan ekspedisi menjelajah Pegunungan Meratus, bersama 110 orang gabungan dari pemda dan TNI Polri pada  Jumat 27 Januari 2017 lalu.

Tim ekspedisi yang tujuan terakhirnya adalah mengunjungi Desa Mangga Jaya dibagi hingga beberapa kelompok. Perjalanan dimulai dari kantor bupati di Kota Barabai, terlebih dahulu ke Desa Hinas Kiri sekitar 25 km menggunakan mobil ataupun sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar satu jam.

Dari Desa Hinas kiri, tim menuju ke Desa Atiran kemudian menuju Desa Batu Perahu menggunakan motor sejenis trail sekitar tiga jam perjalanan namun jika berjalan kaki mencapai enam sampai dengan delapan jam.

Dari Desa Batu Perahu ke Desa Aing Bantai inilah, tim harus berjalan kaki menempuh perjalanan sepanjang 13 kilometer, dengan medan yang sangat berat, sehingga membuat perjalanan menjadi sangat lama, sekitar sepuluh jam karena medannya yang terjal, licin dengan di samping kiri kanan jalan setapak adalah jurang yang curam.

Selain itu, pendakian yang tinggi serta harus menyeberangi lima sungai besar yang kedalamannya sepaha orang dewasa dan bila hujan tingginya mencapai dua meter, merupakan medan tersulit untuk bisa sampai di desa tersebut.

Khusus kelompok bupati, setelah melakukan perjalanan satu hari, dengan penuh kisah suka cita, akhirnya sampai di Desa Datar Tarap pada sabtu 28 Januari 2017 pukul 19.30 Wita, dengan basah kuyup karena kehujanan.

Sedangkan rombongan lainnya sekitar 30 orang, masih terjebak di seberang sungai menunggu air surut, karena arus deras dan ketinggian air mencapai dua meter, hingga akhirnya rombongan baru sampai pukul 01.30 Wita dini hari, berkat bantuan warga Aing Bantai yang menjemput.

Perjalanan panjang, membuat kondisi fisik bupati dan rombongan pejabat lainnya lemah, sehingga tidak memungkinkan melakukan   perjalanan hingga Desa Mangga Jaya.

Dari desa Aing Bantai menuju Mangga Jaya berjarak 17 kilomter membutuhkan waktu sekitar 12 jam dengan medan jalan lebih ekstream dan banyak tanjakan.  
   
Keesokan harinya, Minggu 29 Januari 2017, diputuskan, Bupati dan rombongan tetap bertahan di Desa Datar Tarap dan mengutus kelompok lainnya, sebanyak 25 orang, berangkat ke anak Desa Mangga Jaya untuk membawa surat Bupati agar warga berkumpul dan bertatap muka  langsung di Balai Datar Tarap.

Dalam surat tersebut, bupati meminta, pada Selasa malam dan Rabu 31 Januari 2017 agar seluruh perangkat Desa pegunungan Meratus di Kecamatan Batang Alai Utara, seperti Desa Atiran, Juhu, dan Batu Perahu hadir dalam pertemuan yang dilakukan oleh bupati dan tim ekspedisi.

Tim yang melanjutkan perjalanan ke Mangga Jaya adalah pihak dari kecamatan Batang Alai Timur, Bagian Pemerintahan, Bagian Humas, dan Dinas Kependudukan Catatan Sipil untuk melakukan perekaman E-KTP secara offline.

Rombongan, sampai di Desa Mangga Jaya sekitar pukul 18.00 Wita, dan  disambut warga dengan sangat ramah. Melihat kedatangan tim, masyarakat langsung menyiapkan beras dan ayam untuk makan malam, karena mereka sadar perjalan jauh pasti menguras tenaga dan kelaparan.

Hal itu menepis isu yang berkembang di masyarakat, yang menyatakan warga Desa Mangga Jaya menyeramkan dan membahayakan.

Bupati yang didampingi langsung oleh Dandim 1002 Barabai  Letkol Inf Dodit Hery Setiawan berdialog langsung dengan masyarakat warga Mangga Jaya dan aparat Desa lainnya.

Pada pertemuan tersebut, bupati berjanji akan membangun infrastruktur khususnya jalan, minimal jalan tersebut dapat dilalui dengan kendaraan roda dua.

Selain itu, bupati juga memastikan, bahwa pemerintah maupun siapa pun tidak akan diberikan izin untuk menambang batu bara maupun mengembangkan perkebunan sawit di wilayah Pegunungan Meratus.

Janji tersebut, disambut suka cita warga, dan sebagai imbal baliknya, warga menandatangani pakta integritas yang oleh perwakilan warga Mangga Jaya yang menyatakan selamanya tetap ikut dan berada di wilayah Kabupaten HST.

Selain jalan, beberapa warga juga meminta pemerintah untuk membantu berbagai infrastruktur balai atau rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga.

Salah satunya Kepala Balai Adat Mangga Jaya, Ipat yang mengacungkan tangan dan memberanikan diri untuk berbicara dengan berbahasa Indonesia campuran bahasa Banjar.

"Hatap balai kami kalawasan, sudah bucur jadi kayapakah bupati mamikirakan, bisa haja dan kami mandukung bangat bila jalan di baiki mudah-mudahan sampai ka Mangga Jaya,¿ ujar Ipat.

(Red- Atap balai adat kami sudah bocor, mohon bupati membantu memperbaiki, kami juga sangat mendukung rencana pembangunan jalan, mudah-mudahan pembangunan tersebut sampai ke Mangga Jaya).

    
Adminstratif

Pada ekspedisi kali ini, bupati lebih banyak memberikan perhatian kepada Desa Mangga Jaya, karena persoalaan di desa tersebut, jauh lebih komplek dengan daerah lainnya.

Bukan hanya masalah infrastruktur, persoalan masyarakat di daerah terpencil HST ini juga cukup komplek, misalnya masalah administratif berupa kartu tanda penduduk terkait pencantuman status agama.

Warga di Pegunungan Meratus merupakan warga yang menganut Kepercayaan Kaharingan, yang bukan bagian ataupun ritual keagamaan Hindu.

Sehingga, jika pemerintah memaksakan memuat kolom agama Hindu di KTP mereka, untuk memberikan haknya sebagai warga Negara Indonesia, dikhawatirkan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan norma-norma agama yang berlaku, karena jelas mereka menganut kepercayaan Kaharingan dan Kaharingan bukanlah bagian ataupun ritual keagamaan Hindu.

Hanya saja adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) maka sejak 20 April 1980 Kepercayaan Kaharingan dimasukkan dalam Hindu Kaharingan.

Hingga kini masalah itu masih kontroversi, penganut Kaharingan masih memperjuangkan hak, yaitu Kaharingan yang merupakan kepercayaan nenek moyang secara turun-temurun agar diakui sebagai agama di Indonesia.

Belum diakuinya Kaharingan sebagai agama, menyulitkan masyarakat adat Meratus, ketika membuat E-KTP, sehingga sebagian pemerintah daerah harus mengosongkan kolom agama.

Mereka secara turun temurun menganut kepercayaan Kaharingan atau Dinamisme yaitu hanya percaya kepada leluhur atau nenek moyang, binatang-binatang, batu-batuan, serta isyarat alam yang mereka tafsirkan, mirip seperti agama Hindu kuno.

Selain masalah administrasi, masalah sumber daya manusia juga sangat terbatas, sehingga juga mengganggu kegiatan administrasi warga desa setempat.

Seperti saat pelaksaaan Pilkades Oktober 2016 lalu, tidak ada calon Kepala Desa Aing Bantai yang memenuhi syarat minimal, yaitu harus berizasah SMP, sehingga terpaksa kini desa tesebut, dijabat oleh PNS dari kecamatan yaitu Subli. Kepala Desa sebelumnya bernama Sinip dan Kepala Balai Adat Mangga Jaya adalah Ipat.

Secara georafis warga Mangga Jaya bermata pencaharian sebagai petani padi manugal, berkebun dan mandulang (menambang emas) yang letak wilayahnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Kotabaru dan Balangan.

Selama puluhan tahun warga Mangga Jaya, secara administratif berada di wilayah Kabupaten HST dan selalu mempunyai hak suara pada pemilu baik pilpres maupun pilkada, walaupun yang memilih hanya kepala balainya saja yang mewakili seluruh kepala keluarga mirip Noken di Papua padahal di HST tidak menggunakan sistem itu.

Kondisi geografis dan posisi desa yang sulit dijangkau, membuat pembinaan dan perhatian pemerintah kepada warga Mangga Jaya, masih minim.

Program pembangunan rumah layak huni bagi Komunitas Adat Terpencil (KAT) dinas sosial yang dananya bersumber dari APBN hanya dibangun di Desa Datar Tarap sebanyak 38 unit, tidak sampai ke anak desa Mangga Jaya.

Di bidang pendidikan, rata-rata mereka tidak pernah sekolah dan buta huruf, karena sekolah terdekat hanya ada di Aing Bantai yaitu SD Datar Tarap yang merupakan filial dari SDN Hinas Kiri dengan fasilitas yang sungguh tidak layak untuk proses belajar mengajar dan serba kekurangan. Tapi anehnya dan sangat luar biasa urusan menghitung duit mereka tidak pernah keliru.

Tim kesehatan PTT Provinsi Kalsel di Puskesmas Tandilang, Kecamatan Batang Alai Timur, M Rizani dan Rika Fitriani yang ditugaskan di sana juga hanya menggelar pengobatan gratis sampai di Datar Tarap sebulan dua kali.

Menurut mereka , menuju Mangga Jaya sangat berbahaya dan bisa-bisa mengancam nyawa mereka kalau hanya berdua berangkat ke sana.

Gemparnya Mangga Jaya dimulai dari Laporan Sinip mantan Kepala Desa Aing Bantai kepada Bupati HST H Abdul Latif, Selasa (3/1) yang menurutnya mendapat pengakuan langsung dari  Lungur, tokoh masyarakat di Mangga Jaya.

saat itu, ada rombongan dari kabupaten tetangga sebanyak enam orang yang melakukan pertemuan sekaligus pendataan penduduk di anak Desa Mangga Jaya pada 20 Desember 2016 lalu.

Pada kesempatan tersebut, sebanyak 62 orang sempat menandatangani semacam surat pernyataan menjadi penduduk kabupaten tetangga dengan iming-iming dibangunkan rumah sebanyak unit, balai adat satu, uang, pembuatan KTP, dan prasarana jalan.

Berdasarkan laporan tersebut, akhirnya Bupati H Abdul Latif menyatakan keberatan dan melakukan ekspedisi langsung ke lapangan bersama 110 tim gabungan dari pemda dan TNI Polri yang dimulai Jumat 27 Januari 2017.

Bagaimanapun caranya Pemkab HST pasti mati-matian mempertahankan Mangga Jaya, walaupun faktanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga Mangga Jaya lebih memilih pergi ke pasar kabupaten tetangga, karena jarak tempuh jauh lebih dekat daripada ke Barabai.

Jika kabupaten tetangga bergerak cepat untuk memberikan alternatif  akses jalan yang lebih dekat, maka tidak menutup kemungkinan ada celah warga Mangga Jaya komitmennya bertahan menjadi kendur.

Terakhir, jika akses jalan sudah sukses terbangun sampai ke Mangga Jaya, apakah hasrat dan nafsu politik untuk menambang masih bisa tertahankan? di tengah moleknya keperawanan SDA pegunungan Meratus yang begitu menggairahkan untuk diekploitasi.

Mungkin Pemerintah daerah masih bisa menahannya dengan mengeluarkan perda pelarangan penambangan namun apakah bisa membendung syahwat politik dengan berkedok kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang dibuat pemerintah di tingkat atas.

Di sinilah posisi pemerintah daerah untuk hadir tidak hanya waktu mereka ingin direbut kabupaten lain, tetapi memberikan kepastian hukum dan komitmen bersama-sama menjaga dan memelihara alamnya untuk warisan anak cucu.

Selain itu,  memberikan hak yang sama kepada mereka baik pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan kesejahteraan yang layak untuk warga Mangga Jaya. Jika itu  tidak terpenuhi maka hukum rimba di hutan rimba akan menjadi masalah serius di masa depan.

Pewarta: M Taufik Rahman

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2017