Banjarmasin, (AntaranewsKalsel) - Sekjen Perkumpulan Petani Pedagang dan Industri Rotan Kalimantan (Peppirka) Irwanriadi mengatakan larangan ekspor rotan tidak hanya merugikan petani tetapi juga pemerintah yang kehilangan pendapatan dari cukai rotan hingga Rp54 miliar per tahun.


Menurut Irwan di Banjarmasin, Senin, berdasarkan data yang dia dapat dari beberapa perusahaan eksportir, sebelum ditutup pendapatan cukai Kalsel, khusus untuk rotan tidak kurang dari Rp54 miliar per tahun.

Setiap kontainer, kata Irwan, eksportir harus membayar ke bea cukai secara resmi sebesar Rp27 juta per kontainer, setiap bulan, pengiriman rotan setengah jadi ke berbagai negara mencapai 200 kontaier, jadi Rp27 juta dikalikan 200 kontainer menjadi Rp5,4 miliar per bulan.

"Jumlah tersebut, bila dikalikan sepuluh bulan saja, maka pendapatan dari cukai tersebut bisa mencapai Rp54 miliar per sepuluh bulan," katanya.

Kini, kata dia, pendapatan pemerintah dari cukai tersebut nol, karena sejak dikeluarkannya keputusan larangan ekspor rotan, pengusaha maupun petani rotan tidak lagi bisa menjual rotannya.

Bahkan beberapa perusahaan rotan, kini juga banyak gulung tikar, karena menderita kerugian, akibat stok rotan kualitas ekspor siap kirim tidak jadi bisa dikirim.

"Kini rotan-rotan yang ada digudang pengusaha sudah pada lapuk, karena terlalu lama ditimbun tidak dimanfaatkan. Kerugian perusahaan bisa mencapai Rp10 miliar," katanya.

Selain itu, beberapa perusahaan juga mengurangi karyawannya, dari sebelumnya perusahaan rotan di Banjarmasin mencapai 2.500 orang pegawai, kini hanya sekitar 200 orang pegawai, karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan.

Sebelumnya, industri rotan Banjarmasin tersebut, mengirimkan rotan setengah jadi, yaitu berupa lembaran anyaman rotan yang bisa dimanfaatkan untuk beberapa kerajinan.

Sayangnya, pemerintah tidak hanya menyetop pengiriman rotan mentah atau asalan saja, tetapi juga rotan setengah jadi.

Pascaditutupnya ekspor tersebut,beberapa pengusaha rotan juga banyak gulung tikar, petani dan pelaku bisnis rotan di Kalimantan Selatan berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan larangan ekspor komoditi ini, sehingga kedepan usaha industri rotan kembali menggeliat.

Terhadap ketentuan tersebut, perhimpunan petani pedagang dan industri rotan kalimantan (Peppirka) mengusulkan dan menuntutsegera dilakukan langkah langkah sebagai berikut, Cabut segera SK menteri perdagangan no 35 / m-dag/per/11/2011 tanggal 30 November 2011.

Selain itu, selamatkan segera petani dan buruh tani rotan dan mengatur tata niaga rotan di Indonesia, rotan Kalimantan bukan hasil hutan liar melainkan sudah dibudidayakan oleh petani rotan, segera pisahkan industri rotan dan industri hasil kerajinan mebel dan kerajinan rotan, yang sesungguhnya sangat berbeda dengan industri rotan hulu khususnya kalimantan.

Segera melakukan inventarisasi industri kecil , menengah dan besar yang masih hidup maupun yang sudah tutup usahanya, inventarisasi petani rotan yang masih memiliki perkebunan rotan dan yang sudah beralih fungsi menjadi perkebunan lainnya.

Segera melakukan koordinasi dengan pemangku kebijakan industri rotan guna merumuskan tata kelola niaga rotan yang berbasis ekonomi kerakyatan yang dipimpinoleh hikmat kebijaksanaan dalam menuju keadilan dan pemerataan baik pusat maupun daerah.

Segera melakukan langkah langkah penyiapan infrastruktur eksport di daerah yang memiliki infrastruktur yang mumpuni guna sebagai pintu keluarnya hasil rotan, melakukan konsolidasi ditingkat petani pedagang dan industri rotan regional di Kalimantan.

Terakhir, membatasi produk yang menyerupai rotan karena sangat tidak ramah lingkungan dengan segera menyiapkan rotan budi daya sebagai bahan olahan bagi industri rotan yang saat ini mulai di tinggalkan dan bahkan akan punah dalam hal pemanfaatannya.

Pewarta: Ulul Maskuriah

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2016