Ketika Chelsea resmi diakuisisi konsorsium pimpinan Todd Boehly pada harga 4,25 miliar pound (Rp76,8 triliun) 30 Mei lalu menyusul 'penjualan paksa' oleh pemilik lama Roman Abramovich karena sanksi Rusia terkait invasi ke Ukraina, daftar pebisnis Amerika Serikat yang memiliki klub Liga Inggris semakin panjang saja.
Termasuk Fulham yang kembali promosi Liga Premier musim 2022/2023, ada sembilan dari 20 tim Liga Inggris yang komposisi sahamnya menaruh nama-nama Amerika Serikat sebagai pemilik saham mayoritas dan minoritas dalam klub-klub itu.
Kesembilan tim itu adalah Chelsea, Fulham, Arsenal, Aston Villa, Crystal Palace, Leeds United, Liverpool, Manchester City yang 10 persen sahamnya juga dimiliki Silver Lake dari AS, dan Manchester United.
Baca juga: Liverpool tanpa Fabinho, Chelsea tak diperkuat Kovacic
Uniknya, hampir semua investor AS ini memiliki pula klub-klub olahraga yang bertanding dalam liga-liga profesional AS seperti National Football League (NFL), Major League Soccer (MLS), Major League Baseball (MLB), National Hockey League (NHL), NBA, dan seterusnya.
Kalau Todd Boehly si pemilik baru Chelsea mempunyai juga LA Dodgers yang bermain di MLB, maka yang lain juga begitu.
Weslet Edens di Aston Villa adalah juga pemilik klub NBA, Milwaukee Bucks. Bahkan Stan Kroenke tak saja memiliki Arsenal, tapi juga tim NBA Denver Nuggets dan sejumlah klub olahraga yang bermain di liga NFL, MLS dan NHL.
Begitu pula pemilik Leeds United, 49ers Enterprises, yang menguasai klub NFL, San Francisco 49ers. John Henry dan Tom Werner yang mengusai saham mayoritas Liverpool juga memiliki Boston Red Sox yang bermain di liga MLB.
Sementara keluarga Glazer yang menguasai Manchester United, memiliki pula klub NFL, Tampa Bay Buccaneers. Pun Shahid Khan sang pemilik Fulham, yang juga mengelola Jacksonville Jaguars di liga NFL.
Baca juga: Chelsea tantang Liverpool dalam final Piala FA
Kecenderungan masuknya investor-investor Amerika ini terjadi juga di berbagai liga sepak bola Eropa. AC Milan, Parma, Fiorentina, dan AS Roma di Serie A Italia juga dimiliki para investor Amerika. Pun Bordeaux dan Marseille of di Ligue 1 Prancis.
Sekilas amerikanisasi sepak bola Inggris itu terlihat sebagai produk globalisasi, namun jika diamati lebih dalam, kecenderungan tersebut justru kian kentara memperlihatkan komersialisasi olahraga.
Tujuan utama investor Amerika di Liga Inggris, terlihat semata mengeduk keuntungan finansial yang membuat suporter klub direduksi menjadi konsumen produk klub yang mereka akuisisi.
Dari sudut pandang investor, penggemar memang dianggap pengguna produk-produk terkait klub, mulai tiket pertandingan klub, sampai aneka merchandise klub.
Persepsi ini membuat investor-investor Amerika dikritik karena berusaha menirukan kondisi kompetisi olah raga di Amerika Serikat di bumi Eropa.
Mereka dikritik karena menyumpalkan agenda yang semata didorong oleh latar belakang finansial guna menciptakan kembali sukses yang serupa mereka ciptakan di NFL, MLB, NBA, dan sebangsanya. Perspektif ini bertentangan 180 derajat dengan harapan suporter sepak bola Inggris yang memiliki konstruksi hubungan unik dengan klub-klub kesayangannya.
Bagi suporter Inggris, mendukung klub kesayangannya adalah soal loyalitas dan gairah. Untuk itu klub adalah identitas seumur hidup mereka, sampai sebagian kalangan menyebut sepak bola sudah menjadi agama mereka.
Mentransformasi Liga Inggris
Ketidaksepakatan antara suporter dan pemilik klub ini tidak begitu menjadi perhatian sampai 12 klub Eropa memutuskan membuat liga sempalan dari liga-liga profesional yang ada di Eropa dengan membentuk apa yang disebut Liga Super Eropa pada April 2021.
Prakarsa itu gagal diwujudkan namun sama sekali belum mati. Tetapi setelah gonjang ganjing Liga Super Eropa ini, hubungan suporter Inggris dengan pemilik klub menjadi sering bertabrakan, bahkan di beberapa klub semisal Manchester United, pemilik klub sering dianggap biang kerok untuk prestasi buruk timnya.
Pada titik tertentu, hubungan seperti ini bisa merusak ikatan emosional penggemar dengan klub, walaupun bisa juga terjadi sebaliknya. Kekhawatiran ini terjadi karena komersialisasi yang semakin meluas dan ekspansi global sepakbola telah membuat suporter merasa bukan lagi menjadi fokus klubnya.
Ironisnya, tingginya gaji dan pesepakbola dan besarnya dana yang dibenamkan untuk pasar transfer pemain, sedikit banyak malah ditanggung oleh suporter klub, dalam bentuk naiknya harga tiket, merchandise, dan item-item terkait klub.
Tak heran globalisasi sepak bola acap dianggap sebagai masalah besar oleh bagian besar penggemar sepak bola.
Komersialisasi akibat amerikanisasi sepak bola Inggris ini juga membuat keputusan yang dibuat klub menjadi lebih diorientasikan kepada aspek ekonomi, sedangkan pendukung sepak bola tak lagi menjadi pertimbangan.
Gambarannya terlihat dari penentuan jadwal pertandingan, waktu bertanding yang semakin larut malam, pemasaran hak siar televisi, dan bahkan penentuan jadwal pertandingan timnas yang kentara demi mengakomodasi klub dan liga.
Walaupun demikian, ikatan emosional penggemar dengan klub masih terlihat kuat dan bahkan mampu menahan dampak negatif komersialisasi.
Salah satu faktornya adalah komitmen sebagian besar pesepakbola yang menomorsatukan penggemar, selain adanya identifikasi suporter dengan tim kesayangannya yang bahkan turun temurun diturunkan kepada generasi setelah mereka.
Namun jujur saja tak semua amerikanisasi Liga Inggris negatif, karena dalam banyak hal turut mendorong prestasi klub menjadi lebih maju.
Taruhlah apa yang dilakukan Fenway Sports Group yang dimiliki John Henry dan Tom Werner dalam mengelola Liverpool sejak membeli klub ini pada 15 Oktober 2010.
Memang tidak instan, tetapi sepuluh tahun setelah mengakuisisi klub ini, mereka membuat Liverpool bisa lagi mengangkat trofi Liga Inggris setelah 30 tahun tak bisa melakukannya.
Mereka juga membuat Liverpool kembali menjadi kekuatan sepakbola menakutkan di Eropa, bukan saja karena sukses menjuarai Liga Champions pada 2019 tapi juga karena begitu dominan di Eropa dan Inggris sampai dua kali nyaris menjuarai dua kompetisi ini di luar status liga edisi 2020 serta juara Liga Champions 2019.
Fakta menarik lainnya adalah sejak awal 2000-an ketika investor-investor AS mulai melirik Liga Inggris, banyak klub liga ini yang mengalami transformasi radikal menjadi brand-brand super yang mengglobal, bahkan pada aspek tertentu, amerikanisasi berdampak langsung terhadap terciptanya modifikasi aspek-aspek penting dalam kehidupan sosial budaya Inggris yang sejalan dengan nafas kapitalisme negeri itu.
Amerikanisasi melalui gabungan profesionalisasi, investasi keuangan besar-besaran dan pemasaran yang intensif telah mengubah sepak bola Inggris menjadi pula hiburan kelas menengah ke atas, bukan lagi cuma hiburan untuk kelas pekerja.
Cara pertandingan sepakbola dipasarkan dan dinikmati pun menjadi kian menarik dari waktu ke waktu, dan ini salah satu yang membuat Liga Inggris semakin mengglobal, tidak lagi cuma milik orang Inggris.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Chelsea dan amerikanisasi Liga Inggris
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022
Termasuk Fulham yang kembali promosi Liga Premier musim 2022/2023, ada sembilan dari 20 tim Liga Inggris yang komposisi sahamnya menaruh nama-nama Amerika Serikat sebagai pemilik saham mayoritas dan minoritas dalam klub-klub itu.
Kesembilan tim itu adalah Chelsea, Fulham, Arsenal, Aston Villa, Crystal Palace, Leeds United, Liverpool, Manchester City yang 10 persen sahamnya juga dimiliki Silver Lake dari AS, dan Manchester United.
Baca juga: Liverpool tanpa Fabinho, Chelsea tak diperkuat Kovacic
Uniknya, hampir semua investor AS ini memiliki pula klub-klub olahraga yang bertanding dalam liga-liga profesional AS seperti National Football League (NFL), Major League Soccer (MLS), Major League Baseball (MLB), National Hockey League (NHL), NBA, dan seterusnya.
Kalau Todd Boehly si pemilik baru Chelsea mempunyai juga LA Dodgers yang bermain di MLB, maka yang lain juga begitu.
Weslet Edens di Aston Villa adalah juga pemilik klub NBA, Milwaukee Bucks. Bahkan Stan Kroenke tak saja memiliki Arsenal, tapi juga tim NBA Denver Nuggets dan sejumlah klub olahraga yang bermain di liga NFL, MLS dan NHL.
Begitu pula pemilik Leeds United, 49ers Enterprises, yang menguasai klub NFL, San Francisco 49ers. John Henry dan Tom Werner yang mengusai saham mayoritas Liverpool juga memiliki Boston Red Sox yang bermain di liga MLB.
Sementara keluarga Glazer yang menguasai Manchester United, memiliki pula klub NFL, Tampa Bay Buccaneers. Pun Shahid Khan sang pemilik Fulham, yang juga mengelola Jacksonville Jaguars di liga NFL.
Baca juga: Chelsea tantang Liverpool dalam final Piala FA
Kecenderungan masuknya investor-investor Amerika ini terjadi juga di berbagai liga sepak bola Eropa. AC Milan, Parma, Fiorentina, dan AS Roma di Serie A Italia juga dimiliki para investor Amerika. Pun Bordeaux dan Marseille of di Ligue 1 Prancis.
Sekilas amerikanisasi sepak bola Inggris itu terlihat sebagai produk globalisasi, namun jika diamati lebih dalam, kecenderungan tersebut justru kian kentara memperlihatkan komersialisasi olahraga.
Tujuan utama investor Amerika di Liga Inggris, terlihat semata mengeduk keuntungan finansial yang membuat suporter klub direduksi menjadi konsumen produk klub yang mereka akuisisi.
Dari sudut pandang investor, penggemar memang dianggap pengguna produk-produk terkait klub, mulai tiket pertandingan klub, sampai aneka merchandise klub.
Persepsi ini membuat investor-investor Amerika dikritik karena berusaha menirukan kondisi kompetisi olah raga di Amerika Serikat di bumi Eropa.
Mereka dikritik karena menyumpalkan agenda yang semata didorong oleh latar belakang finansial guna menciptakan kembali sukses yang serupa mereka ciptakan di NFL, MLB, NBA, dan sebangsanya. Perspektif ini bertentangan 180 derajat dengan harapan suporter sepak bola Inggris yang memiliki konstruksi hubungan unik dengan klub-klub kesayangannya.
Bagi suporter Inggris, mendukung klub kesayangannya adalah soal loyalitas dan gairah. Untuk itu klub adalah identitas seumur hidup mereka, sampai sebagian kalangan menyebut sepak bola sudah menjadi agama mereka.
Mentransformasi Liga Inggris
Ketidaksepakatan antara suporter dan pemilik klub ini tidak begitu menjadi perhatian sampai 12 klub Eropa memutuskan membuat liga sempalan dari liga-liga profesional yang ada di Eropa dengan membentuk apa yang disebut Liga Super Eropa pada April 2021.
Prakarsa itu gagal diwujudkan namun sama sekali belum mati. Tetapi setelah gonjang ganjing Liga Super Eropa ini, hubungan suporter Inggris dengan pemilik klub menjadi sering bertabrakan, bahkan di beberapa klub semisal Manchester United, pemilik klub sering dianggap biang kerok untuk prestasi buruk timnya.
Pada titik tertentu, hubungan seperti ini bisa merusak ikatan emosional penggemar dengan klub, walaupun bisa juga terjadi sebaliknya. Kekhawatiran ini terjadi karena komersialisasi yang semakin meluas dan ekspansi global sepakbola telah membuat suporter merasa bukan lagi menjadi fokus klubnya.
Ironisnya, tingginya gaji dan pesepakbola dan besarnya dana yang dibenamkan untuk pasar transfer pemain, sedikit banyak malah ditanggung oleh suporter klub, dalam bentuk naiknya harga tiket, merchandise, dan item-item terkait klub.
Tak heran globalisasi sepak bola acap dianggap sebagai masalah besar oleh bagian besar penggemar sepak bola.
Komersialisasi akibat amerikanisasi sepak bola Inggris ini juga membuat keputusan yang dibuat klub menjadi lebih diorientasikan kepada aspek ekonomi, sedangkan pendukung sepak bola tak lagi menjadi pertimbangan.
Gambarannya terlihat dari penentuan jadwal pertandingan, waktu bertanding yang semakin larut malam, pemasaran hak siar televisi, dan bahkan penentuan jadwal pertandingan timnas yang kentara demi mengakomodasi klub dan liga.
Walaupun demikian, ikatan emosional penggemar dengan klub masih terlihat kuat dan bahkan mampu menahan dampak negatif komersialisasi.
Salah satu faktornya adalah komitmen sebagian besar pesepakbola yang menomorsatukan penggemar, selain adanya identifikasi suporter dengan tim kesayangannya yang bahkan turun temurun diturunkan kepada generasi setelah mereka.
Namun jujur saja tak semua amerikanisasi Liga Inggris negatif, karena dalam banyak hal turut mendorong prestasi klub menjadi lebih maju.
Taruhlah apa yang dilakukan Fenway Sports Group yang dimiliki John Henry dan Tom Werner dalam mengelola Liverpool sejak membeli klub ini pada 15 Oktober 2010.
Memang tidak instan, tetapi sepuluh tahun setelah mengakuisisi klub ini, mereka membuat Liverpool bisa lagi mengangkat trofi Liga Inggris setelah 30 tahun tak bisa melakukannya.
Mereka juga membuat Liverpool kembali menjadi kekuatan sepakbola menakutkan di Eropa, bukan saja karena sukses menjuarai Liga Champions pada 2019 tapi juga karena begitu dominan di Eropa dan Inggris sampai dua kali nyaris menjuarai dua kompetisi ini di luar status liga edisi 2020 serta juara Liga Champions 2019.
Fakta menarik lainnya adalah sejak awal 2000-an ketika investor-investor AS mulai melirik Liga Inggris, banyak klub liga ini yang mengalami transformasi radikal menjadi brand-brand super yang mengglobal, bahkan pada aspek tertentu, amerikanisasi berdampak langsung terhadap terciptanya modifikasi aspek-aspek penting dalam kehidupan sosial budaya Inggris yang sejalan dengan nafas kapitalisme negeri itu.
Amerikanisasi melalui gabungan profesionalisasi, investasi keuangan besar-besaran dan pemasaran yang intensif telah mengubah sepak bola Inggris menjadi pula hiburan kelas menengah ke atas, bukan lagi cuma hiburan untuk kelas pekerja.
Cara pertandingan sepakbola dipasarkan dan dinikmati pun menjadi kian menarik dari waktu ke waktu, dan ini salah satu yang membuat Liga Inggris semakin mengglobal, tidak lagi cuma milik orang Inggris.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Chelsea dan amerikanisasi Liga Inggris
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022