Budaya "mengawah" (menanak nasi pakai wajan besar) yang dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat di tengah malam, masih lestari dalam acara perkawinan warga Kampung Inan Panggung, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan.

Wartawan Antara Kalsel yang menghadiri acara kawinan di wilayah Kecamatan Paringin Selatan, Senin melaporkan, gotong royong masih kental di dalam masyarakat, termasuk mengawah untuk menanak nasi dalam sajian acara perkawinan.

Menurut Pak Rahami, tetuha masyarakat setempat, budaya gotong royong seperti mengawah sudah ada sejak nenek moyang, dan budaya tersebut tetap dipertahankan karena selain mengurangi biaya juga meningkatkan keakraban di antara warga.

Mengawah dilakukan pada tengah malam hingga pagi hari, itu dikerjakan oleh bapak-bapak dan pemuda setempat, minimal sepuluh kawah atau sekitar 10 belek, satu belek 20 liter beras.

Nasi hasil mengawah dikumpulkan, kemudian pada pagi hari mulai digunakan untuk sajian para undangan untuk acara kawinan warga setempat.

Sementara waktu yang sama tengah malam hingga pagi juga gotong royong dilakukan oleh ibu-ibu, yakni menyiapkan bumbu bumbu atau rempah rempah untuk dimasak menjadi gangan atau lauk pauk teman makan nasi saat sajian siang hari.
Acara mengawah di dalam masyarakat Balangan (Antaranews kalsel/Hasan Z)


Menurut pak Rahami, memasak sajian kawinan dilakukan secara gotong royong sesuai menu atau masakan lokal yang biasa dilakukan saat perkawinan, seperti gangan waluh dan humbut nyiur balamak (kuah santan sayur labu dan umbut) dengan ikan garih (ikan kering gabus). Atau gangan waluh atau humbut balamak dengan iwak haruan (ikan gabus) panggang. Umbut adalah bagian batang kelapa tempat tumbuhnya daun-daun muda.

"Menu tersebut seakan wajib disajikan di kalangan masyarakat setempat saat pengantinan," kata Pak Rahami seraya menyebutkan pula bahwa selain menu khusus itu masih ada menu lain yang agak modern, seperti ketupat kandangan, soto atau sup ayam, serta menu lainnya.

Bahan-bahan untuk makanan tersebut hampir semuanya sumbangan masyarakat setempat, sehingga yang mengerjakan perkawinan tidak merasa berat soal biaya, karena sejak seminggu sebelumnya sudah berdatangan sumbangan warga, berupa beras, kelapa, ikan, humbut, waluh, gula putih, bahkan uang.

Bukan hanya menyediakan makanan yang gotong royong tetapi juga mencari kayu bakar, termasuk membuat panggung hiburan atau panggung untuk pengantin bersanding itu juga gotong royong.

Dengan kebiasan tersebut maka mulai dulu hingga sekarang saat acara kawinan tidak mengenal istilah pesan makanan melalui katering, tambah Pak Rahami.
 

Pewarta: Hasan Zainuddin

Editor : Mahdani


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022