Sekretaris Koperasi Unit Desa (KUD) Tuwuh Sari, Kabupaten Tanah Bumbu, Muhammad Irhamni menyampaikan dampak larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng bagi petani di daerah seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Ia mengatakan, kondisi hingga hari ini, Minggu (24/2), produksi buah sawit sedang turun, di pohon sawit rata-rata hanya ada sekitar 40 hingga 50 persen yang bisa dipanen.

"Kami ini dengan adanya larangan penyetopan ekspor paling terdampak jadinya, produksi turun dan diperkirakan seminggu ke depan harga Tandan Buah Segas (TBS) yang dibeli pabrik sudah diisukan turun Rp50 hingga Rp100," katanya melalui sambungan telepon.

Dijelaskan dia, isu turunya harga TBS sudah pihaknya ketahui, dan ini realistis terjadi di lapangan, termasuk harga yang ada di pengepul pun mengakibatkan harga bergejolak di wilayah Tanah Bumbu.

Pihaknya merasa perlu menyuarakan aspirasi para petani kecil kelapa sawit di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, atas penyetopan ekspor Crude Palm Oil (CPO) oleh pemerintah.
 
Kondisi produksi buah sawit menurun di kebun petani. (Antara/Fathur)

Baca juga: Petani khawatir harga TBS anjlok terdampak penyetopan ekspor

Serta menyampaikan kekhawatirannya atas penyetopan ekspor CPO tersebut akan berdampak sekali terhadap dirinya dan petani lain, di samping kondisi buah sawit setiap panennya hanya mencapai 40 persen hingga 50 persen dari kondisi normal. 

"Dengan harga TBS yang tergolong tinggi saat ini bisa menutupi turunnya produksi tersebut, cukuplah untuk menutupi biaya produksi dan hidup sehari-hari, namun apabila kebijakan penyetopan dilakukan akan berdampak besar pada petani," katanya.

Menurut dia, jika benar terjadi penyetopan ekspor CPO dipastikan petanilah yang akan menerima dampak beratnya, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) akan mengolah TBS menyesuaikan daya tampung tangki CPO.

Tempat penyimpanan sementara sebelum dijual ke pembeli, artinya perusahaan akan menghitung daya tampung tangki tersebut, TBS yang diutamakan untuk diolah adalah TBS dari kebun inti perusahaan. 

Selanjutnya secara otomatis PKS akan mengurangi dan mungkin bahkan tidak mau lagi terima TBS dari luar, baik itu dari petani plasma ataupun petani swadaya.

"Pun jika PKS menerima tentu harga belinya akan ditekan, di sini kami kembali menghitung kerugian," katanya.

Apabila tetap menjual apakah akan bisa menutupi biaya produksi TBS tersebut, dan jadi jauh dari kata "untung" untuk biaya produksi, dan hidup sehari-hari saja jika sudah terpenuhi pihaknya sudah bersyukur sekali.

Hal ini sangat berat buat para petani, sedang produksi sangat kecil, biaya produksi tinggi yang disebabkan oleh harga pupuk semakin tinggi dan langka, di sisi lain juga segala keperluan barang dan jasa untuk mendukung produksi sudah tidak sebanding dengan harga jual TBS. 
 
Kondisi produksi buah sawit menurun di kebun petani. (Antara/Fathur)

Baca juga: RI perlu fokus peningkatan keuntungan dari komoditas ekspor

"Kami berharap hendaknya pemerintah mendengar jeritan kami rakyat kecil, dan bisa meliat dampak dari kebijakan yang diambil," katanya.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia(GAPKI) telah menyampaikan penyataan sikap bersama, terkait kebijakan larangan ekspor CPO dengan empat point utama.

Pertama, pelaku usaha perkelapasawitan mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit, menghormati dan akan melaksanakan kebijakan seperti yang disampaikan oleh Presiden RI.

Kedua, GAPKI akan memonitor perkembangan di lapangan setelah berlakunya kebijakan tersebut. Ketiga, mengajak seluruh pemangku kepentingan dalam mata rantai industri sawit memantau dampak kebijakan terhadap sektor keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit

Terakhir, jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa  sawit, maka GAPKI akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut.
 
Foto bersama para petani dan pelaku usaha sawit dalam satu satu kegiatan. (Antara/Fathur)

Pewarta: Fathurrahman

Editor : Mahdani


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022