Ketika kita membuka-buka lagi lembaran sejarah perjuangan Banga Indonesia, maka pasti seluruh warga bangsa mengenal istilah "Bambu Runcing" yang merupkana salah satu senjata para pahlawan berjuang merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. "Meeerrrrdeeekaaa!!!!

Menjelang hari-hari terakhir puncak pelaksanaan pesta demokrasi di tanah air atau pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 9 Desember 2015, pihak KPU Pusat melalui salah seorang komisionernya melontarkan "Bolehnya" warga membawa kamera atau HP ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay di Jakarta mengatakan, secara selintas ada larangan membawa telepon genggam berkamera, namun itu hanya berlaku di bilik suara saja.

"Kalau di TPS secara umum boleh," tegasnya.

Malah dia mengimbau warga untuk membawa kamera/HP saat menggunakan hak suara ke TPS, bahkan diminta mengabadikan tiap pelanggaran yang terjadi di TPS.

Hadar malah mengundang seluruh warga untuk berlomba-lomba mengabadikan proses dan hasil perhitungan suara di masing-masing TPS, karena hal itu malah membantu KPU untuk mengontrol jalannya Pilkada yang transparan.

Ketika mengetahui adanya informasi atas imbauan KPU tersebut, saya teringat dengan pernyataan menggelitik dari salah seorang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan bahwa HP menjadi "Bambu Runcing" zaman sekarang.

"Rekam dan laporkan setiap terjadi pelanggaran Pilkada maupun kasus koruspi dan serahkan foto/video tersebut kepada pihak yang berwenang bisa ke KPK, polisi atau kejaksaan," kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja ketika hadir dalam sebuah diskusi Pilkada Berintegritas.

Pelanggaran dan ancaman korupsi yang terjadi dalam proses Pilkada diakui cukup rentan mengingat selama 12 tahun terakhir 15 gubernur dan 49 bupati/wali kota tertangkap tangan terkait tinadak pidana korupsi.

Menurut dia, kenapa itu terjadi karena saat mengikuti proses Pilkada modalnya besar dan banyak sehingga ketika terpilih terpaksa harus mengembalikan modal melalui permainan di APBD dan perizinan.

Anggaran pembangunan yang memerlukan persetujuan anggota legislatif di mark-up sehingga perlu ada proses nego, sehingga proyek-proyek pembangunan yang berjalan hanya sisa atau ampasnya saja sedangkan intinya sudah masuk kantong.

"Kalau gaji saja pasti tidak cukup untuk mengembalikan modal Pilkada yang besar dan banyak itu, sehingga kita butuh Pilkada yang berintegritas melalui calo, pemilih dan penyelenggara yang bersih," katanya.

Menurut Adnan, korupsi adalah perbuatan yang sangat jahat sehingga harus diperangi secara masif dan bersama-sama seluruh komponen anak bangsa yang ingin melihat bangsa dan negaranya bangkit dan sejahtera.

Pewarta: Abdul Hakim Muhiddin

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015