Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyebut kebijakan kewajiban memasok ke dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak sawit mentah (CPO), olein, dan minyak goreng, akan menekan harga tandan buah segar sawit di tingkat petani.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung di Jakarta, Jumat, mengatakan dengan kebijakan tersebut maka pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) ke petani.
"(Kebijakan) ini kan hanya menyelamatkan konsumen minyak goreng saja, tapi sisi lain kami sebagai petani kelapa sawit dikorbankan," katanya.
Menurut dia, melambungnya harga CPO juga mengatrol harga TBS, namun kenaikan harga TBS ini tidak serta merta menaikkan keuntungan petani secara signifikan karena di saat yang sama harga pupuk mengalami lonjakan. Sejak Januari 2021 hingga Januari 2022 harga pupuk melonjak sekitar 185 persen.
Oleh karena itu Apkasindo meminta pemerintah membuat kebijakan yang menyatakan bahwa pembelian TBS harus mengacu kepada harga internasional (cif Rotterdam). Hal itu perlu dilakukan untuk melindungi petani.
Senada dengan itu Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan kebijakan DMO dan DPO ini sangat berpotensi menekan harga TBS, akibatnya kesejahteraan petani akan menurun.
Jika harga TBS petani jatuh di bawah harga keekonomian, dikhawatirkan para petani akan malas merawat kebun sawitnya. Selain itu para petani juga akan enggan memanen TBS-nya yang akibatnya suplai TBS juga akan menjadi masalah.
Menurut dia, dengan kebijakan DMO ini harga minyak goreng ditetapkan dalam tiga kelompok yaitu minyak goreng curah dengan harga Rp11.000 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter.
Penurunan harga ini menyebabkan terjadinya disparitas harga. “Ini membuka peluang untuk diselewengkan. Tata niaga di industri perkelapasawitan ini cukup komplek,” katanya.
Tauhid menjelaskan total produksi CPO dan Palm Kernel Oil (PKO) sekitar 53 juta ton yang mana sekitar 30 juta ton terserap di pasar ekspor.
Dari total ekspor tersebut, sekitar 20 persen atau setara dengan 6 juta ton adalah untuk produk bahan baku minyak goreng. Sedangkan total konsumsi minyak goreng nasional hanya sekitar 5,6 juta ton.
Karena itu, lanjutnya, kebijakan DMO yang diberlakukan pemerintah dalam meredam melambungnya harga minyak goreng ini kurang tepat, sehingga tak ada salahnya apabila pemerintah mengadopsi kebijakan yang ditempuh Malaysia dalam meredam harga minyak goreng.
Kebijakan itu yakni melakukan subsidi harga minyak goreng khusus bagi warga miskin. Dana subsidi bisa diambilkan dari dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Jadi jangan semua diberikan subsidi. Kalangan menengah ke atas biarkan membeli minyak goreng non subsidi, sementara yang subsidi khusus untuk yang miskin,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung di Jakarta, Jumat, mengatakan dengan kebijakan tersebut maka pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) ke petani.
"(Kebijakan) ini kan hanya menyelamatkan konsumen minyak goreng saja, tapi sisi lain kami sebagai petani kelapa sawit dikorbankan," katanya.
Menurut dia, melambungnya harga CPO juga mengatrol harga TBS, namun kenaikan harga TBS ini tidak serta merta menaikkan keuntungan petani secara signifikan karena di saat yang sama harga pupuk mengalami lonjakan. Sejak Januari 2021 hingga Januari 2022 harga pupuk melonjak sekitar 185 persen.
Oleh karena itu Apkasindo meminta pemerintah membuat kebijakan yang menyatakan bahwa pembelian TBS harus mengacu kepada harga internasional (cif Rotterdam). Hal itu perlu dilakukan untuk melindungi petani.
Senada dengan itu Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan kebijakan DMO dan DPO ini sangat berpotensi menekan harga TBS, akibatnya kesejahteraan petani akan menurun.
Jika harga TBS petani jatuh di bawah harga keekonomian, dikhawatirkan para petani akan malas merawat kebun sawitnya. Selain itu para petani juga akan enggan memanen TBS-nya yang akibatnya suplai TBS juga akan menjadi masalah.
Menurut dia, dengan kebijakan DMO ini harga minyak goreng ditetapkan dalam tiga kelompok yaitu minyak goreng curah dengan harga Rp11.000 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter.
Penurunan harga ini menyebabkan terjadinya disparitas harga. “Ini membuka peluang untuk diselewengkan. Tata niaga di industri perkelapasawitan ini cukup komplek,” katanya.
Tauhid menjelaskan total produksi CPO dan Palm Kernel Oil (PKO) sekitar 53 juta ton yang mana sekitar 30 juta ton terserap di pasar ekspor.
Dari total ekspor tersebut, sekitar 20 persen atau setara dengan 6 juta ton adalah untuk produk bahan baku minyak goreng. Sedangkan total konsumsi minyak goreng nasional hanya sekitar 5,6 juta ton.
Karena itu, lanjutnya, kebijakan DMO yang diberlakukan pemerintah dalam meredam melambungnya harga minyak goreng ini kurang tepat, sehingga tak ada salahnya apabila pemerintah mengadopsi kebijakan yang ditempuh Malaysia dalam meredam harga minyak goreng.
Kebijakan itu yakni melakukan subsidi harga minyak goreng khusus bagi warga miskin. Dana subsidi bisa diambilkan dari dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Jadi jangan semua diberikan subsidi. Kalangan menengah ke atas biarkan membeli minyak goreng non subsidi, sementara yang subsidi khusus untuk yang miskin,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022