DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel) dalam hal ini Komisi I Bidang Hukum dan Pemerintahan yang juga membidangi pertanahan memediasi persoalan "tanah adat" atau Hak Ulayat dengan PTPN XIII Danau Salak di Kabupaten Banjar.

Dalam mediasi yang dibuka dan ditutup Wakil Ketua Komisi I Siti Noortita Ayu Febria Roosani di Banjarmasin, Kamis (9/12) menghasilkan beberapa kesimpulan yang masih memerlukan tindak lanjut.

Sekretaris Komisi I H Suripno Sumas SH MH menerangkan, kesimpulan mediasi tersebut, pihak-pihak pemilik Tanah Ulayat harus secara intens lagi berkomunikasi dengan PTPN XIII Danau Salak.

"Selain itu, kita harapkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menangguhkan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN Danau Salak sebelum persoalan kepemilikan lahan selesai," ujar anggota DPRD Kalsel dua periode itu.

Alternatif lain, lanjut alumnus Universitas Lambung Mangkurat (ULM d/h Unlam) Banjarmasi itu, kemungkinan bisa menjadikan pemilik tanah adat secara turun temurun itu sebagai plasma sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Sebah dari informasi, PTPN XIII Danau Salak mau mengubah tanaman komoditas dari karet ke kelapa sawit. Sedangkan sesuai ketentuan, setiap perkebunan besar wajib menyediakan 20 persen dari luasan untuk plasma/warga masyarakat setempat," tambahnya.

"Dari hasil dialog yang ketika itu hadir Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalsel dan Kepala BPN Kabupaten Banjar tampaknya masih ada peluang penyelesaian damai," demikian Suripno Sumas usai pertemuan tersebut.
Mediasi persoalan tanah adat melalui Advokat/Pengacara H Fathurrahman dengan PTPN XIII Danau Salak oleh Komisi I DPRD Kalsel yang dihadiri Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi setempat serta Kepala BPN Kabupaten Banjar di Banjarmasin, Kamis (9/12) siang (Syamsuddin Hasan)

Sementara anggota Komisi I Dr H Karlie Hanafi Kalianda SH MH yang mantan aktivis mahasiswa Unlam menyarankan antara lain agar pemilik tanah adat sebaiknya segera membuat sertifikat sebagai alas hukum guna keabsahan kepemilikan.

"Sebab sesuai peraturan terbaru tentang pertanahan, sertifikat merupakan alat yang kuat dalam kepemilikan," tegas Karlie Hanafi yang oleh sejawatnya akrab dengan sapaan Akang 

Dari PTPN XIII Danau Salak menyatakan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minimal mendapatkan persetujuan Kementerian untuk pelepasan tanah.

Sedangkan Advokat/Pengacara H Fathurrahman SH menginginkan, luasan tanah 45 hektare yang sudah dipetakan sebagai tanah Ulayat pada Sertifikasi HGU PTPN XIII Danau Salak Nomor 1 Tahun 1979 dikeluarkan atau tidak masuk dalam rencana perpanjangan HGU.

Karena, menurut alumnus Fakultas Hukum Unlam dan pernah sebagai Jaksa tersebut, pemetaan dalam Sertifikasi HGU PTPN XIII Danau Salak No. 1/1979 itu sudah sebuah pengakuan atas hak tanah Ulayat, walau berada dalam kawasan lahan HGU.

"Kami tetap berusaha mencari jalan damai, tanpa melalui proses hukum," ucap Fathurrahman usai pertemuan kepada Antara Kalsel.


 

Pewarta: Syamsuddin Hasan

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021