Pemerintah bersama Kementerian/Lembaga dinilai perlu berkomunikasi lebih lanjut dengan pelaku usaha terkait rencana penetapan pungutan pajak karbon untuk menghindari tekanan terhadap iklim usaha di tengah pandemi COVID-19.

Untuk itu, disarankan perlu mempertimbangkan ulang rencana pemungutan pajak karbon, mulai dari sisi besaran tarif, entitas yang akan menjadi objek pajak, serta sektor atau aktivitas yang tercakup dalam pajak karbon.

“Koordinasi antara Kementerian dan dunia usaha untuk menyusun skema pajak karbon agar tidak menambah beban masyarakat di tengah menurunnya daya beli yang saat ini terdampak pandemi,” kata Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman, dalam keteragannya di Jakarta, Senin.

Menurut Ferdy, komunikasi intensif pemerintah dengan Kementerian dan Lembaga terkait dengan kesiapan dan konsekuensi yang akan dihadapi dunia usaha terkait kebijakan ini karena pengenaan pajak atas emisi karbon ini akan ditanggung konsumen.

Baca juga: Moratorium izin kawasan hutan primer-gambut harus permanen

Rencana pemerintah memungut pajak karbon tambahnya, sulit diwujudkan sejalan dengan masih belum meredanya pandemi COVID-19 yang berdampak pada lesunya dunia usaha dan menurunnya daya beli masyarakat.

"Efek ke dunia usaha pasti besar, karena pasti menambah beban produksi, yang ujungnya juga akan ditanggung masyarakat selaku konsumen. Saat pandemi COVID-19, banyak perusahaan kinerjanya turun, meskipun itu perusahaan besar," katanya.

Kebijakan ini akan memberikan efek domino kepada sektor usaha lainnya, selain tentunya memperburuk iklim investasi, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pengenaan emisi karbon sebagai barang kena pajak.

"Pajak karbon tujuannya untuk meredam emisi (gas rumah kaca). Tapi harus ada transisi untuk meminimalisasi beban kepada masyarakat. Harus ada persiapan dan kombinasi, dan ini hanya bisa dilakukan jika ada komunikasi dengan pelaku usaha," katanya.

Pemerintah berencana memungut pajak karbon dan akan diberlakukan mulai 2022. Rencana tersebut tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Baca juga: Indonesia mengusung "blue carbon" kurangi emisi karbon pada UNFCCC

Aturan itu menyebutkan bahwa subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat dengan Komisi XI DPR (Senin, 29/6), mengatakan ada beberapa alasan pengenaan pajak karbon, salah satunya adalah isu lingkungan.

Sebab, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen pada tahun 2021 dan 29 persen pada tahun 2030.

"Salah satu instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca adalah diperlukan ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon," ujar Sri Mulyani.

Indonesia, sangat rentan terhadap perubahan iklim yang mengakibatkan kerugian cukup besar setiap tahunnya. Bahkan, untuk mengendalikan perubahan iklim, Indonesia selalu kekurangan biaya.


 

Pewarta: Royke Sinaga

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021