Banjarmasin,  (AntaranewsKalsel) - Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin mengaku lebih memilih wilayah yang dia pimpin tidak memiliki tambang batu bara dari pada harus menanggung risiko kerusakan alam yang luar biasa seperti saat ini.

"Kalau disuruh memilih, saya lebih memilih Kalsel tidak memiliki tambang, tetapi tetap mendapatkan bagi hasil dari pusat, dari pada harus menanggung risiko kerusakan alam yang luar biasa seperti saat ini," kata Rudy saat menerima tim kunjungan kerja Badan Legislasi Nasional DPR RI di Ruang Rapat Aberani Sulaiman, Senin.

Pernyataan Gubernur tersebut, sebagai salah satu bentuk protes terhadap pemerintah pusat, yang memperlakukan bagi hasil dana perimbangan antara daerah penghasil tambang dan yang tidak memiliki tambang, dilakukan dengan formula yang sama.

Menurut Gubernur, seharusnya sebelum diperhitungkan menjadi dana bagi hasil bagi seluruh provinsi di Indonesia, pemerintah pusat mengeluarkan dulu dana untuk perbaikan lingkungan akibat pertambangan tersebut dan mengembalikan ke daerah penghasil.

Sisanya, tambah Gubernur, baru bisa dibagi secara proposional untuk seluruh wilayah NKRI, sebagaimana yang ditetapkan saat ini.

"Kalau sekarang, formula bagi hasil dana perimbangan sama saja, baik bagi daerah penghasil maupun bukan penghasil, sehingga bila disuruh memilih, lebih baik tidak memiliki tambang, tetapi mendapatkan hasil yang sama dengan daerah yang tidak memiliki tambang," katanya.

Gubernur mengungkapkan, pusat tidak adil karena membiarkan daerah dapat royalti kecil namun tidak memikirkan dampak kerusakan lingkungan yang dirasakan daerah.

Menurut Rudy, Kalsel merupakan penghasil batu bara terbesar kedua di Indonesia setelah Kaltim. Setidaknya ada dua perusahaan besar pemegang izin PKP2B di Kalsel yakni PT Adaro dan PT Arutmin.

Mengenai royalti, Rudy menjelaskan selama ini Kalsel hanya mendapat 3 persen dari total Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) royalti sebesar 13,5 persen. Dari 3 persen tersebu, itu pun masih harus dibagi dengan pemerintah kabupaten dan kota penghasil serta lainnya.

"Sehingga kalau boleh dikatakan dengan 3 persen itu dirasakan sangat sangat belum adil," ujarnya.

Ketidakadilan juga dirasakan dari sisi dampak lingkungan. Dengan penerimaan royalti yang sangat kecil, Kalsel justru menerima dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa.

"Dulu kami tanyakan ke Menkeu waktu ibu Sri Mulyani, katanya daerah sudah dapat kembali melalui DAU dan DAK. Kalau gitu kita lebih baik tidak ada tambang karena daerah lain tanpa tambang juga dapat," cetusnya.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalsel Kustono Widodo menjelaskan, sebenarnya yang dibagi ke Kalsel hanya 2,64 persen karena ada pajak dan lainnya. Dari 2,64 persen akan dibagi ke tiga pihak.

"Kalau 2,64 persennya kita seratus persenkan, provinsi hanya dapat 16 persen, kabupaten penghasil 32 persen dan 32 lagi dibagi rata dengan kabupaten kota lain," terangnya.

Pusat sendiri menurut Kustono mendapat lebih dari 10 persen dari total royalti. Sementara kabupaten penghasil kalau dihitung hanya sekitar 1 persen.

Keluhan tentang ketidakadilan bagi hasil dana perimbangan tersebut, hampir dilontarkan setiap kali ada kunjungan dair pemerintah pusat, baik dari DPR-RI maupun kementerian terkait lainnya.

Namun, kendati protes tersebut telah disampaikan berulang kali sejak bertahun-tahun lamanya, namun hingga kini belum juga membuahkan hasil.

Pewarta: ulul maskuriah

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015