Pengalaman berharga didapat oleh anggota Polisi Republik Indonesia AKP I Kade Dwi Suryawandika setelah satu tahun menjalankan tugas sebagai polisi perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Darfur, Sudan.
Cerita darinya bukan tentang perang, konflik ataupun isu politik di negara bagian utara Benua Afrika itu, namun tentang kemanusiaan.
Polisi yang saat ini bertugas di Polres Tapin Polda Kalimantan Selatan itu menceritakan tentang kehidupan masyarakat di wilayah terbelenggu konflik.
Saat berumur 25 tahun pada 2016 lalu, dia mendaftarkan diri untuk bergabung bersama Formed Police Units (FPU) Garuda Bhayangkara Indonesia di gelombang ke Sembilan.
Dia meniggalkan istri beserta anak pertamanya yang baru lahir saat dia berada di atas pesawat.
“ Saat itu saya berpikir, mumpung masih muda saya harus berangkat ke Sudan, saya harus menyaksikan sendiri apa yang terjadi di sana, benar saja hasil dari konflik tidak lain adalah penderitaan, itu yang saya lihat selama di sana, anak anak, perempuan, orang tua ya seluruh masyarakat sipil di sana adalah korban dari konflik panjang itu,” cerita Kasat Reskrim Polres Tapin itu.
Menjalankan misi internasional, di sana, wilayah patrolinya berada di Area of Responsibility (AOR) di sekitaran El Fasher, Darfur Utara, selain menjalankan misi pengamanan dia juga aktif berinteraksi dengan penduduk lokal dalam kegiatan charity (amal) di Indonesia dikenal dengan nama bakti sosial.
Dalam operasi hybrida antara PBB dan Uni Afrika, UNAMID (United Nations African Mission In Darfur) itu dijelaskan FPU Garuda Bhayangkara Indonesia fokus misi diantaranya membantu melindungi komunitas lemah dari ancaman kekacauan, memimpin patroli dengan menyakinkan dan mengawal tugas tugas ke IDP’s (Internally Displace Persons) dengan sebaik mungkin untuk memelihara kehadiran PBB di camp pengungsi internal.
“Selain itu misi kita juga membantu tugas monitoring dan melindungi personil PBB Uni Afrika dan fasilitas fasilitasnya,” jelas pria yang akrab disapa Kadeza itu.
Membandingkan dengan kehidupannya di Indonesia, pria kelahiran 1990 berdarah Bali-Kalimantan itu bersyukur menjadi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Makanan sangat berharga di sana, mereka hanya makan satu kali sehari itu sudah syukur, mereka tinggal di rumah rumah kecil yang terbuat dari tanah yang beratap dedaunan. Pemandangan di sana membuat hati saya miris,” kenangnya terenyuh.
Dengan segala keterbatasan, atas nama kemanusiaan pria berpenampilan garang yang irit bicara itu berucap, mengharapkan adanya kedamaian untuk masyarakat Sudan yang menjadi korban konflik.
“Jelas, saya mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap manusia,” ujarnya.
Catatan ANTARAnews.com dikutip dari salah satu kantor berita terbesar di dunia bernama Reuters pada April 2021 lalu menerbitkan berita telah terjadi bentrok antarsuku yang menewaskan 40 orang, Sudan pun dinyatakan darurat oleh pemerintah setempat.
Catatan lain mengenai konflik di wilayah berpasir itu, masih dari sumber yang sama mengatakan, konflik meletus di Darfur pada 2003, setelah mayoritas kelompok non-arab bangkit melawan Khartoum. Hingga 300.000 orang tewas dan 2,5 juta orang mengungsi, termasuk lebih dari 180.000 pengungsi di Darfur Barat, menurut perkiraan PBB.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
Cerita darinya bukan tentang perang, konflik ataupun isu politik di negara bagian utara Benua Afrika itu, namun tentang kemanusiaan.
Polisi yang saat ini bertugas di Polres Tapin Polda Kalimantan Selatan itu menceritakan tentang kehidupan masyarakat di wilayah terbelenggu konflik.
Saat berumur 25 tahun pada 2016 lalu, dia mendaftarkan diri untuk bergabung bersama Formed Police Units (FPU) Garuda Bhayangkara Indonesia di gelombang ke Sembilan.
Dia meniggalkan istri beserta anak pertamanya yang baru lahir saat dia berada di atas pesawat.
“ Saat itu saya berpikir, mumpung masih muda saya harus berangkat ke Sudan, saya harus menyaksikan sendiri apa yang terjadi di sana, benar saja hasil dari konflik tidak lain adalah penderitaan, itu yang saya lihat selama di sana, anak anak, perempuan, orang tua ya seluruh masyarakat sipil di sana adalah korban dari konflik panjang itu,” cerita Kasat Reskrim Polres Tapin itu.
Menjalankan misi internasional, di sana, wilayah patrolinya berada di Area of Responsibility (AOR) di sekitaran El Fasher, Darfur Utara, selain menjalankan misi pengamanan dia juga aktif berinteraksi dengan penduduk lokal dalam kegiatan charity (amal) di Indonesia dikenal dengan nama bakti sosial.
Dalam operasi hybrida antara PBB dan Uni Afrika, UNAMID (United Nations African Mission In Darfur) itu dijelaskan FPU Garuda Bhayangkara Indonesia fokus misi diantaranya membantu melindungi komunitas lemah dari ancaman kekacauan, memimpin patroli dengan menyakinkan dan mengawal tugas tugas ke IDP’s (Internally Displace Persons) dengan sebaik mungkin untuk memelihara kehadiran PBB di camp pengungsi internal.
“Selain itu misi kita juga membantu tugas monitoring dan melindungi personil PBB Uni Afrika dan fasilitas fasilitasnya,” jelas pria yang akrab disapa Kadeza itu.
Membandingkan dengan kehidupannya di Indonesia, pria kelahiran 1990 berdarah Bali-Kalimantan itu bersyukur menjadi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Makanan sangat berharga di sana, mereka hanya makan satu kali sehari itu sudah syukur, mereka tinggal di rumah rumah kecil yang terbuat dari tanah yang beratap dedaunan. Pemandangan di sana membuat hati saya miris,” kenangnya terenyuh.
Dengan segala keterbatasan, atas nama kemanusiaan pria berpenampilan garang yang irit bicara itu berucap, mengharapkan adanya kedamaian untuk masyarakat Sudan yang menjadi korban konflik.
“Jelas, saya mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap manusia,” ujarnya.
Catatan ANTARAnews.com dikutip dari salah satu kantor berita terbesar di dunia bernama Reuters pada April 2021 lalu menerbitkan berita telah terjadi bentrok antarsuku yang menewaskan 40 orang, Sudan pun dinyatakan darurat oleh pemerintah setempat.
Catatan lain mengenai konflik di wilayah berpasir itu, masih dari sumber yang sama mengatakan, konflik meletus di Darfur pada 2003, setelah mayoritas kelompok non-arab bangkit melawan Khartoum. Hingga 300.000 orang tewas dan 2,5 juta orang mengungsi, termasuk lebih dari 180.000 pengungsi di Darfur Barat, menurut perkiraan PBB.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021