Ada haru, takjub, dan pilu saat memandangi lukisan berjudul "AKAD" karya Iwan Yusuf, seorang pelukis kelahiran Gorontalo.
Di atas kanvas berukuran 130 x 178 cm itu, tersaji permainan cat minyak dengan sapuan pisau palet dan stroke kuas.
Bila dicermati, lukisan ini tampak bermotif timbul seperti kayu dengan cat biru dan merah terkelupas di sana sini.
Sebagian orang akan langsung menyadari, itu semacam perahu tapi berbentuk dua cincin yang saling tertaut.
AKAD adalah karya kedua seri deformasi perahu, yang dikerjakan Iwan Yusuf saat sedang berada di Gorontalo pada Maret 2020.
Lukisan tersebut adalah karya kedua yang dilukis di tanah asalnya, setelah lukisan pertama berjudul "Sembilan Bulan" pada tahun 2017.
Sebelumnya, pelukis yang dikenal beraliran hiper realis ini telah mengerjakan puluhan karya seri perahu lainnya di Studio Lukis Iwan di Batu, Jawa Timur.
AKAD terinspirasi dari legenda perdamaian dua kerajaan di Gorontalo yakni Hulondalo dan Limutu tahun 1673.
Konon, kedua pemimpin dari kerajaan itu saling menautkan cincinnya dan melemparnya ke Danau Limboto. Lalu mereka berikrar tak akan ada lagi perang di negeri itu, selama cincin tidak ditemukan.
Awaludin, pegiat budaya di Huntu Art Distrik (Hatrdisk), studio seni yang berpusat di Desa Huntu Selatan Kabupaten Bone Bolango, kemudian menggagas pameran keliling khusus untuk lukisan itu pada September hingga Oktober 2020.
AKAD memang telah dipinang oleh seorang pengoleksi di Jawa Timur pada April 2020.
Tapi sang kolektor mengizinkan lukisan itu dipajang di rumah beberapa orang di Gorontalo.
"Ada sembilan rumah dan keluarga beruntung menikmati lukisan ini secara privat. Mereka dipilih sendiri oleh Iwan. Letak karya pada dinding serta pencahayaannya, juga diatur sendiri oleh Iwan dan tim Hartdisk," ungkap Koordinator HARTDISK Awaludin, Ahad.
Pemilihan kesembilan orang itu, didasari berbagai pertimbangan teknis dan latar belakang, terutama keterkaitannya dengan kondisi Danau Limboto.
Karya itu rata-rata dipajang selama dua hingga tiga hari pada satu rumah. Setiap orang yang disinggahi, dapat menuliskan responnya tentang pengalaman estetik dan historis Danau Limboto.
"Apreasiasi karya yang diharapkan bukan tentang Iwan Yusuf secara personal, namun merujuk pada Danau Limboto dan permasalahannya," kata Awal.
Mengulas danau
Setelah dipamerkan keliling, ada beragam respon tentang Danau Limboto dari orang-orang yang telah menikmati "AKAD" di kediamannya.
Sebagian besar diantaranya mengungkapkan harapan, kenangan, cerita, hingga cita-cita untuk "kesembuhan" Danau Limboto. Satu dari 15 danau di Indonesia yang kondisinya sedang kritis.
Dosen dan peneliti di Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Terri Repi, menilai obyek lukisan itu mewakili kegelisahannya tentang hal-hal yang terlupakan dalam pengelolaan Danau Limboto.
Ia mengungkapkan Danau Limboto kini areanya sedang mendangkal dan menyempit. Konferensi Nasional Danau Indonesia di Bali tahun 2009, menyepakati 15 danau kritis yang menjadi prioritas, termasuk Danau Limboto.
Menurutnya, respon pemerintah daerah bisa dibilang serius, karena mengeluarkan Perda Nomor 9 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategi Provinsi Danau Limboto.
Namun, pendekatan pemerintah masih sebatas pada aspek fisik, belum pada aspek ekologi kultural.
Baginya danau ini bukan hanya cekungan dan resapan air, tetapi identitas masyarakat Gorontalo.
Seorang aktivis lingkungan di Gorontalo, Rahman Dako, juga merespon lukisan itu dengan kisah berbeda.
Ia mengungkapkan, baru-baru ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) II Sulawesi, menyatakan akan membangun tiga pulau di tengah-tengah Danau Limboto.
Rahman menambahkan, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab dari pembangunan pulau tersebut. Jika rencana terwujud, BWS akan mendapatkan proyek besar, namun banjir tetap saja menggenangi daerah sekitar danau.
"Entah apa yang ada dalam benak BWS sehingga mereka nekat meminta dana ratusan miliar, hanya untuk membangun pulau dan merusak ekosistem danau serta sejarah orang Gorontalo," katanya.
Respon lainnya datang dari Christopel Paino, jurnalis Mongabay Indonesia, yang melihat lukisan Iwan bak mesin waktu.
"Ia tidak hanya mengajak kita kembali mengingat masa lalu, tapi juga mengajak kita melihat masa depan Gorontalo, apakah gelap atau terang," katannya dalam coretan itu
Christopel kerap menyoroti masalah lingkungan termasuk Danau Limboto, melalui tulisan-tulisannya.
Apresiasi juga dilontarkan seorang pekerja seni dan dosen Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Zulkipli Lubis.
Ia meyakini tak ada karya seni yang diciptakan dalam keadaan kosong. Selalu ada pesan yang ingin disampaikan pembuatnya.
Baginya lukisan AKAD adalah pengingat. Pengingat agar kita selalu melestarikan Danau Limboto, serta memori tentang pejuang para leluhur yang telah menyatukan orang-orang Gorontalo.
"Program pameran keliling ini memberikan pengalaman batin luar biasa bagi kami, bahwa kita tak pernah ada tanpa berbuat apa-apa," ungkapnya.
Di tengah pandemi COVID-19, pameran ini sungguh senyap tapi riuh.
Kisah nelayan
Tak hanya didedikasikan untuk Danau Limboto, pameran keliling juga dipersembahkan kepada nelayan yang hidup dari danau itu.
Iwan Yusuf ingin merawat kenangannya bersama Rudin Ishak, seorang nelayan yang dikaguminya dan telah meninggalkan dunia ini pada tahun 2016.
Ia lalu berkisah tentang Rudin, yang menetap dan menjaga keramba ikannya di bagian Timur Danau Limboto.
Rudin adalah orang yang berjasa dalam mewujudkan karya seni Iwan berjudul Lahilote.
Karya Lahilote menggunakan bahan eceng gondok, yang dibentuk menjadi telapak kaki raksasa di tengah Danau Limboto
"Saat kami putus asa dengan teknik menyeret eceng gondok, dialah yang menemukan cara terbaiknya. Berkat beliau, kami bisa menyelesaikan karya tersebut," kenangnya.
Sosok nelayan itu juga merupakan salah satu sumber inspirasi lwan dalam karya seri perahu.
Ia pernah sangat ingin membeli perahu tua milik Rudin, namun gagal karena nelayan itu tak ingin melepas dan menukar kenangannya selama 15 tahun dengan rupiah.
"Perahu itu tidak dijual tapi malah dihibahkan kepada saya. Dari situ saya belajar tentang hubungan memori Rudin dengan perahunya yang tidak terukur nilainya," kata Iwan.
Perahu itu kini terpajang di studionya di Jawa Timur, untuk mengenang Rudin dan para nelayan lainnya yang menggantungkan hidupnya dari Danau Limboto.
Rupanya lukisan ini tak hanya membingkai peradaban, tetapi menyematkan rindu dan harapan, lalu mengisahkan kembali pada mata-mata yang menatapnya.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
Di atas kanvas berukuran 130 x 178 cm itu, tersaji permainan cat minyak dengan sapuan pisau palet dan stroke kuas.
Bila dicermati, lukisan ini tampak bermotif timbul seperti kayu dengan cat biru dan merah terkelupas di sana sini.
Sebagian orang akan langsung menyadari, itu semacam perahu tapi berbentuk dua cincin yang saling tertaut.
AKAD adalah karya kedua seri deformasi perahu, yang dikerjakan Iwan Yusuf saat sedang berada di Gorontalo pada Maret 2020.
Lukisan tersebut adalah karya kedua yang dilukis di tanah asalnya, setelah lukisan pertama berjudul "Sembilan Bulan" pada tahun 2017.
Sebelumnya, pelukis yang dikenal beraliran hiper realis ini telah mengerjakan puluhan karya seri perahu lainnya di Studio Lukis Iwan di Batu, Jawa Timur.
AKAD terinspirasi dari legenda perdamaian dua kerajaan di Gorontalo yakni Hulondalo dan Limutu tahun 1673.
Konon, kedua pemimpin dari kerajaan itu saling menautkan cincinnya dan melemparnya ke Danau Limboto. Lalu mereka berikrar tak akan ada lagi perang di negeri itu, selama cincin tidak ditemukan.
Awaludin, pegiat budaya di Huntu Art Distrik (Hatrdisk), studio seni yang berpusat di Desa Huntu Selatan Kabupaten Bone Bolango, kemudian menggagas pameran keliling khusus untuk lukisan itu pada September hingga Oktober 2020.
AKAD memang telah dipinang oleh seorang pengoleksi di Jawa Timur pada April 2020.
Tapi sang kolektor mengizinkan lukisan itu dipajang di rumah beberapa orang di Gorontalo.
"Ada sembilan rumah dan keluarga beruntung menikmati lukisan ini secara privat. Mereka dipilih sendiri oleh Iwan. Letak karya pada dinding serta pencahayaannya, juga diatur sendiri oleh Iwan dan tim Hartdisk," ungkap Koordinator HARTDISK Awaludin, Ahad.
Pemilihan kesembilan orang itu, didasari berbagai pertimbangan teknis dan latar belakang, terutama keterkaitannya dengan kondisi Danau Limboto.
Karya itu rata-rata dipajang selama dua hingga tiga hari pada satu rumah. Setiap orang yang disinggahi, dapat menuliskan responnya tentang pengalaman estetik dan historis Danau Limboto.
"Apreasiasi karya yang diharapkan bukan tentang Iwan Yusuf secara personal, namun merujuk pada Danau Limboto dan permasalahannya," kata Awal.
Mengulas danau
Setelah dipamerkan keliling, ada beragam respon tentang Danau Limboto dari orang-orang yang telah menikmati "AKAD" di kediamannya.
Sebagian besar diantaranya mengungkapkan harapan, kenangan, cerita, hingga cita-cita untuk "kesembuhan" Danau Limboto. Satu dari 15 danau di Indonesia yang kondisinya sedang kritis.
Dosen dan peneliti di Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Terri Repi, menilai obyek lukisan itu mewakili kegelisahannya tentang hal-hal yang terlupakan dalam pengelolaan Danau Limboto.
Ia mengungkapkan Danau Limboto kini areanya sedang mendangkal dan menyempit. Konferensi Nasional Danau Indonesia di Bali tahun 2009, menyepakati 15 danau kritis yang menjadi prioritas, termasuk Danau Limboto.
Menurutnya, respon pemerintah daerah bisa dibilang serius, karena mengeluarkan Perda Nomor 9 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategi Provinsi Danau Limboto.
Namun, pendekatan pemerintah masih sebatas pada aspek fisik, belum pada aspek ekologi kultural.
Baginya danau ini bukan hanya cekungan dan resapan air, tetapi identitas masyarakat Gorontalo.
Seorang aktivis lingkungan di Gorontalo, Rahman Dako, juga merespon lukisan itu dengan kisah berbeda.
Ia mengungkapkan, baru-baru ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) II Sulawesi, menyatakan akan membangun tiga pulau di tengah-tengah Danau Limboto.
Rahman menambahkan, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab dari pembangunan pulau tersebut. Jika rencana terwujud, BWS akan mendapatkan proyek besar, namun banjir tetap saja menggenangi daerah sekitar danau.
"Entah apa yang ada dalam benak BWS sehingga mereka nekat meminta dana ratusan miliar, hanya untuk membangun pulau dan merusak ekosistem danau serta sejarah orang Gorontalo," katanya.
Respon lainnya datang dari Christopel Paino, jurnalis Mongabay Indonesia, yang melihat lukisan Iwan bak mesin waktu.
"Ia tidak hanya mengajak kita kembali mengingat masa lalu, tapi juga mengajak kita melihat masa depan Gorontalo, apakah gelap atau terang," katannya dalam coretan itu
Christopel kerap menyoroti masalah lingkungan termasuk Danau Limboto, melalui tulisan-tulisannya.
Apresiasi juga dilontarkan seorang pekerja seni dan dosen Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Zulkipli Lubis.
Ia meyakini tak ada karya seni yang diciptakan dalam keadaan kosong. Selalu ada pesan yang ingin disampaikan pembuatnya.
Baginya lukisan AKAD adalah pengingat. Pengingat agar kita selalu melestarikan Danau Limboto, serta memori tentang pejuang para leluhur yang telah menyatukan orang-orang Gorontalo.
"Program pameran keliling ini memberikan pengalaman batin luar biasa bagi kami, bahwa kita tak pernah ada tanpa berbuat apa-apa," ungkapnya.
Di tengah pandemi COVID-19, pameran ini sungguh senyap tapi riuh.
Kisah nelayan
Tak hanya didedikasikan untuk Danau Limboto, pameran keliling juga dipersembahkan kepada nelayan yang hidup dari danau itu.
Iwan Yusuf ingin merawat kenangannya bersama Rudin Ishak, seorang nelayan yang dikaguminya dan telah meninggalkan dunia ini pada tahun 2016.
Ia lalu berkisah tentang Rudin, yang menetap dan menjaga keramba ikannya di bagian Timur Danau Limboto.
Rudin adalah orang yang berjasa dalam mewujudkan karya seni Iwan berjudul Lahilote.
Karya Lahilote menggunakan bahan eceng gondok, yang dibentuk menjadi telapak kaki raksasa di tengah Danau Limboto
"Saat kami putus asa dengan teknik menyeret eceng gondok, dialah yang menemukan cara terbaiknya. Berkat beliau, kami bisa menyelesaikan karya tersebut," kenangnya.
Sosok nelayan itu juga merupakan salah satu sumber inspirasi lwan dalam karya seri perahu.
Ia pernah sangat ingin membeli perahu tua milik Rudin, namun gagal karena nelayan itu tak ingin melepas dan menukar kenangannya selama 15 tahun dengan rupiah.
"Perahu itu tidak dijual tapi malah dihibahkan kepada saya. Dari situ saya belajar tentang hubungan memori Rudin dengan perahunya yang tidak terukur nilainya," kata Iwan.
Perahu itu kini terpajang di studionya di Jawa Timur, untuk mengenang Rudin dan para nelayan lainnya yang menggantungkan hidupnya dari Danau Limboto.
Rupanya lukisan ini tak hanya membingkai peradaban, tetapi menyematkan rindu dan harapan, lalu mengisahkan kembali pada mata-mata yang menatapnya.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020