Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Seorang akademisi dari Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH berpendapat, pemilihan umum kepala daerah atau Pilkada biaya mahal.

"Bila kita perhatikan pemilihan bupati/wali kota dan gubernur selama ini menghabiskan biaya tidak sedikit atau terlalu mahal," ujarnya kepada Antara Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, Rabu.

"Apalagi terjadi kerusuhan, pengaduan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan pengadilan umum lainnya, bisa menambah pembiayaan tinggi," lanjut Guru Besar pada Universitas Palangka Raya (Unpar) tersebut.

Hal tersebut, menurut dia, berarti secara realita untuk mendapatkan jabatan bupati/wali kota dan gubernur, bukan saja melalui pemilihan sangat mahal.

Ia menambahkan, pengertian mahal tak cuma diukur dengan berapa habisnya duit, tapi dampak psikologis dan sosial kemasyarakatan yang bisa berujung konflik.

Mahalnya pemilihan calon, karena mengeluarkan biaya, menurut dia, mungkin tidak semua calon yang mengeluarkan biaya pencalonan milik si calon itu sendiri.

Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan pula, lanjutnya, kalau berhasil, setelah terpilih bagaimana mengembalikan biaya modal atau untuk memenuhi janji dengan pemodal.

"Namun bagaimana bagi yang tidak terpilih, mungkin punya pemikiran untuk mengembalikan biaya tersebut tidak menutup kemungkinan si mantan calon terjadi stres berat," ujar dosen pascasarjana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Unpar itu.

"Keadaan tersebut suatu pertanda beratnya calon bupati/wali kota dan cagub dalam pemilihan seperti sekarang. Belum lagi bila terjadi perselisihan yang berakhir pada persidangan, apakah persidangan di MK atau masalah hukum lain yang diserahkan ke pengadilan negeri," lanjutnya.

Selain itu, terjadi pula berbagai demo untuk meraih siapa pemenang pemilihan itu, tambah anak Desa Anjir Serapat Kabupaten Kapuas, Kalteng tersebut yang meniti karier mulai pegawai rendahan (pesuruh) hingga meraih gelar profesor.

Namun Guru Besar pada perguruan tinggi negeri tertua di "Bumi Isen Mulang" Kalteng itu tidak memberi opsi atau pendapat, nama sistem pemilihan kepada daerah yang terbaik di antara cara langsung seperti 15 tahun terakhir dan melalui DPRD sebagaimana sejak puluhan tahun lalu.

Menurut mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) tersebut, mengenai pemilihan kepala daerah melalui DPRD dan atau secara langsung, memang menimbulkan pro dan kontra, tapi tujuannya baik.

"Walau kita ketahui jika pemilihan melalui DPRD, lebih diuntungkan anggota DPRD. Sementara calon perorangan harus bekerja keras dan menunjukkan budi pekerti di mata anggota DPRD setempat," lanjutnya.

Terkait tugas wakil rakyat, baik di DPR maupun DPRD provinsi serta kabupaten/kota, dia berpendapat, sebagainya hanya melakukan pengawasan anggaran, jangan turut menentukan besaran anggaran agar tidak terjerat masalah hukum.

"Apalagi dalam hal pengawasan terhadap semua pejabat sudah cukup tinggi, sehingga barang siapa yang salah akan berhadapan dengan penegak hukum. Termasuk wakil-wakil rakyat kita yang kariernya berakhir di meja hijau," ujarnya tanpa menunjuk contoh.

Tapi, menurut dia, jika tugas anggota DPR atau DPRD sebagai pengawasan saja, kemungkinan tidak akan terjadi kasus hukum yang menimpa wakil rakyat, asalkan melakukan pengawasan dengan baik dan benar.

"Bila melakukan pengawasan dengan `main sebelah mata` atau tak sesuai peraturan perundang-undangan, maka tidak tertutup kemungkinan pula tetap akan kena jerat hukum," demikian Norsanie Darlan.

Pewarta: Syamsuddin Hasan

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014