Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar, mengatakan berbagai langkah diplomasi dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memajukan industri kelapa sawit, mulai dari bilateral, multilateral bahkan pertemuan-pertemuan internasional lainnya kelapa sawit selalu saja menjadi salah satu isu utama dalam pembahasan.
Ia mengatakan, pada level multilateral, pemerintah Indonesia telah melayangkan tuntutan melalui WTO terhadap Uni Eropa, pada kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang saat ini memasuki tahapan penetapan panelist di settlement body.
"Tidak hanya itu, Indonesia juga mengajukan inisiatif penetapan Sustainable Development Goals Standard of Vegetable Oil dalam rangka menselaraskan standar untuk seluruh minyak nabati. Sementara pada tingkat regional, isu diskriminasi kelapa sawit telah merenggangkan hubungan Uni Eropa dan ASEAN," katanya.
Baca juga: Harga TBS sawit di Kalbar alami kenaikan
Dijelaskan dia, pertama dalam sejarah hubungan Uni Eropa dan ASEAN akan ditunda peningkatannya, karena diskriminasi yang dilakukan terhadap sawit. Seluruh anggota ASEAN bersatu demi sawit.
Saat ini, Indonesia bersama dengan Inggris sedang melakukan perundingan untuk menerapkan due dilligence pada proses perdagangan internasional bagi beberapa komoditas salah satunya kelapa sawit.
Namun untuk menerapkan sistem yang adil, maka Indonesia akan mengusulkan penetapan acuan standar atau sertifikasi yang nantinya akan diterapkan tidak hanya untuk Indonesia namun juga pihak Inggris.
Baca juga: Direktur Eksekutif GAPKI : Ekspor dan harga Sawit membaik
"Hal ini dapat menguntungkan namun juga mengancam posisi Indonesia, di mana keterlibatan komoditas strategis lainnya seperti Kakao dan Kopi akan memerlukan standar pembangunan berkelanjutan yang sama dengan komoditas kelapa Sawit," katanya, sebagai keynote speechnya pada acara #INAPalmoil Talkshow.
Ditambahkan dia, untuk sawit memang sudah lebih jauh karena sudah punya ISPO, tuntutan pembangunan berkelanjutan ini makin diperlukan dan menjadi tujuan utama tapi ironisnya justru kelapa Sawit ini yang paling siap sebenarnya tapi paling didiskriminasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
Ia mengatakan, pada level multilateral, pemerintah Indonesia telah melayangkan tuntutan melalui WTO terhadap Uni Eropa, pada kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang saat ini memasuki tahapan penetapan panelist di settlement body.
"Tidak hanya itu, Indonesia juga mengajukan inisiatif penetapan Sustainable Development Goals Standard of Vegetable Oil dalam rangka menselaraskan standar untuk seluruh minyak nabati. Sementara pada tingkat regional, isu diskriminasi kelapa sawit telah merenggangkan hubungan Uni Eropa dan ASEAN," katanya.
Baca juga: Harga TBS sawit di Kalbar alami kenaikan
Dijelaskan dia, pertama dalam sejarah hubungan Uni Eropa dan ASEAN akan ditunda peningkatannya, karena diskriminasi yang dilakukan terhadap sawit. Seluruh anggota ASEAN bersatu demi sawit.
Saat ini, Indonesia bersama dengan Inggris sedang melakukan perundingan untuk menerapkan due dilligence pada proses perdagangan internasional bagi beberapa komoditas salah satunya kelapa sawit.
Namun untuk menerapkan sistem yang adil, maka Indonesia akan mengusulkan penetapan acuan standar atau sertifikasi yang nantinya akan diterapkan tidak hanya untuk Indonesia namun juga pihak Inggris.
Baca juga: Direktur Eksekutif GAPKI : Ekspor dan harga Sawit membaik
"Hal ini dapat menguntungkan namun juga mengancam posisi Indonesia, di mana keterlibatan komoditas strategis lainnya seperti Kakao dan Kopi akan memerlukan standar pembangunan berkelanjutan yang sama dengan komoditas kelapa Sawit," katanya, sebagai keynote speechnya pada acara #INAPalmoil Talkshow.
Ditambahkan dia, untuk sawit memang sudah lebih jauh karena sudah punya ISPO, tuntutan pembangunan berkelanjutan ini makin diperlukan dan menjadi tujuan utama tapi ironisnya justru kelapa Sawit ini yang paling siap sebenarnya tapi paling didiskriminasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020