Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018 Hary Prasetyo mengatakan direksi menerapkan rencana cadangan (contigency plan) dalam mengatasi kondisi keuangan Jiwasraya.
"Kondisi yang memaksa kami melakukan (contigency plan), suatu diskresi direksi untuk bertindak atas sebuah kondisi keuangan Jiwasraya yang abnormal semata-mata untuk menjaga kelanjutan usaha Jiwasraya," kata Hary di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menuntut Hary Prasetyo dengan penjara seumur hidup karena dinilai terbukti melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp16,807 triliun.
"Sementara kami menunggu suntikan modal Rp6,7 triliun turun dari pemerintah, akan tetapi pada 2009 diputuskan oleh Kementerian Keuangan sebagai 'ultimate shareholder' proposal suntikan dana tersebut tidak dapat dipenuhi," ucap Hary menambahkan.
Atas keputusan tersebut Kementerian BUMN memerintahkan direksi Jiwasraya saat itu dengan Direktur Utama Hendrisman Rahim bahwa Jiwasraya harus tetap menjaga kelangsungan hidupnya, tanpa gaduh, "self healing" atau menyembuhkan diri sendiri sebutannya.
"Tugas kami melanjutkan kondisi tersebut dan tidak menyerah! Sekali lagi apabila kami menyerah pada 2009, maka bisa dibayangkan dampak sistemik diseluruh sektor keuangan jika Kami gagal bayar atau bahasa terangnya menyerah dengan keadaan!" ujar Hary menegaskan.
Dampaknya, Jiwasraya harus selalu tampil sehat, laporan laporan keuangan bulanan kepada Bapepam-LK dan OJK harus selalu baik.
"Tentunya kondisi Jiwasraya yang sebenarnya diketahui oleh regulator, bahkan oleh BPK, perlu jurus tersendiri karena kondisi Jiwasraya juga abnormal. Jika saja dalam kurun waktu 10 tahun kami menjabat, melalui Kementerian BUMN dan OJK mengumumkan ke publik melalui DPR seperti yang direksi Jiwasraya, hancurlah kepercayaan publik," imbuh Hary.
Menurut Hary, modal direksi saat itu hanya surat "going concern" dari Menteri Negara BUMN Rini Soemarno.
Menurut Hary, Jiwasraya mengalami arus kas negatif sejak 2008 sampai 2014. Pengeluaran klaim lebih tinggi dari pemasukan dan biasanya pemasukan premi mulai pada akhir kuartal IV.
"Bagaimana Jiwasraya bisa menjaga laporan keuangan dan 'RBC' (Risk Based Capital) di kuartal 1 sampai 3? Bagaimana bisa membayar klaim di kuartal 1 sampai 3 setiap tahunnya? Hanya investasi yang bisa menjaga pembayaran klaim dan laporan keuangan, tidak ada cara yang lain," ungkap Hary.
Hary mengaku bahwa ia dan direksi lainnya hanya memiliki tekad dengan itikad baik dengan perjuangan untuk menyehatkan Jiwasraya, tidak ada agenda lain.
"Sangat tidak mudah menjaga laporan keuangan untuk tetap 'solvent' meski sempat dilakukan revaluasi aset pada 2013 karena terpaksa karena tidak ada piihan lain untuk mendadak Rp6,7 triliun harus masuk di buku. Apakah hal tersebut dikatakan semu? Betul, tetapi tidak ada pilihan lain, jika tidak Jiwasraya akan kembali bangkrut pada 2013," kata Hary menjelaskan.
Semu itu, menurut Hary adalah kenaikan aset properti tersebut disandingkan dengan kewajiban masa lalu yang mencapai bunga di atas 16 persen tidak akan pernah terpenuhi karena imbal hasil properti tersebut hanya 0,6 persen per tahun.
"Apa yang diperlukan? Direksi kembali tertimpa tangga dan kondisi ini diketahui oleh Kementerian BUMN sebagai pemegang saham, diperlukan diskresi direksi atas hal ini, diperlukan 'business judgement' untuk menjaga 'going concern' Jiwasraya," papar Hary.
Hary juga mengaku ketika ia dituntut seumur hidup JPU tidak menilai ada satu pun hal yang meringankan dari diri saya.
"Apakah yang ringan hanya karena saya belum pernah ditahan? Perjuangan Saya menghidupkan, menyehatkan dan membesarkan Jiwasraya selama 10 tahun, apakah saya seperti pembunuh berdarah dingin yang memutilasi korbannya sehingga saya harus dituntut seumur hidup? Saya merasa fakta persidangan terabaikan, isinya hanya mengulang dakwaan yang berasal dari BAP selama penyidikan," kata Hary.
Sedangkan saksi-saksi seperti akuntan publik yang pernah mengaudit Jiwasraya, mantan Kepala Divisi Akuntansi dan Keuangan yang pernah juga menjadi Direktur Keuangan, mantan direksi lain, terlebih mantan-mantan Deputi dan para asisten deputi jasa keuangan Kementerian BUMN termasuk mantan pejabat Bapepam LK Perasuransian juga tidak dihadirkan dalam persidangan.
Sidang vonis akan dilangsungkan pada 5 Oktober 2020.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
"Kondisi yang memaksa kami melakukan (contigency plan), suatu diskresi direksi untuk bertindak atas sebuah kondisi keuangan Jiwasraya yang abnormal semata-mata untuk menjaga kelanjutan usaha Jiwasraya," kata Hary di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menuntut Hary Prasetyo dengan penjara seumur hidup karena dinilai terbukti melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp16,807 triliun.
"Sementara kami menunggu suntikan modal Rp6,7 triliun turun dari pemerintah, akan tetapi pada 2009 diputuskan oleh Kementerian Keuangan sebagai 'ultimate shareholder' proposal suntikan dana tersebut tidak dapat dipenuhi," ucap Hary menambahkan.
Atas keputusan tersebut Kementerian BUMN memerintahkan direksi Jiwasraya saat itu dengan Direktur Utama Hendrisman Rahim bahwa Jiwasraya harus tetap menjaga kelangsungan hidupnya, tanpa gaduh, "self healing" atau menyembuhkan diri sendiri sebutannya.
"Tugas kami melanjutkan kondisi tersebut dan tidak menyerah! Sekali lagi apabila kami menyerah pada 2009, maka bisa dibayangkan dampak sistemik diseluruh sektor keuangan jika Kami gagal bayar atau bahasa terangnya menyerah dengan keadaan!" ujar Hary menegaskan.
Dampaknya, Jiwasraya harus selalu tampil sehat, laporan laporan keuangan bulanan kepada Bapepam-LK dan OJK harus selalu baik.
"Tentunya kondisi Jiwasraya yang sebenarnya diketahui oleh regulator, bahkan oleh BPK, perlu jurus tersendiri karena kondisi Jiwasraya juga abnormal. Jika saja dalam kurun waktu 10 tahun kami menjabat, melalui Kementerian BUMN dan OJK mengumumkan ke publik melalui DPR seperti yang direksi Jiwasraya, hancurlah kepercayaan publik," imbuh Hary.
Menurut Hary, modal direksi saat itu hanya surat "going concern" dari Menteri Negara BUMN Rini Soemarno.
Menurut Hary, Jiwasraya mengalami arus kas negatif sejak 2008 sampai 2014. Pengeluaran klaim lebih tinggi dari pemasukan dan biasanya pemasukan premi mulai pada akhir kuartal IV.
"Bagaimana Jiwasraya bisa menjaga laporan keuangan dan 'RBC' (Risk Based Capital) di kuartal 1 sampai 3? Bagaimana bisa membayar klaim di kuartal 1 sampai 3 setiap tahunnya? Hanya investasi yang bisa menjaga pembayaran klaim dan laporan keuangan, tidak ada cara yang lain," ungkap Hary.
Hary mengaku bahwa ia dan direksi lainnya hanya memiliki tekad dengan itikad baik dengan perjuangan untuk menyehatkan Jiwasraya, tidak ada agenda lain.
"Sangat tidak mudah menjaga laporan keuangan untuk tetap 'solvent' meski sempat dilakukan revaluasi aset pada 2013 karena terpaksa karena tidak ada piihan lain untuk mendadak Rp6,7 triliun harus masuk di buku. Apakah hal tersebut dikatakan semu? Betul, tetapi tidak ada pilihan lain, jika tidak Jiwasraya akan kembali bangkrut pada 2013," kata Hary menjelaskan.
Semu itu, menurut Hary adalah kenaikan aset properti tersebut disandingkan dengan kewajiban masa lalu yang mencapai bunga di atas 16 persen tidak akan pernah terpenuhi karena imbal hasil properti tersebut hanya 0,6 persen per tahun.
"Apa yang diperlukan? Direksi kembali tertimpa tangga dan kondisi ini diketahui oleh Kementerian BUMN sebagai pemegang saham, diperlukan diskresi direksi atas hal ini, diperlukan 'business judgement' untuk menjaga 'going concern' Jiwasraya," papar Hary.
Hary juga mengaku ketika ia dituntut seumur hidup JPU tidak menilai ada satu pun hal yang meringankan dari diri saya.
"Apakah yang ringan hanya karena saya belum pernah ditahan? Perjuangan Saya menghidupkan, menyehatkan dan membesarkan Jiwasraya selama 10 tahun, apakah saya seperti pembunuh berdarah dingin yang memutilasi korbannya sehingga saya harus dituntut seumur hidup? Saya merasa fakta persidangan terabaikan, isinya hanya mengulang dakwaan yang berasal dari BAP selama penyidikan," kata Hary.
Sedangkan saksi-saksi seperti akuntan publik yang pernah mengaudit Jiwasraya, mantan Kepala Divisi Akuntansi dan Keuangan yang pernah juga menjadi Direktur Keuangan, mantan direksi lain, terlebih mantan-mantan Deputi dan para asisten deputi jasa keuangan Kementerian BUMN termasuk mantan pejabat Bapepam LK Perasuransian juga tidak dihadirkan dalam persidangan.
Sidang vonis akan dilangsungkan pada 5 Oktober 2020.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020