Tulungagung, (Antaranews Kalsel) - Pusat Studi Lingkungan Hidup Mangkubumi mengecam pencemaran sungai-sungai di wilayah sentra kerajinan marmer Kecamatan Campurdarat dan Besole, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, diduga akibat tidak adanya instalasi pembuangan air limbah (IPAL) yang memadai.
"Sebagian besar sungai-sungai di wilayah Campurdarat dan Besole airnya berwarna cokelat pekat karena tercampur limbah abu batu (marmer) yang diduga mengandung berbagai unsur logam berat," kecam Direktur Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Mangkubumi, Mohammad Ichwan, Sabtu.
Di beberapa anak sungai dengan aliran kecil, lanjut dia, saat ini nyaris tidak ada lagi biota air seperti ikan, udang, kepiting sungai, atau bahkan ganggang air.
Hal itu dikarenakan kondisi air yang sangat keruh dan pekat, sehingga tidak layak untuk tempat hidup biota air.
Ironisnya, aliran sungai dengan debit kecil yang sudah tercemar abu batu marmer berwarna pekat itu langsung mengarah ke anak sungai Brantas yang bermuara di Bendung Niama, pintu pembuangan air untuk mencegah banjir ke arah laut selatan.
Akibatnya, lanjut Ichwan, tak jarang ditemukan ikan mati dalam jumlah banyak di sekitar Bendung Niama.
"Hampir semua perajin marmer di sini, terutama yang berskala kecil-menengah tidak memiliki sistem IPAL. Hal ini bisa terjadi lantaran kurangnya pembinaan pemerintah," kritik Maliki, koordinator bidang lingkungan Sungai PSLH Mangkubumi.
Buruknya sistem pengolahan limbah diakui salah satu perajin marmer di Desa Campurdarat, Kecamatan Campurdarat, Sugeng.
Namun ia berdalih limbah hasil pemotongan maupun pengolahan batu marmer tersebut tidak berbahaya bagi ikan, karena menyerupai lumpur.
"Kalau musim hujan, limbah-limbah yang menggenangi sungai ini langsung habis tersapu air," kilahnya.
Ia mengakui, tidak dibangunnya IPAL yang memadai dikarenakan kurang mendapat pengarahan dari daerah. "Selama ini juga tidak ada teguran, jadi seharusnya tidak masalah," jawabnya.
Sebagaimana pantauan Antara, limbah abu hasil pemotongan batu marmer yang berbentuk sangat lembut dibuang langsung oleh perajin dengan menggelontornya menggunakan air.
Seperti terlihat di sejumlah sentra pemotongan batu marmer di Desa Pelem dan Campurdarat, air limbah mengalir dari mesin-mesin pengolahan batu marmer menuju parit kecil yang terhubung langsung ke sungai.
Sama sekali tidak terlihat ada kolam-kolam penampungan sementara untuk merendam limbah batu tersebut sehingga tidak langsung dibuang ke sungai yang semakin pekat.
Secara industri, limbah abu batu marmer bisa diolah menjadi berbagai bahan kebutuhan seperti, aneka bedak, unsur campuran pakan ternak./e
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014
"Sebagian besar sungai-sungai di wilayah Campurdarat dan Besole airnya berwarna cokelat pekat karena tercampur limbah abu batu (marmer) yang diduga mengandung berbagai unsur logam berat," kecam Direktur Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Mangkubumi, Mohammad Ichwan, Sabtu.
Di beberapa anak sungai dengan aliran kecil, lanjut dia, saat ini nyaris tidak ada lagi biota air seperti ikan, udang, kepiting sungai, atau bahkan ganggang air.
Hal itu dikarenakan kondisi air yang sangat keruh dan pekat, sehingga tidak layak untuk tempat hidup biota air.
Ironisnya, aliran sungai dengan debit kecil yang sudah tercemar abu batu marmer berwarna pekat itu langsung mengarah ke anak sungai Brantas yang bermuara di Bendung Niama, pintu pembuangan air untuk mencegah banjir ke arah laut selatan.
Akibatnya, lanjut Ichwan, tak jarang ditemukan ikan mati dalam jumlah banyak di sekitar Bendung Niama.
"Hampir semua perajin marmer di sini, terutama yang berskala kecil-menengah tidak memiliki sistem IPAL. Hal ini bisa terjadi lantaran kurangnya pembinaan pemerintah," kritik Maliki, koordinator bidang lingkungan Sungai PSLH Mangkubumi.
Buruknya sistem pengolahan limbah diakui salah satu perajin marmer di Desa Campurdarat, Kecamatan Campurdarat, Sugeng.
Namun ia berdalih limbah hasil pemotongan maupun pengolahan batu marmer tersebut tidak berbahaya bagi ikan, karena menyerupai lumpur.
"Kalau musim hujan, limbah-limbah yang menggenangi sungai ini langsung habis tersapu air," kilahnya.
Ia mengakui, tidak dibangunnya IPAL yang memadai dikarenakan kurang mendapat pengarahan dari daerah. "Selama ini juga tidak ada teguran, jadi seharusnya tidak masalah," jawabnya.
Sebagaimana pantauan Antara, limbah abu hasil pemotongan batu marmer yang berbentuk sangat lembut dibuang langsung oleh perajin dengan menggelontornya menggunakan air.
Seperti terlihat di sejumlah sentra pemotongan batu marmer di Desa Pelem dan Campurdarat, air limbah mengalir dari mesin-mesin pengolahan batu marmer menuju parit kecil yang terhubung langsung ke sungai.
Sama sekali tidak terlihat ada kolam-kolam penampungan sementara untuk merendam limbah batu tersebut sehingga tidak langsung dibuang ke sungai yang semakin pekat.
Secara industri, limbah abu batu marmer bisa diolah menjadi berbagai bahan kebutuhan seperti, aneka bedak, unsur campuran pakan ternak./e
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014