Banjarmasin, (Antaranews.Kalsel) - Dirjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Widodo mengatakan pihaknya kini berupaya terus mendorong peningkatan sumber daya manusia Indonesia untuk menjadi konsumen yang cerdas dan nasionalis.
Menurut Widodo, pada pembukaan bimbingan teknis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Banjarmasin, Senin, membangun konsumen yang cerdas dan nasionalis sangat penting untuk dilakukan, mengingat kini konsumen Indonesia terus mendapatkan gempuran barang-barang murah baik dari dalam maupun luar negeri.
"Barang murah yang beredar di masyarakat, kini sudah membanjiri pasar dengan sedemikian rupa, sehingga hampir tidak ada batas distribusi baik barang luar maupun dalam negeri," katanya.
Kondisi tersebut, tambah dia, harus disikapi secara cerdas oleh masyarakat, yang merupakan sasaran dari beraneka macam produk yang diberikan oleh pelaku usaha, sehingga masyarakat tidak dirugikan.
Saat ini, tambah dia, cukup banyak barang-barang yang dijual dengan murah, tetapi kualitasnya masih belum bisa dibutkikan, sehingga bila masyarakat tidak cerdas, pada akhirnya akan terjebak dengan produk murah, tetapi tidak awet.
Widodo mencontohkan, produk lampu hemat energi yang dijual hanya Rp5 ribu, jauh lebih murah dibanding dengan biaya produksi lampu hemat energi yang dibuat oleh perusahaan nasional dengan standar yang telah ditentukan yaitu Rp12 ribu per biji.
Bila biaya produksi saja Rp12 ribu, maka harga jualnya sekitar Rp20 ribu, sepintas masyarakat akan merasa diuntungkan dengan membeli lampu dengan harga Rp5 ribu, namun ternyatalampu murah tersebut hanya bertahan satu minggu.
Artinya, dengan membeli lampu Rp5 ribu, masyarakat tiap minggu harus mengganti lampu, sehingga bila selama satu bulan harus mengeluarkan Rp20 ribu, sedangkan untuk lampu hemat energi yang sesuai standar, harganya Rp20 ribu, tetapi mampu bertahan hingga satu bulan lebih.
Kondisi tersebut, tambah dia, juga berlaku terhadap barang-barang lainnya, yang kini dijual sangat murah bahkan jauh dibawah biaya produksi.
Seperti misalnya, dijual tiga jenis alat pertukangan oleh pedagang asongan, yaitu obeng, tang dan martil dengan harga Rp10 ribu. Pedagang asongan mendapatkan barang tersebut dari tengkulak dengan harga Rp8 ribu, tengkulak mendapatkan dagangan dari pedagang besar Rp6 ribu, selanjutnya pedagang dari produsen Rp3 ribu.
Pertanyaannya sekarang, bila ketiga jenis tersebut diproduksi di dalam negeri, apakah mungkin biaya produksinya hanya Rp3 ribu. Bila lebih, apakah masyarakat Indonesia memilih membeli dengan harga Rp10 ribu yang murah atau Rp20 ribu yang berkualitas.
Pertanyaan Widodo, kontan dijawab peserta dengan jawaban memilih harga Rp10 ribu tiga."Bila memilih jawaban Rp10 ribu tiga tersebut, artinya tujuan Kemendag untuk membuat konsumen yang nasionalis masih sulit untuk dijangkau, karena fakta dilapangan, kini masyarakat digempur dengan produk-produk murah.
Bimtek peningkatan SDM bagi anggota BPSK tersebut diikut sekitar 30 orang dari beberapa daerah, antara lain dari Banjarmasin, Palangkaraya Kalimantan Tengah, Samarinda Kalimantan Timur, Probolinggi, Cirebon dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014
Menurut Widodo, pada pembukaan bimbingan teknis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Banjarmasin, Senin, membangun konsumen yang cerdas dan nasionalis sangat penting untuk dilakukan, mengingat kini konsumen Indonesia terus mendapatkan gempuran barang-barang murah baik dari dalam maupun luar negeri.
"Barang murah yang beredar di masyarakat, kini sudah membanjiri pasar dengan sedemikian rupa, sehingga hampir tidak ada batas distribusi baik barang luar maupun dalam negeri," katanya.
Kondisi tersebut, tambah dia, harus disikapi secara cerdas oleh masyarakat, yang merupakan sasaran dari beraneka macam produk yang diberikan oleh pelaku usaha, sehingga masyarakat tidak dirugikan.
Saat ini, tambah dia, cukup banyak barang-barang yang dijual dengan murah, tetapi kualitasnya masih belum bisa dibutkikan, sehingga bila masyarakat tidak cerdas, pada akhirnya akan terjebak dengan produk murah, tetapi tidak awet.
Widodo mencontohkan, produk lampu hemat energi yang dijual hanya Rp5 ribu, jauh lebih murah dibanding dengan biaya produksi lampu hemat energi yang dibuat oleh perusahaan nasional dengan standar yang telah ditentukan yaitu Rp12 ribu per biji.
Bila biaya produksi saja Rp12 ribu, maka harga jualnya sekitar Rp20 ribu, sepintas masyarakat akan merasa diuntungkan dengan membeli lampu dengan harga Rp5 ribu, namun ternyatalampu murah tersebut hanya bertahan satu minggu.
Artinya, dengan membeli lampu Rp5 ribu, masyarakat tiap minggu harus mengganti lampu, sehingga bila selama satu bulan harus mengeluarkan Rp20 ribu, sedangkan untuk lampu hemat energi yang sesuai standar, harganya Rp20 ribu, tetapi mampu bertahan hingga satu bulan lebih.
Kondisi tersebut, tambah dia, juga berlaku terhadap barang-barang lainnya, yang kini dijual sangat murah bahkan jauh dibawah biaya produksi.
Seperti misalnya, dijual tiga jenis alat pertukangan oleh pedagang asongan, yaitu obeng, tang dan martil dengan harga Rp10 ribu. Pedagang asongan mendapatkan barang tersebut dari tengkulak dengan harga Rp8 ribu, tengkulak mendapatkan dagangan dari pedagang besar Rp6 ribu, selanjutnya pedagang dari produsen Rp3 ribu.
Pertanyaannya sekarang, bila ketiga jenis tersebut diproduksi di dalam negeri, apakah mungkin biaya produksinya hanya Rp3 ribu. Bila lebih, apakah masyarakat Indonesia memilih membeli dengan harga Rp10 ribu yang murah atau Rp20 ribu yang berkualitas.
Pertanyaan Widodo, kontan dijawab peserta dengan jawaban memilih harga Rp10 ribu tiga."Bila memilih jawaban Rp10 ribu tiga tersebut, artinya tujuan Kemendag untuk membuat konsumen yang nasionalis masih sulit untuk dijangkau, karena fakta dilapangan, kini masyarakat digempur dengan produk-produk murah.
Bimtek peningkatan SDM bagi anggota BPSK tersebut diikut sekitar 30 orang dari beberapa daerah, antara lain dari Banjarmasin, Palangkaraya Kalimantan Tengah, Samarinda Kalimantan Timur, Probolinggi, Cirebon dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014