Oleh Syamsuddin Hasan
Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Almusawa berpendapat, penghapusan bea masuk kakao saat ini belum perlu untuk mengatasi defisit bahan baku industri komoditi tersebut.
"Untuk mengatasi kekurangan (defisit) bahan baku industri kakao bisa diupayakan dari biji kakao yang selama ini dialokasikan buat ekspor," sarannya dalam keterangan pers kepada wartawan di Banjarmasin, Kamis.
Pendapat politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Selatan itu mengomentari rencana Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang mau menghapus bea masuk kakao.
Kemendag menerima usul penghapusan bea masuk itu dari Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) yang mengeluhkan pasokan biji kakao lokal cuma sekitar 480.000 ton/tahun, sehingga belum mencukupi kebutuhan industri dengan kapasitas 600.000 ton/tahun.
"Namun dilain pihak Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) melaporkan, sepanjang Januari - Desember 2013, Indonesia masih mengekspor 188.000 ton bijih kakao non fermentasi," ungkapnya.
Dari angka tersebut, menurut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat (Jabar) itu, defisit bahan baku biji kakao sebesar 120 ribu. Sementara ekspornya sebanyak 188 ribu ton.
"Jadi sebetulnya defisit itu masih bisa dipenuhi oleh kakao dalam negeri yang dialokasikan untuk ekspor. Bahkan setelah pemenuhan tersebut, kita masih surplus 68 ribu ton," ujarnya.
Menurut wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian itu, persoalan tersebut hanya masalah pendekatan dan komunikasi.
"Seharusnya tugas Kemendag adalah memfasilitasi lalu melakukan regulasinya, tidak hanya mendengar satu pengaduan lalu langsung membuat kebijakan. Prematur itu namanya," tandasnya.
Karena itu tak mengherankan kalau rencana Kemendag untuk menghapuskan bea masuk kakao ditentang oleh petani dan asosiasi petani komoditi tersebut.
"Mereka (petani & asosiasi kakao) khawatir seandainya bea masuk kakao dinolkan, impor akan mengalir deras lalu para importir membuka gudang di Indonesia dan menyetok barang," ungkapnya.
Hal itu membuat para pengusaha pengolahan coklat lebih memilih kakao impor karena mendapatkannya mudah dan kualitasnya lebih bagus. Hal ini bisa berdampak pada jatuhnya harga kakao dalam negeri.
"Pemerintah mestinya mendengar jeritan para petani tersebut," demikian Habib Nabiel.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014
Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Almusawa berpendapat, penghapusan bea masuk kakao saat ini belum perlu untuk mengatasi defisit bahan baku industri komoditi tersebut.
"Untuk mengatasi kekurangan (defisit) bahan baku industri kakao bisa diupayakan dari biji kakao yang selama ini dialokasikan buat ekspor," sarannya dalam keterangan pers kepada wartawan di Banjarmasin, Kamis.
Pendapat politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Selatan itu mengomentari rencana Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang mau menghapus bea masuk kakao.
Kemendag menerima usul penghapusan bea masuk itu dari Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) yang mengeluhkan pasokan biji kakao lokal cuma sekitar 480.000 ton/tahun, sehingga belum mencukupi kebutuhan industri dengan kapasitas 600.000 ton/tahun.
"Namun dilain pihak Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) melaporkan, sepanjang Januari - Desember 2013, Indonesia masih mengekspor 188.000 ton bijih kakao non fermentasi," ungkapnya.
Dari angka tersebut, menurut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat (Jabar) itu, defisit bahan baku biji kakao sebesar 120 ribu. Sementara ekspornya sebanyak 188 ribu ton.
"Jadi sebetulnya defisit itu masih bisa dipenuhi oleh kakao dalam negeri yang dialokasikan untuk ekspor. Bahkan setelah pemenuhan tersebut, kita masih surplus 68 ribu ton," ujarnya.
Menurut wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian itu, persoalan tersebut hanya masalah pendekatan dan komunikasi.
"Seharusnya tugas Kemendag adalah memfasilitasi lalu melakukan regulasinya, tidak hanya mendengar satu pengaduan lalu langsung membuat kebijakan. Prematur itu namanya," tandasnya.
Karena itu tak mengherankan kalau rencana Kemendag untuk menghapuskan bea masuk kakao ditentang oleh petani dan asosiasi petani komoditi tersebut.
"Mereka (petani & asosiasi kakao) khawatir seandainya bea masuk kakao dinolkan, impor akan mengalir deras lalu para importir membuka gudang di Indonesia dan menyetok barang," ungkapnya.
Hal itu membuat para pengusaha pengolahan coklat lebih memilih kakao impor karena mendapatkannya mudah dan kualitasnya lebih bagus. Hal ini bisa berdampak pada jatuhnya harga kakao dalam negeri.
"Pemerintah mestinya mendengar jeritan para petani tersebut," demikian Habib Nabiel.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014