Aksi demonstrasi yang berkepanjangan di Amerika Serikat (AS) membuka mata dunia bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki sistem demokrasi yang sempurna.
Hal tersebut diungkapkan Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah kepada Antara di Bekasi, Minggu, saat menanggapi aksi demonstrasi anti rasisme di Amerika Serikat.
Kematian warga Afro-Amerika George Floyd menyulut protes anti rasisme yang berujung kericuhan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Kematian George Floyd juga memantik aksi unjuk rasa di beberapa negara seperti di Inggris, Kanada, Australia, maupun Selandia Baru.
"Karena demokrasi itu sendiri adalah sebuah proses yang harus dibangun terus menerus dan lintas generasi lewat program pembangunan yang terstruktur dan komprehensif," ujar Teuku Rezasyah.
Baca juga: Redam kerusuhan, Departemen Kehakiman AS mengerahkan agen kepolisian
Serta, demokrasi mengambil hikmah dari praktik-praktik terbaik yang terjadi di dalam dan luar negeri, dari masa kini dan masa lalu, ujar dia.
"Amerika Serikat yang sejak tahun 1945 menyebut dirinya sebagai adi kuasa dan model terbaik dari demokrasi, sehingga seringkali memaksakannya ke negara lain, saat ini menghadapi dilema," pungkas dia.
Sebelumnya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj mengatakan demokrasi Amerika tengah sekarat karena menghasilkan pemimpin konservatif yang menyeret demokrasi ke titik anti-klimaks dengan retorika-retorika politik liberal yang selama ini dimusuhi.
"Perubahan haluan yang drastis dari presiden yang diusung Partai Demokrat (Obama) ke presiden yang diusung Partai Republik (Trump) menunjukkan fondasi demokrasi Amerika tidak sekokoh seperti yang didengung-dengungkan," ujar Said Aqil Siroj.
Diskriminasi rasial dan kesenjangan ekonomi telah menjadi cacat bawaan seperti telah disinggung oleh Gunnar Myrdal sejak 1944 dalam bukunya An American Dilemma.
Baca juga: Hidayat Nur Wahid mengimbau WNI di AS waspada dan hindari kerusuhan
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika ke-45 telah menguak borok demokrasi Amerika yang selama ini tampil bak ‘polisi’ demokrasi dunia.
Kampanye ‘hitam’ Trump di musim kampanye Pilpres AS yang rasis, yang menunjukkan sentimen negatif terhadap imigran kulit warna dan kaum Muslim, telah menabung bara api yang meledak dalam kerusuhan rasial sekarang.
"Demokrasi Amerika akan terus dihantui oleh pertarungan abadi antara ide persamaan hak dan prasangka rasial. Keyakinan Myrdal bahwa pada akhirnya demokrasi akan menang atas rasisme tidak terbukti sampai sekarang. Diskriminasi atas warga Afro-Amerika telah memicu kerusuhan rasial yang terus berulang hingga 11 kali dalam setengah abad sejak 1965," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020