Kompleks pemakaman ulama besar Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad `Afif bin Mahmud bin Jamaluddin Al-Banjari, yang sering disebut sebagai "Wali Sapat" berada di Kampung Hidayah, Sapat, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau ramai dikunjungi penziarah.
"Kunjungan penziarah ke makam ulama keturunan Suku Banjar, asal Dalam Pagar, Martapura tersebut, saat hari libur, Sabtu dan Minggu" kata Pak tua seorang penunggu makam kepada penulis yang mengunjungi kawasan Parit Hidayat, Sapat, Inhil, Riau, pada akhir minggu lalu.
Menurut para penunggu tersebut, para penziarah pada umumnya atau sebagian besar adalag warga Muslim keturunan Banjar, dan sebagian lagi warga muslim dari berbagai suku yang tinggal di kawasan tersebut.
Kedatangan penziarah orang Banjar, sebagian besar memang dari kawasan Inhil tersebut, tetapi tak sedikit yang datang secara rombongan dan perorangan dari banua Banjar, Kalsel, kata pak tua yang setiap ada penziarah beliau lah yang membacakan doa-doa, terutama di rumah yang konon rumah tua yang dulu tinggal ulama besar ini.
Selain itu juga banyak penziarah Banjar yang datang dari Malaysia, Singapura, serta Arab Saudi.
Untuk menuju ke lokasi tersebut dari Kota Tembilahan ibukota Kabupaten Inhil harus menggunakan spead boat atau Pumpung, kalau Spead Boat dengan tarip rp40 ribu per orang, atau kalau carter sekitar rp300 rb per buah, muat sekitar 10 orang.
Setelah tiba di Parit Hidayat penziarah harus naik ojek dengan kendaraan roda dua sekitar 10 menit dengan tarif Rp15 ribu oer orang.
Setibanya di kompleks pemakaman penziarah harus ke rumah tua dulu, setelah dibacakan doa-doa oleh seorang ustadz di rumah tua baru penziarah ke pemakaman atau masjid yang ada di lokasi tersebut.
Berdasarkan pemantauan penulis kompleks yang menjadi objek wisata religi tersebut terlihat sederhana, tetapi sudah lebih bagus ketimbang beberapa tahun lalu di saat penulis juga pernah mengunjungi lokasi tersebut.
Bahkan kian banyak kedai kedai yang menjual peralatan ziarah, atau alat ibadah, seperti minyak wangi, tasbih, gelat kokah, buku-buku agama, dan lainnya yang umumnya adalah penduduk setempat yang bersuku Banjar.
Sebagai contoh saja, dermaga yang dulu masih sederhana, sekarang agak bagus, kemudian jalan menuju makam sekitar dua kilometer terbuat jalannya kecil tetapi sebagian sudah beraspal mulus, tetapi sebagian pula masih rusak.
Kemudian masjid yang dekat makam sekarang kondisinya yang dulu direhabilitasi tetapi kini sudah rampung walau masih terkesan sederhana sekali.
Berdasarkan ketarangan lokasi tersebut dulu dibangun kompleks pengajian oleh ulama tersebut dan santrinya bukan saja dari pulau Sumatera dan tak sedikit yang menimba ilmu berasal dari tanah Banjar Kalimantan Selatan, sehingga banyak murid-murid ulama ini yang berada di Kalimantan Selatan.
Syekh Abdurahmmad Siddiq dilahirkan pada tahun 1857 di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan, nama lahirnya sebenarnya hanyalah Abdurrahman.
Nama "Siddiq" ia dapat dari seorang gurunya saat ia belajar di Mekkah. Ia merupakan cicit dari ulama ternama etnis Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Saat baru berusia tiga bulan, ibunda Abdurrahman Siddiq meninggal dunia, dan tak sempat mendapat asuahan sang ibunda, kemudian dirawat kakek dan neneknya. Sang kakek merupakan seorang ulama bernama Mufti H Muhammad Arsyad.
Namun baru diusia setahun, sang kakek meninggal, maka Abdurrahman Siddiq pun tumbuh dewasa hanya bersama neneknya, Ummu Salamah.
Sang nenek merupakan muslimah yang taat beribadah dan fasih beragama. Ia mendidik syekh dengan kecintaan pada Alquran. Beranjak dewasa, nenek mengirim syekh pada guru-guru agama di kampung halamannya. Ketika dewasa, Syekh makin giat menuntut ilmu agama.
Ia melakukan perjalanan menuntut ilmu ke Padang, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di Padang pada 1882, ia masih haus ilmu. Maka pergilah syekh ke kota kelahiran Islam, Makkah pada tahun 1887.
Di tanah suci, Abdurrahman Siddiq banyak menghadiri majelis ilmu para ulama ternama Saudi. Tak hanya di Makkah, ia pun giat bergabung di halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi di Madinah.
Kegiatan tersebut ia lakukan hingga tujuh tahun lamanya. Bahkan Syekh juga sempat menjadi pengajar di Masjidil Haram selama dua tahun sebelum kemudian kembali ke tanah air.
Ia diangkat oleh Sultan Mahmud Shah (Raja Muda) sebagai Mufti Kerajaan Indragiri 1919-1939 berkedudukan di Rengat dan mengabdikan diri di Kerajaan Indragiri.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
"Kunjungan penziarah ke makam ulama keturunan Suku Banjar, asal Dalam Pagar, Martapura tersebut, saat hari libur, Sabtu dan Minggu" kata Pak tua seorang penunggu makam kepada penulis yang mengunjungi kawasan Parit Hidayat, Sapat, Inhil, Riau, pada akhir minggu lalu.
Menurut para penunggu tersebut, para penziarah pada umumnya atau sebagian besar adalag warga Muslim keturunan Banjar, dan sebagian lagi warga muslim dari berbagai suku yang tinggal di kawasan tersebut.
Kedatangan penziarah orang Banjar, sebagian besar memang dari kawasan Inhil tersebut, tetapi tak sedikit yang datang secara rombongan dan perorangan dari banua Banjar, Kalsel, kata pak tua yang setiap ada penziarah beliau lah yang membacakan doa-doa, terutama di rumah yang konon rumah tua yang dulu tinggal ulama besar ini.
Selain itu juga banyak penziarah Banjar yang datang dari Malaysia, Singapura, serta Arab Saudi.
Untuk menuju ke lokasi tersebut dari Kota Tembilahan ibukota Kabupaten Inhil harus menggunakan spead boat atau Pumpung, kalau Spead Boat dengan tarip rp40 ribu per orang, atau kalau carter sekitar rp300 rb per buah, muat sekitar 10 orang.
Setelah tiba di Parit Hidayat penziarah harus naik ojek dengan kendaraan roda dua sekitar 10 menit dengan tarif Rp15 ribu oer orang.
Setibanya di kompleks pemakaman penziarah harus ke rumah tua dulu, setelah dibacakan doa-doa oleh seorang ustadz di rumah tua baru penziarah ke pemakaman atau masjid yang ada di lokasi tersebut.
Berdasarkan pemantauan penulis kompleks yang menjadi objek wisata religi tersebut terlihat sederhana, tetapi sudah lebih bagus ketimbang beberapa tahun lalu di saat penulis juga pernah mengunjungi lokasi tersebut.
Bahkan kian banyak kedai kedai yang menjual peralatan ziarah, atau alat ibadah, seperti minyak wangi, tasbih, gelat kokah, buku-buku agama, dan lainnya yang umumnya adalah penduduk setempat yang bersuku Banjar.
Sebagai contoh saja, dermaga yang dulu masih sederhana, sekarang agak bagus, kemudian jalan menuju makam sekitar dua kilometer terbuat jalannya kecil tetapi sebagian sudah beraspal mulus, tetapi sebagian pula masih rusak.
Kemudian masjid yang dekat makam sekarang kondisinya yang dulu direhabilitasi tetapi kini sudah rampung walau masih terkesan sederhana sekali.
Berdasarkan ketarangan lokasi tersebut dulu dibangun kompleks pengajian oleh ulama tersebut dan santrinya bukan saja dari pulau Sumatera dan tak sedikit yang menimba ilmu berasal dari tanah Banjar Kalimantan Selatan, sehingga banyak murid-murid ulama ini yang berada di Kalimantan Selatan.
Syekh Abdurahmmad Siddiq dilahirkan pada tahun 1857 di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan, nama lahirnya sebenarnya hanyalah Abdurrahman.
Nama "Siddiq" ia dapat dari seorang gurunya saat ia belajar di Mekkah. Ia merupakan cicit dari ulama ternama etnis Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Saat baru berusia tiga bulan, ibunda Abdurrahman Siddiq meninggal dunia, dan tak sempat mendapat asuahan sang ibunda, kemudian dirawat kakek dan neneknya. Sang kakek merupakan seorang ulama bernama Mufti H Muhammad Arsyad.
Namun baru diusia setahun, sang kakek meninggal, maka Abdurrahman Siddiq pun tumbuh dewasa hanya bersama neneknya, Ummu Salamah.
Sang nenek merupakan muslimah yang taat beribadah dan fasih beragama. Ia mendidik syekh dengan kecintaan pada Alquran. Beranjak dewasa, nenek mengirim syekh pada guru-guru agama di kampung halamannya. Ketika dewasa, Syekh makin giat menuntut ilmu agama.
Ia melakukan perjalanan menuntut ilmu ke Padang, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di Padang pada 1882, ia masih haus ilmu. Maka pergilah syekh ke kota kelahiran Islam, Makkah pada tahun 1887.
Di tanah suci, Abdurrahman Siddiq banyak menghadiri majelis ilmu para ulama ternama Saudi. Tak hanya di Makkah, ia pun giat bergabung di halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi di Madinah.
Kegiatan tersebut ia lakukan hingga tujuh tahun lamanya. Bahkan Syekh juga sempat menjadi pengajar di Masjidil Haram selama dua tahun sebelum kemudian kembali ke tanah air.
Ia diangkat oleh Sultan Mahmud Shah (Raja Muda) sebagai Mufti Kerajaan Indragiri 1919-1939 berkedudukan di Rengat dan mengabdikan diri di Kerajaan Indragiri.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020