Sepanjang 2014-2019, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terus berupaya menggenjot investasi masuk ke Indonesia.

Perhatian pemerintah untuk melakukan perbaikan ditunjukkan dari "blusukan" Presiden Jokowi ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Oktober 2014, sepekan setelah dilantik sebagai Presiden RI periode 2014-2019.

Dari "blusukan" ke BKPM itu, diketahui bahwa proses perizinan investasi di Indonesia masih sangat lambat karena belum terintegrasi dalam satu pintu.

Atas dasar itulah,  pada Januari 2015, resmi diluncurkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Kantor BKPM di mana investor tak perlu lagi keluar masuk kementerian/lembaga untuk memperoleh perizinan investasi.

Tidak berhenti di situ, pemerintah kemudian terus menggulirkan kebijakan-kebijakan untuk mempermudah investor menanamkan modal di Tanah Air.

Kebijakan-kebijakan itu antara lain memberikan kemudahan percepatan importasi mesin/peralatan bagi perusahaan yang masih dalam tahap konstruksi yang merealisasikan investasinya; layanan perizinan tiga jam; hingga digitalisasi dokumen perizinan.

Di tengah upaya-upaya tersebut, salah satu jalan paling signifikan untuk menggaet investor adalah melalui revisi Daftar Negatif Investasi (DNI).

Baca juga: Pembobolan dana BNI cabang Ambon dilakukan sindikat kejahatan investasi

Paket Kebijakan Ekonomi XVI terkait deregulasi Daftar Negatif Investasi (DNI) ditekan pada peningkatan porsi kepemilikan melalui penanaman modal asing (PMA) menjadi maksimum 100 persen bagi sejumlah bidang usaha.

Revisi DNI menjadi salah satu hal yang menarik bagi investasi asing karena selama ini mereka tidak bisa leluasa masuk dan menanamkan modal di sektor-sektor tertentu.

Tak berakhir di situ, sejak 2018 pemerintah juga meluncurkan Online Single Submission (OSS) atau layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik.

OSS mengubah sistem manual menjadi sistem elektronik terintegrasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018. Sistem tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim berusaha yang kompetitif dan efisien.

Setelah setahun, berdasarkan data sepanjang 9 Juli 2018 hingga 29 Agustus 2019, jumlah registrasi akun OSS mencapai 704.084 atau rata-rata 1.688 per hari. Aktivasi akun mencapai 654.889 atau rata-rata 1.570 per hari.

Izin usaha yang terbit sebanyak 559.993 atau rata-rata 1.342 per hari. Izin komersial atau operasional mencapai 449.603 atau rata-rata 1.078 per hari.

Baca juga: Waspada investasi, 22 gadai swasta tanpa izin telah beroperasi

Investasi untuk kesejahteraan

Poin penting mengapa pemerintahan Jokowi-JK fokus untuk menggenjot investasi masuk ke Indonesia, salah satunya yakni untuk mendukung pembangunan di segala sektor.

Investasi diyakini akan mampu mendorong tumbuhnya industri yang akan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk Indonesia yang populasinya besar.

Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan pemerintah juga mendorong masuknya investasi berkualitas yang dibutuhkan untuk meningkatkan penghasilan masyarakat.

“Investasi berkualitas kita butuhkan untuk meningkatkan penghasilan pekerja, masyarakat dan berorientasi ekspor,” katanya.
 

Sepanjang 2014-2019, tren realisasi investasi terus mengalami peningkatan. Secara rinci, realisasi investasi pada 2014 mencapai Rp463,1 triliun, pada 2015 mencapai Rp545,4 triliun, pada 2016 mencapai Rp612,8 triliun, pada 2017 mencapai Rp692,8 triliun, pada 2018 mencapai Rp721,3 dan hingga semester pertama 2019 mencapai Rp396 triliun.

Kendati realisasi investasi mengalami peningkatan, tren penanaman modal asing (PMA) mengalami perlambatan sejak 2018 disinyalir karena kondisi perekonomian global. Meski demikian penanaman modal dalam negeri (PMDN) terus melesat sehingga memberikan kepercayaan diri baru.

Selain mengincar kualitas investasi terutama dari negara-negara maju, investasi dari negara-negara lain juga tetap jadi sasaran pemerintah khususnya yang berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja.

Berdasarkan capaian yang ada, sepanjang 2014 hingga semester pertama 2019, investasi telah menyerap 5,46 juta tenaga kerja.

Belum Cukup

Meski telah melakukan berbagai macam cara sepanjang periode pertama,  semua upaya belum berdampak signifikan.

Perlambatan ekonomi dunia yang belakangan terus terjadi di tengah berkecamuknya perang dagang antara dua ekonomi besar, Amerika Serikat dan China, turut memberikan sentimen negatif terhadap aliran investasi ke Tanah Air.

Indonesia sendiri dinilai memiliki peluang emas untuk bisa menggarap pasar ekspor ke kedua negara yang tengah berperang melalui maraknya relokasi industri.

Namun, di sisi lain, Indonesia masih harus berhadapan dengan negara-negara lain untuk bisa merebut kesempatan emas itu karena kesulitan untuk mendongkrak daya saing.

Sebut saja, Vietnam yang kini telah menjadi salah satu pesaing utama Indonesia dalam memanfaatkan peluang itu. Belum lagi Malaysia, Thailand, hingga Filipina yang juga ikut bersaing untuk menggaet pasar di tengah imbas perang dagang.
 

Sulitnya Indonesia menggaet investor masih bisa diperbaiki. Kalangan pengusaha baik dari dalam maupun luar negeri menilai pentingnya kepastian hukum dalam berinvestasi di Indonesia.

“Para pengusaha berharap DPR dan pemerintah mampu memperkuat sinergi dalam merumuskan dan menerbitkan produk hukum atau undang-undang yang menjamin kepastian investasi, mendorong terciptanya pertumbuhan perekonomian,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hendro Gondokusumo.

Upaya proteksionisme Indonesia dari investasi asing juga perlu diperbaiki untuk bisa mendulang lebih banyak modal masuk.

Ketua Dewan Eurocham Indonesia Corine Tap menilai masalah proteksionisme harus menjadi salah satu perhatian pemerintah Indonesia guna meningkatkan investasi dari benua biru ke Tanah Air.

Menurut dia, investasi memberikan dampak besar tidak hanya bagi konsumsi lokal tetapi juga membuka peluang ekspor.

"Untuk Indonesia menjadi hub ekspor ke seluruh dunia, investasi itu penting," ujarnya.

Indonesia, juga masih menarik bagi investor dengan pertumbuhan yang stabil di kisaran rata-rata 5 persen per tahun di tengah bonus demografi.

Peringkat layak investasi dari tiga lembaga pemeringkat yakni Moody’s, Fitch dan Standar & Poor’s yang disandang sejak 2017 juga menjadi bekal yang seharusnya bisa membuat Indonesia jadi lirikan investor.

Ibarat berkebun, mungkin buah yang dihasilkan dari lima tahun terakhir untuk menggenjot investasi belum memuaskan. Perlu upaya-upaya yang lebih progresif untuk bisa lebih banyak menggaet investasi berkualitas yang sesuai dengan arah pembangunan nasional.

 

 

 

 

Pewarta: Ade irma Junida

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019