Rakyat Tunisia memilih antara seorang pensiunan profesor hukum dan pengusaha besar pemilik media dalam pemungutan suara babak akhir pada Ahad, delapan tahun setelah revolusi yang membentuk sebuah demokrasi baru dan menginspirasi "Musim Semi Arab".
Kais Saied dan Nabil Karoui dua calon presiden dengan latar belakang berbeda. Mereka menyisihkan 24 saingannya termasuk banyak politisi tersohor dalam pemungutan suara babak pertama bulan lalu, sementara rakyat Tunisia menolak kemapaman politik yang telah gagal mengatasi masalah ekonomi kronis negara itu.
Di sebuah tempat pemungutan suara di kawasan Lac, Tunis Utara, tempat Karoui akan memberikan suaranya pada Ahad sore, Najwa Salmi, seorang mahasiswi mengatakan akan berangkat dari universitasnya di Kota Sousse untuk memilih kpala negara.
"Kami menginginkan seorang presiden yang menghormati kekuasaannya .... kami tak memerlukan seseorang yang membawa serta keluarganya," ujar dia, tanpa menyebut siap calon yang akan ia pilih.
Presiden Tunisia memiliki sedikit kendali atas kebijakan daripada perdana menteri dan pemilihan legislatif yang diadakan pekan lalu menciptakan keretakan di dalam parlemen dengan arah tak jelas menuju koalisi baru yang memerintah.
Para pemimpin baru itu harus mengatasi pengangguran sebanyak 15 persen, inflasi 6,8 persen, kemarahan publik atas penurunan kualitas layanan masyarakat dan tekanan dari pemberi pinjaman luar negeri untuk memangkas defisit dan mengendalikan hutang negara yang besar.
Saied, profesor hukum, yang meraih sebagian besar suara dalam pemungutan babak pertama bulan lalu, memiliki pandangan sosial konservatif dan sebuah program berdasarkan pada memperkenalkan bentuk lebih langsung dari demokrasi yang ia akan perjuangkan untuk diterapkan.
Dengan gaya bicara sangat formal, Saied memperoleh suara kaum muda meskipun hampir tidak menghabiskan apa pun selama berkampanye.
Para pendukungnya melihat dia sebagai pria yang rendah hati dan prinsipnya yang menentang korupsi dan kronisme memperoleh dukungan dari kaum kiri sementara pandangan sosialnya membantu dia mendapatkan suara dari kelompok Islam juga.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
Kais Saied dan Nabil Karoui dua calon presiden dengan latar belakang berbeda. Mereka menyisihkan 24 saingannya termasuk banyak politisi tersohor dalam pemungutan suara babak pertama bulan lalu, sementara rakyat Tunisia menolak kemapaman politik yang telah gagal mengatasi masalah ekonomi kronis negara itu.
Di sebuah tempat pemungutan suara di kawasan Lac, Tunis Utara, tempat Karoui akan memberikan suaranya pada Ahad sore, Najwa Salmi, seorang mahasiswi mengatakan akan berangkat dari universitasnya di Kota Sousse untuk memilih kpala negara.
"Kami menginginkan seorang presiden yang menghormati kekuasaannya .... kami tak memerlukan seseorang yang membawa serta keluarganya," ujar dia, tanpa menyebut siap calon yang akan ia pilih.
Presiden Tunisia memiliki sedikit kendali atas kebijakan daripada perdana menteri dan pemilihan legislatif yang diadakan pekan lalu menciptakan keretakan di dalam parlemen dengan arah tak jelas menuju koalisi baru yang memerintah.
Para pemimpin baru itu harus mengatasi pengangguran sebanyak 15 persen, inflasi 6,8 persen, kemarahan publik atas penurunan kualitas layanan masyarakat dan tekanan dari pemberi pinjaman luar negeri untuk memangkas defisit dan mengendalikan hutang negara yang besar.
Saied, profesor hukum, yang meraih sebagian besar suara dalam pemungutan babak pertama bulan lalu, memiliki pandangan sosial konservatif dan sebuah program berdasarkan pada memperkenalkan bentuk lebih langsung dari demokrasi yang ia akan perjuangkan untuk diterapkan.
Dengan gaya bicara sangat formal, Saied memperoleh suara kaum muda meskipun hampir tidak menghabiskan apa pun selama berkampanye.
Para pendukungnya melihat dia sebagai pria yang rendah hati dan prinsipnya yang menentang korupsi dan kronisme memperoleh dukungan dari kaum kiri sementara pandangan sosialnya membantu dia mendapatkan suara dari kelompok Islam juga.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019