Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) secara tegas menolak rencana revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korban praktik korupsi adalah konsumen juga.
"Kami menyatakan protes keras terhadap segala bentuk pelemahan upaya pemberantasan korupsi, termasuk pelemahan institusi KPK," kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam keterangannya di Jakarta, Senin pagi, menanggapi sengkarut revisi UU KPK oleh DPR dan sorotan adanya upaya pelemahan KPK akhir-akhir ini.
Menurut Tulus, pada konteks kepentingan publik, klimaks dari praktik koruptif adalah publik dan atau konsumen sebagai korban dengan menurunnya kualitas layanan publik dan atau kenaikan harga/tarif suatu komoditas suatu barang/jasa.
Baca juga: Pimpinan KPK yang baru harus pulihkan kepercayaan publik
Baca juga: Empat tantangan berat pimpinan KPK 2019-2023
Ia menegaskan, upaya pelemahan KPK hanya akan menyuburkan praktik korupsi di Indonesia sebab tidak akan ada lagi lembaga yang kredibel dan wibawa dalam pemberantasan korupsi.
"Dan tingginya harga barang dan tarif suatu jasa akan makin tak terkendali sebab biaya/ongkos korupsi dimasukkan ke dalam komponen harga/tarif suatu barang/jasa tersebut," kata Tulus.
Karena itu, YLKI mendesak revisi UU KPK tidak dipaksakan untuk disahkan pada periode anggota DPR yang akan habis masa jabatannya, tetapi dibahas pada masa anggota DPR baru periode 2019-2024.
Hal itu agar konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan dalam pembahasan revisi UU KPK berjalan maksimal.
Selain itu, dalam banyak kasus, tambahnya, UU yang diketok/disahkan di akhir masa jabatan anggota DPR pada akhirnya banyak menimbulkan masalah.
"Salah satu contohnya adalah UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan," kata Tulus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
"Kami menyatakan protes keras terhadap segala bentuk pelemahan upaya pemberantasan korupsi, termasuk pelemahan institusi KPK," kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam keterangannya di Jakarta, Senin pagi, menanggapi sengkarut revisi UU KPK oleh DPR dan sorotan adanya upaya pelemahan KPK akhir-akhir ini.
Menurut Tulus, pada konteks kepentingan publik, klimaks dari praktik koruptif adalah publik dan atau konsumen sebagai korban dengan menurunnya kualitas layanan publik dan atau kenaikan harga/tarif suatu komoditas suatu barang/jasa.
Baca juga: Pimpinan KPK yang baru harus pulihkan kepercayaan publik
Baca juga: Empat tantangan berat pimpinan KPK 2019-2023
Ia menegaskan, upaya pelemahan KPK hanya akan menyuburkan praktik korupsi di Indonesia sebab tidak akan ada lagi lembaga yang kredibel dan wibawa dalam pemberantasan korupsi.
"Dan tingginya harga barang dan tarif suatu jasa akan makin tak terkendali sebab biaya/ongkos korupsi dimasukkan ke dalam komponen harga/tarif suatu barang/jasa tersebut," kata Tulus.
Karena itu, YLKI mendesak revisi UU KPK tidak dipaksakan untuk disahkan pada periode anggota DPR yang akan habis masa jabatannya, tetapi dibahas pada masa anggota DPR baru periode 2019-2024.
Hal itu agar konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan dalam pembahasan revisi UU KPK berjalan maksimal.
Selain itu, dalam banyak kasus, tambahnya, UU yang diketok/disahkan di akhir masa jabatan anggota DPR pada akhirnya banyak menimbulkan masalah.
"Salah satu contohnya adalah UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan," kata Tulus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019