Hari Minggu (28 Juli) yang seharusnya dimanfaatkan oleh para penyidik KPK untuk berkumpul dan beristirahat bersama keluarganya ternyata “hanya” digunakan untuk menggeledah Kantor Bupati Kudus, Jawa Tengah, lantaran ada dugaan tindak pidana gratifikasi.
Bupati Kudus, Mohammad Tamzil, telah ditangkap oleh para penyidik lembaga antirasuah ini karena diduga keras telah menyalahgunakan jabatannya untuk "meminta uang" alias gratifikasi kepada sejumlah anak buahnya demi kepentingan pribadinya sendiri.
Wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan, telah mengungkapkan bahwa Tamzil yang kini untuk kedua kalinya menjadi bupati setelah termin pertama pada 2003-2008 mencari uang Rp250 juta untuk “membeli sebuah mobil". Kemudian ia memerintahkan seorang staf khususnya untuk “mencari” uang tersebut dengan cara “meminta” kepada beberapa anak buahnya.
Padahal Tamzil pada 2005, telah dijatuhi hukuman satu tahun 10 bulan karena terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi di Dinas Pendidikan Kudus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah.
Juga baca: KPK tahan Bupati Kudus Muhammad Tamzil
Juga baca: Bupati Kudus diperiksa di gedung KPK
Juga baca: Ini dia kronologi tangkap tangan Bupati Kudus
Sekalipun masyarakat harus menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah yaitu seseorang tidak boleh dianggap bersalah sampai dengan ada keputusan hukum yang telah berkekuatan tetap, masyarakat tentu boleh menilai pribadi sang kepala daerah ini. Sebab, jarang sekali ada pejabat daerah yang sampai dua kali ditangkap gara-gara tuduhan yang sejenis alias sama.
Selama beberapa tahun terakhir ini, rakyat sudah berulang kali mendengar ada gubernur, bupati hingga wali kota yang dibekuk penyidik KPK dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi ataupun gratifikasi alias minta uang.
Sebut saja, nama mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, dan Gubernur Jambi, Zumi Zola, serta belasan bupati dan wali kota padahal mereka sudah menandatangani apa yang disebut "Pakta Integritas” yaitu tidak akan melakukan tindaka pidana korupsi dan sejenisnya. Namun ternyata oknum-oknum itu tetap saja “berkorupsi ria atau gratifikasi ria”.
Bahkan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, sudah berulang kali mengingatkan atau memerintahkan para anak buahnya itu untuk tidak lagi melakukan kejahatan serupa.
Pilkada 2020
Pada 2020, di berbagai daerah tingkat dua kabupaten dan kota bakal berlangsung lagi pemilihan kepala daerah alias pilkada. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap peserta pilkada harus memiliki atau menyediakan uang miliaran rupiah guna menyukseskan pilkada mereka itu.
Mereka tentu sangat berharap bakal terpilih menjadi bupati atau wali kota selama lima tahun mendatang.
Terpilih ataupun tidak terpilih tentu ada konsekensinya khususnya jika sampai harus meminjam uang yang tentu saja wajib dikembalikan .Tidak mengherankan jika ada saja calon yang gagal itu sampai stres atau bahkan gila mendadak.
Masyarakat tentu masih ingat bahwa menjelang Pemilihan Anggota Legislatif alias Pileg telah timbul sikap pro dan kontra tentang boleh tindaknya mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi anggota DPD, DPR hingga DPRD provinsi, kota dan kabupaten.
Akhirnya KPU “terpaksa” mengizinkan para mantan koruptor itu untuk melamar menjadi anggota berbagai lembaga legislatif.
Karena Pileg 17 April sudah usai, maka kini rakyat Indonesia tinggal menunggu apakah ada mantan-mantan terpidan koruptor kasus korupsi yang terpilih menjadi wakil rakyat ataukah tidak.
Akan tetapi Pandjaitan telah mengingatkan semua partai politik hingga DPRD untuk jangan lagi mencalonkan para mantan ataupun terpidana korupsi itu untuk menjadi gubernur, wali kota ataupun bupati. Kasus bupati Kudus ini seharusnya menjadi pengalaman pahit bagi masyarakat dimana pun juga.
Pencalonan gubernur, bupati hingga wali kota itu tentu saja diawali dengan pendaftaran oleh para partai politik yang pada dasarnya bersifat terbuka. Nah, yang menjadi pertanyaan di dalam benak setiap warga negara Indonesia adalah apakah pendaftaran di parpol- parpol itu harus “disertai” uang ataukah benar-benar gratis.
Ada satu partai politik yang telah menyatakan bahwa tidak ada “mahar” bagi calon-calon mereka. Mudah-mudahan hal itu benar adanya sehingga tidak ada lagi urusan “setoran” yang sedikit banyaknya akan menjadi beban para calon kepala daerah itu.
Sekarang memang sudah muncul wacana agar tidak terjadi lagi pileg atau pilkada yang “mencekik kantong”. Akan tetapi sayangnya belum ada resep yang ampuh agar pilkada tidak terlalu membebani kantor para calon kepala daerah yang bersangkutan.
Kembali kembali ke kasus Tamzil sang bupati Kudus ini, ternyata ada beberapa kepala dinas atau instansi di daerah yang “siap menyetor”. Tanpa perlu menyebut nama para pejabat atau instansi yang bersangkutan, maka masyarakat bisa menebak- nebak instansi mana yang anggarannya sangat”melimpah atau banyak sekali” yang terbuka untuk dikorupsi.
Jadi, para menteri yang anggarannya sangat besar itu, harus benar-benar menjaga agar anggaran tahunan yang nilainya bisa mencapai triliunan rupiah itu tidak terus-menerus dikorupsi atau disalahgunakan oleh jajaran dibawahya.
Nilai anggaran dan pendapatan negara alias APBN yang telah mencapai ribuan triliunan rupiah sudah pasti menjadi incaran para calon koruptor, padahal jutaan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia alias NKRI amat berharap anggaran APBN yang “menyilaukan mata” itu dipakai atau dimanffatkan seefektif dan seefisien mungkin.
Sudah cukup lama rakyat harus melihat dan mendengar adanya korupsi ataupun gratifikasi di kalangan pemerintahan. Karena Presiden Terpilih Joko Widodo akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2019, maka tentu rakyat sangat berharap jangan terjadi lagi korupsi dan gratifikasi dalam bentuk apa pun juga.
Jangan ada lagi pejabat sekelas mantan Ketua DPD, Irman Gusman, dan mantan Ketua DPR, Setya Novanto, yang sampai harus dibekuk dalam operasi tangkap tangan alias OTT oleh KPK ataupun mantan menteri sosial Idrus Marham yang saat menjadi wakil rakyat terlibat dalam kasus korupsi pembangunan pembangkit lstrik tenaga uap (PLTU) Riau I.
Semua pejabat di tingkat apa pun juga harus benar-benar menjaga amanah dan kepercayaan rakyat Indonesia. Jangan menyalahgunakan uang rakyat.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982 sampai 2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan pada 1987 sampai 2009.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
Bupati Kudus, Mohammad Tamzil, telah ditangkap oleh para penyidik lembaga antirasuah ini karena diduga keras telah menyalahgunakan jabatannya untuk "meminta uang" alias gratifikasi kepada sejumlah anak buahnya demi kepentingan pribadinya sendiri.
Wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan, telah mengungkapkan bahwa Tamzil yang kini untuk kedua kalinya menjadi bupati setelah termin pertama pada 2003-2008 mencari uang Rp250 juta untuk “membeli sebuah mobil". Kemudian ia memerintahkan seorang staf khususnya untuk “mencari” uang tersebut dengan cara “meminta” kepada beberapa anak buahnya.
Padahal Tamzil pada 2005, telah dijatuhi hukuman satu tahun 10 bulan karena terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi di Dinas Pendidikan Kudus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah.
Juga baca: KPK tahan Bupati Kudus Muhammad Tamzil
Juga baca: Bupati Kudus diperiksa di gedung KPK
Juga baca: Ini dia kronologi tangkap tangan Bupati Kudus
Sekalipun masyarakat harus menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah yaitu seseorang tidak boleh dianggap bersalah sampai dengan ada keputusan hukum yang telah berkekuatan tetap, masyarakat tentu boleh menilai pribadi sang kepala daerah ini. Sebab, jarang sekali ada pejabat daerah yang sampai dua kali ditangkap gara-gara tuduhan yang sejenis alias sama.
Selama beberapa tahun terakhir ini, rakyat sudah berulang kali mendengar ada gubernur, bupati hingga wali kota yang dibekuk penyidik KPK dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi ataupun gratifikasi alias minta uang.
Sebut saja, nama mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, dan Gubernur Jambi, Zumi Zola, serta belasan bupati dan wali kota padahal mereka sudah menandatangani apa yang disebut "Pakta Integritas” yaitu tidak akan melakukan tindaka pidana korupsi dan sejenisnya. Namun ternyata oknum-oknum itu tetap saja “berkorupsi ria atau gratifikasi ria”.
Bahkan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, sudah berulang kali mengingatkan atau memerintahkan para anak buahnya itu untuk tidak lagi melakukan kejahatan serupa.
Pilkada 2020
Pada 2020, di berbagai daerah tingkat dua kabupaten dan kota bakal berlangsung lagi pemilihan kepala daerah alias pilkada. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap peserta pilkada harus memiliki atau menyediakan uang miliaran rupiah guna menyukseskan pilkada mereka itu.
Mereka tentu sangat berharap bakal terpilih menjadi bupati atau wali kota selama lima tahun mendatang.
Terpilih ataupun tidak terpilih tentu ada konsekensinya khususnya jika sampai harus meminjam uang yang tentu saja wajib dikembalikan .Tidak mengherankan jika ada saja calon yang gagal itu sampai stres atau bahkan gila mendadak.
Masyarakat tentu masih ingat bahwa menjelang Pemilihan Anggota Legislatif alias Pileg telah timbul sikap pro dan kontra tentang boleh tindaknya mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi anggota DPD, DPR hingga DPRD provinsi, kota dan kabupaten.
Akhirnya KPU “terpaksa” mengizinkan para mantan koruptor itu untuk melamar menjadi anggota berbagai lembaga legislatif.
Karena Pileg 17 April sudah usai, maka kini rakyat Indonesia tinggal menunggu apakah ada mantan-mantan terpidan koruptor kasus korupsi yang terpilih menjadi wakil rakyat ataukah tidak.
Akan tetapi Pandjaitan telah mengingatkan semua partai politik hingga DPRD untuk jangan lagi mencalonkan para mantan ataupun terpidana korupsi itu untuk menjadi gubernur, wali kota ataupun bupati. Kasus bupati Kudus ini seharusnya menjadi pengalaman pahit bagi masyarakat dimana pun juga.
Pencalonan gubernur, bupati hingga wali kota itu tentu saja diawali dengan pendaftaran oleh para partai politik yang pada dasarnya bersifat terbuka. Nah, yang menjadi pertanyaan di dalam benak setiap warga negara Indonesia adalah apakah pendaftaran di parpol- parpol itu harus “disertai” uang ataukah benar-benar gratis.
Ada satu partai politik yang telah menyatakan bahwa tidak ada “mahar” bagi calon-calon mereka. Mudah-mudahan hal itu benar adanya sehingga tidak ada lagi urusan “setoran” yang sedikit banyaknya akan menjadi beban para calon kepala daerah itu.
Sekarang memang sudah muncul wacana agar tidak terjadi lagi pileg atau pilkada yang “mencekik kantong”. Akan tetapi sayangnya belum ada resep yang ampuh agar pilkada tidak terlalu membebani kantor para calon kepala daerah yang bersangkutan.
Kembali kembali ke kasus Tamzil sang bupati Kudus ini, ternyata ada beberapa kepala dinas atau instansi di daerah yang “siap menyetor”. Tanpa perlu menyebut nama para pejabat atau instansi yang bersangkutan, maka masyarakat bisa menebak- nebak instansi mana yang anggarannya sangat”melimpah atau banyak sekali” yang terbuka untuk dikorupsi.
Jadi, para menteri yang anggarannya sangat besar itu, harus benar-benar menjaga agar anggaran tahunan yang nilainya bisa mencapai triliunan rupiah itu tidak terus-menerus dikorupsi atau disalahgunakan oleh jajaran dibawahya.
Nilai anggaran dan pendapatan negara alias APBN yang telah mencapai ribuan triliunan rupiah sudah pasti menjadi incaran para calon koruptor, padahal jutaan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia alias NKRI amat berharap anggaran APBN yang “menyilaukan mata” itu dipakai atau dimanffatkan seefektif dan seefisien mungkin.
Sudah cukup lama rakyat harus melihat dan mendengar adanya korupsi ataupun gratifikasi di kalangan pemerintahan. Karena Presiden Terpilih Joko Widodo akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2019, maka tentu rakyat sangat berharap jangan terjadi lagi korupsi dan gratifikasi dalam bentuk apa pun juga.
Jangan ada lagi pejabat sekelas mantan Ketua DPD, Irman Gusman, dan mantan Ketua DPR, Setya Novanto, yang sampai harus dibekuk dalam operasi tangkap tangan alias OTT oleh KPK ataupun mantan menteri sosial Idrus Marham yang saat menjadi wakil rakyat terlibat dalam kasus korupsi pembangunan pembangkit lstrik tenaga uap (PLTU) Riau I.
Semua pejabat di tingkat apa pun juga harus benar-benar menjaga amanah dan kepercayaan rakyat Indonesia. Jangan menyalahgunakan uang rakyat.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982 sampai 2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan pada 1987 sampai 2009.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019