Bulan suci Ramadhan baru saja berlalu. Banyak umat Islam yang bersedih karena bulan yang utama ini diharapkan membawa keberkahan dan perbaikan bagi individu.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita juga sebagai umat dan bangsa, setelah Ramadhan, sudah terlihat perbaikan dengan meningkatnya “kesalehan sosial” dan bahkan “kesalehan alam” kita.
Kesalehan sosial dan alam menjadi penting karena esensi puasa, secara fiqh, adalah menahan diri (dari hawa nafsu) atau “al-imsaak”, seperti yang dijelaskan oleh Imam Besar Masjid New York, Ustadz Shamsi Ali.
“Pengendalian hawa nafsu” berarti menahan diri melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya atau menahan diri melakukan hal-hal yang berlebihan yang menimbulkan dampak yang sangat merusak.
Imam Shamsi Ali menekankan bahwa di sinilah sesungguhnya letak urgensi puasa. Menurut dia, banyak kerusakan yang terjadi dalam hidup manusia disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Padahal aspek ini jelas tercatat dalam Al Qur'an Surat Al-Furqon (QS 25:43): “Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan?”.
Lalu, apa indikatornya bahwa kita sebagai umat atau bangsa sudah bisa mengendalikan hawa nafsu kita, bahkan sejak Ramadan dan setelahnya? Bagaimana keadaan kita dan lingkungan sekitar? Apakah kerusakan yang terjadi sudah diperbaiki atau justru semakin menjadi?
Kalau kita mau jujur, kita masih harus terus memperbaiki diri dikarenakan bila dilihat dari tingkat kerusakan yang terjadi di sekitar kita, masihlah tergolong signifikan.
Sebagai contoh, tingkat konsumsi kita yang sepertinya belum bisa dikendalikan dan bahkan membawa dampak nyata berupa sampah (termasuk plastik) di sekitar kita.
Indonesia, saat ini, menyandang gelar yang lumayan tidak sedap sebagai “penyumbang sampah plastik terbesar kedua dunia”.
Alhasil, saluran air dan sungai-sungai kita tersumbat dan sering rentan terhadap banjir bila musim hujan tiba. Laut dan pantai kita juga semakin tercemar, dan bahkan biota dan satwa laut semakin sering ditemukan mati karena mengonsumsi plastik dari bekas konsumsi kita.
Hal ini secara kasat mata masih menunjukkan kurangnya kita bisa mengendalikan hawa nafsu: hawa nafsu untuk konsumsi berlebihan, ditambah sistem pemaketan produk dengan menggunakan plastik yang juga secara berlebihan, diperparah dengan membuang sampahnya yang masih sembarangan.
Pengendalian hawa nafsu yang baik ternyata akan menjamin hidup kita seimbang dengan alam (“kesalehan alam”), dan dampak kerusakan yang biasanya kita terima karena bencana banjir dan sebagainya bisa kita hindari.
Padahal Allah SWT secara tegas telah mengingatkan hal ini dalam QS 30:41, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Pengendalian hawa nafsu yang baik juga sangat berbanding lurus dengan kemampuan kita sebagai individu dan umat manusia menjadi “khalifah” di muka bumi ini.
Peran kita sebagai khalifah menunjukkan bahwa kita harus bertindak sebagai pelindung bagi sesama manusia, sekitarnya dan bumi tempat tinggal bersama. Hal ini adalah amanah sakral dari Allah SWT untuk kita menjaganya.
Secara jelas hal ini tertulis dalam QS 6:165, "Dan Dialah yang menjadikan kamu pelindung-pelindung bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Konsumsi kita yang berlebihan juga sering berbanding lurus dengan ketidakpedulian kita akan asal-usul produk yang kita pakai dan bagaimana produk tersebut dibuat. Dikarenakan hawa nafsu kita, kita sering lupa apakah produk tersebut “halal” dan juga “baik” (thayib).
QS Al-Ma’idah (5:87-88) menguatkan hal ini: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. Banyak referensi yang membahas apa saja kategori produk yang halal, namun kita juga sepatutnya melihat makna mengenai produk yang dianggap “thayib” atau baik.
Menurut Al-Isfahani, yang bisa disebut “thayib” adalah produk yang dirasakan enak oleh indra dan jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya “Majmu’ Fatawa”, yang dimaksud dengan “thayib” adalah yang membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak manusia.
Secara singkat, yang perlu kita cari dalam hal konsumsi – selain tidak berlebihan – adalah mengonsumsi produk yang halal serta produk yang aman, sehat dan ramah lingkungan.
Akan sangat bertolak belakang bila kita sebagai Muslim mengonsumsi produk yang dihasilkan dengan penggunaaan pestisida yang berlebihan, atau membuang limbah ke sungai sembarangan, atau dengan menghancurkan hutan dan lahan gambut yang ada.
Karenanya, umat Muslim juga perlu secara aktif terlibat dalam memastikan bahwa rantai pasokan (dari produk yang dihasilkan) memproduksi produk-produk yang baik dan lestari atau ramah lingkungan tersebut.
Para petani yang mengupayakan lahan pertanian dan perkebunannya, di hulu, tentunya memerlukan dorongan dan bantuan serta sinyal dari kita semua bahwa kita memang ingin mengonsumsi produk-produk yang lestari (thayib) tadi.
Pertanian atau perkebunan yang mengasilkan produk yang lestari pada gilirannya juga akan berbanding lurus dengan keberhasilan kita semua dalam mengelola sumber daya secara berkelanjutan (termasuk untuk generasi yang akan datang) dalam mencukupi kebutuhan manusia sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan dan alam (air, tanah, satwa dan sebagainya).
Bercocok tanam, bertani, beternak atau menjadi nelayan sudah merupakan tantangan tersendiri dan masyarakat perdesaan Indonesia yang melakukan hal ini secara umum masih banyak yang berada di garis atau di bawah garis kemiskinan.
Bantuan umat Muslim Indonesia secara sistematis, misalnya melalui zakat, infaq dan shadaqah – bila strukturnya dikemas untuk meningkatkan produktivitas dan kelestarian pertanian, perkebunan dan perikanan Indonesia – akan memberikan manfaat sekaligus bagi petani (meningkatkan taraf hidup dan produktivitas mereka) dan juga produk yang dihasilkan bisa lebih berkualitas serta lestari.
Di Tahun 2017, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) berhasil menghimpun Rp6 triliun zakat dari umat Muslim Indonesia.
Walaupun ada kenaikan jumlah dari tahun-tahun sebelumnya, angka ini masih sangat jauh dari potensi zakat keseluruhan umat Muslim yang bisa mencapai Rp217 triliun, berdasarkan penuturan Prof Didin Hafidhuddin di Tahun 2013.
Hal ini merupakan tantangan nyata bagi umat Muslim yang sepatutnya terketuk hati dan pikirannya, bukan hanya untuk berkontribusi lebih nyata, tetapi juga memikirkan sistem yang lebih tepat sasaran, dengan struktur pembiayaan dari zakat yang bisa langsung membantu upaya produktif petani dan ekonomi masyarakat perdesaan.
Ramadhan setiap tahunnya memberikan peluang bagi kita semua untuk lebih meningkatan kesalehan sosial dan alam kita.
Pengendalian hawa nafsu hanya bisa dikatakan berhasil bila tingkat kerusakan ingkungan dan alam di Tanah Air tercinta dan di muka bumi ini juga berkurang secara signifikan.
Kepedulian kita kepada sesama (kesalehan sosial) juga hanya bisa terbukti bila apa yang kita kontribusikan (lewat zakat dan sebagainya) bermuara kepada meningkatnya ekonomi saudara kita tersebut.
Semoga kita semua meninggalkan Ramadhan kali ini dengan membawa “ruh” kesalehan sosial dan alam sekaligus secara konsisten meneruskannya di bulan-bulan setelahnya. Karena bukankah kita khalifah, pelindung bumi yang bijak, berhati mulia serta berakal?
*) Fitrian Ardiansyah adalah Ketua Pengurus dan Direktur Utama Inisiatif Dagang Hijau (IDH)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita juga sebagai umat dan bangsa, setelah Ramadhan, sudah terlihat perbaikan dengan meningkatnya “kesalehan sosial” dan bahkan “kesalehan alam” kita.
Kesalehan sosial dan alam menjadi penting karena esensi puasa, secara fiqh, adalah menahan diri (dari hawa nafsu) atau “al-imsaak”, seperti yang dijelaskan oleh Imam Besar Masjid New York, Ustadz Shamsi Ali.
“Pengendalian hawa nafsu” berarti menahan diri melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya atau menahan diri melakukan hal-hal yang berlebihan yang menimbulkan dampak yang sangat merusak.
Imam Shamsi Ali menekankan bahwa di sinilah sesungguhnya letak urgensi puasa. Menurut dia, banyak kerusakan yang terjadi dalam hidup manusia disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Padahal aspek ini jelas tercatat dalam Al Qur'an Surat Al-Furqon (QS 25:43): “Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan?”.
Lalu, apa indikatornya bahwa kita sebagai umat atau bangsa sudah bisa mengendalikan hawa nafsu kita, bahkan sejak Ramadan dan setelahnya? Bagaimana keadaan kita dan lingkungan sekitar? Apakah kerusakan yang terjadi sudah diperbaiki atau justru semakin menjadi?
Kalau kita mau jujur, kita masih harus terus memperbaiki diri dikarenakan bila dilihat dari tingkat kerusakan yang terjadi di sekitar kita, masihlah tergolong signifikan.
Sebagai contoh, tingkat konsumsi kita yang sepertinya belum bisa dikendalikan dan bahkan membawa dampak nyata berupa sampah (termasuk plastik) di sekitar kita.
Indonesia, saat ini, menyandang gelar yang lumayan tidak sedap sebagai “penyumbang sampah plastik terbesar kedua dunia”.
Alhasil, saluran air dan sungai-sungai kita tersumbat dan sering rentan terhadap banjir bila musim hujan tiba. Laut dan pantai kita juga semakin tercemar, dan bahkan biota dan satwa laut semakin sering ditemukan mati karena mengonsumsi plastik dari bekas konsumsi kita.
Hal ini secara kasat mata masih menunjukkan kurangnya kita bisa mengendalikan hawa nafsu: hawa nafsu untuk konsumsi berlebihan, ditambah sistem pemaketan produk dengan menggunakan plastik yang juga secara berlebihan, diperparah dengan membuang sampahnya yang masih sembarangan.
Pengendalian hawa nafsu yang baik ternyata akan menjamin hidup kita seimbang dengan alam (“kesalehan alam”), dan dampak kerusakan yang biasanya kita terima karena bencana banjir dan sebagainya bisa kita hindari.
Padahal Allah SWT secara tegas telah mengingatkan hal ini dalam QS 30:41, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Pengendalian hawa nafsu yang baik juga sangat berbanding lurus dengan kemampuan kita sebagai individu dan umat manusia menjadi “khalifah” di muka bumi ini.
Peran kita sebagai khalifah menunjukkan bahwa kita harus bertindak sebagai pelindung bagi sesama manusia, sekitarnya dan bumi tempat tinggal bersama. Hal ini adalah amanah sakral dari Allah SWT untuk kita menjaganya.
Secara jelas hal ini tertulis dalam QS 6:165, "Dan Dialah yang menjadikan kamu pelindung-pelindung bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Konsumsi kita yang berlebihan juga sering berbanding lurus dengan ketidakpedulian kita akan asal-usul produk yang kita pakai dan bagaimana produk tersebut dibuat. Dikarenakan hawa nafsu kita, kita sering lupa apakah produk tersebut “halal” dan juga “baik” (thayib).
QS Al-Ma’idah (5:87-88) menguatkan hal ini: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. Banyak referensi yang membahas apa saja kategori produk yang halal, namun kita juga sepatutnya melihat makna mengenai produk yang dianggap “thayib” atau baik.
Menurut Al-Isfahani, yang bisa disebut “thayib” adalah produk yang dirasakan enak oleh indra dan jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya “Majmu’ Fatawa”, yang dimaksud dengan “thayib” adalah yang membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak manusia.
Secara singkat, yang perlu kita cari dalam hal konsumsi – selain tidak berlebihan – adalah mengonsumsi produk yang halal serta produk yang aman, sehat dan ramah lingkungan.
Akan sangat bertolak belakang bila kita sebagai Muslim mengonsumsi produk yang dihasilkan dengan penggunaaan pestisida yang berlebihan, atau membuang limbah ke sungai sembarangan, atau dengan menghancurkan hutan dan lahan gambut yang ada.
Karenanya, umat Muslim juga perlu secara aktif terlibat dalam memastikan bahwa rantai pasokan (dari produk yang dihasilkan) memproduksi produk-produk yang baik dan lestari atau ramah lingkungan tersebut.
Para petani yang mengupayakan lahan pertanian dan perkebunannya, di hulu, tentunya memerlukan dorongan dan bantuan serta sinyal dari kita semua bahwa kita memang ingin mengonsumsi produk-produk yang lestari (thayib) tadi.
Pertanian atau perkebunan yang mengasilkan produk yang lestari pada gilirannya juga akan berbanding lurus dengan keberhasilan kita semua dalam mengelola sumber daya secara berkelanjutan (termasuk untuk generasi yang akan datang) dalam mencukupi kebutuhan manusia sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan dan alam (air, tanah, satwa dan sebagainya).
Bercocok tanam, bertani, beternak atau menjadi nelayan sudah merupakan tantangan tersendiri dan masyarakat perdesaan Indonesia yang melakukan hal ini secara umum masih banyak yang berada di garis atau di bawah garis kemiskinan.
Bantuan umat Muslim Indonesia secara sistematis, misalnya melalui zakat, infaq dan shadaqah – bila strukturnya dikemas untuk meningkatkan produktivitas dan kelestarian pertanian, perkebunan dan perikanan Indonesia – akan memberikan manfaat sekaligus bagi petani (meningkatkan taraf hidup dan produktivitas mereka) dan juga produk yang dihasilkan bisa lebih berkualitas serta lestari.
Di Tahun 2017, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) berhasil menghimpun Rp6 triliun zakat dari umat Muslim Indonesia.
Walaupun ada kenaikan jumlah dari tahun-tahun sebelumnya, angka ini masih sangat jauh dari potensi zakat keseluruhan umat Muslim yang bisa mencapai Rp217 triliun, berdasarkan penuturan Prof Didin Hafidhuddin di Tahun 2013.
Hal ini merupakan tantangan nyata bagi umat Muslim yang sepatutnya terketuk hati dan pikirannya, bukan hanya untuk berkontribusi lebih nyata, tetapi juga memikirkan sistem yang lebih tepat sasaran, dengan struktur pembiayaan dari zakat yang bisa langsung membantu upaya produktif petani dan ekonomi masyarakat perdesaan.
Ramadhan setiap tahunnya memberikan peluang bagi kita semua untuk lebih meningkatan kesalehan sosial dan alam kita.
Pengendalian hawa nafsu hanya bisa dikatakan berhasil bila tingkat kerusakan ingkungan dan alam di Tanah Air tercinta dan di muka bumi ini juga berkurang secara signifikan.
Kepedulian kita kepada sesama (kesalehan sosial) juga hanya bisa terbukti bila apa yang kita kontribusikan (lewat zakat dan sebagainya) bermuara kepada meningkatnya ekonomi saudara kita tersebut.
Semoga kita semua meninggalkan Ramadhan kali ini dengan membawa “ruh” kesalehan sosial dan alam sekaligus secara konsisten meneruskannya di bulan-bulan setelahnya. Karena bukankah kita khalifah, pelindung bumi yang bijak, berhati mulia serta berakal?
*) Fitrian Ardiansyah adalah Ketua Pengurus dan Direktur Utama Inisiatif Dagang Hijau (IDH)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019