Banjarmasin (Antaranews Kalsel)- Pasar terapung atau pasar apung yang kini menjadi objek andalan kepariwisataan Kalimantan Selatan, khususnya Kota Banjarmasin diduga sebuah produk kebudayaan era kesultanan Banjar yang masih lestari.

Beberapa pedagang di pasar terapung mengaku tidak tahu persis kapan kegiatan transaksi di atas air melalui sampan tersebut mulai tumbuh dan berkembang di kawasan yang dikenal dengan "daratan dengan seribu sungai." tersebut.

Menurut para pedagang mereka berjualan seperti ini hanya meneruskan kebiasaan orang tua-tua mereka, sementara orang-orang tua mereka mengaku meneruskan itu dari kebiasaan pendahulunya lagi.

Keberadaan pasar terapung di wilayah ini terdapat di dua lokasi, yang besar adakah di Desa Kuin atau di atas Sungai Barito Kota Banjarmasin, sementara yang kedua di Desa Lok Baintan Kabupaten Banjar atau perjalanan satu jam naik klotok (perahu bermesin) dari pusat Kota Banjarmasin.

Hanya saja disayangkan keberadaan pasar terapung Desa Kuin Kota Banjarmasin lamban laun berkurang dan sekarang sudah tak terlihat lagi, sementara di Lok Baintan Kabupaten Banjar masih tetap hidup hingga sekarang.

Oleh karena itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin sejak kepemimpinan Wali Kota Haji Muhidin menciptakan pasar terapung buatan di Sungai Martapura, tetaptnya di lokasi objek wisata Siring Tendean dan ternyata pasar buatan tersebut berkembang baik dan menjadi objek wisata andalan kota ini.

Hanya saja objek wisata pasar terapung ini buka saat hari Sabtu dan Minggu dan di kunjungi tak kurang dari enam ribu orang per minggu, dan banyak kalangan berharap agar pasar terapung buatan ini bisa beroperasi tiap hari, karena banyak kunjungan wisatawan yang datang di luar hari Sabtu dan Minggu.

Berdasarkan berbagai keterangan musnahnya pasar terapung yang berada di Desa Kuin yang dulu sempat dipopulerkan melalui tayangan "RCTI Oke" disebabkan beberapa hal, namun perkiraan akibat kian berkembangnya pembangunan dimana jalan-jalan darat di kawasan tersebut terus sambung menyambung.

Dengan jalan darat yang mulus dan sambung menyambung akibatnya banyak pedagang eceran teerutama pedagang sayuran, ikan, dan buah-buahan yang tadinya memanfaatkan sampan sebagai sarana berdagang mengalihkan saranya menggunakan sepeda atau sepeda motor lewat jalan darat untuk mengunjungi desa desa kawasan tersebut.

dengan beralihnya kebiasaan tersebut, akibatnya aktivitas transaksi di atas air terus berkurang dan akibatnya pedagang grosir yang datang dengan kapal kapal pun berkurang akhirnya pasar terapung itu bubar.

Namun ada juga yang menyebutkan bubarnya pasar terapung di Desa Kuin lantaran lokasi terkena imbas dari kapal kapal penyebarangan angkutan penumpang karyawan pabrik polywood (kayu lapis), yang melahirkan gelombang akhirnya banyak pedagang yang menggunakan sampan takut terbaik terkena gelombang kapal angkutan itu.

Dulu keberadaan pasar terapung dinilai sangat membantu masyarakat di kawasan-kawasan pemukiman yang hanya bisa dijangkau melalui sampan lantaran belum tersedianya jalan darat yang memadai.

Konon keberadaan pasar terapung itu ada sejak kesultanan Banjar, dan turun temurun hingga sekarang.

Yang unik dari kegiatan ekonomi masyarakat di atas air ini muncul di saat dinihari dan menggunakan lampu templok dan akan sangat ramai jika matahari terbit dan bubar jika matahari naik atau sekitar pukul sembilan.

Barang yang dijual sebagian besar hasil sumberdaya alam berupa hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan kerajinan.

Kegiatan ini didominasi kaum ibu-ibu menggunakan kemeja sederhana dan bedak dingin (pupur dingin) tebal , tetapi yang unik semuanya menggunakan topi sangat lebar yang disebut "tanggui."

Hal yang sulit ditemui di daerah lain, konon transaksi antar pedagang ini dilakukan secara "barter" (tukar barang) umpamanya antarau sayuran dengan beras, atau antara buah dengan ikan atau sebaliknya.

Terkait dengan pasar terapung, menurut Kepala Bidang Wisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin, Mokhammad Khuzaimi merupakan aktivitas ekonomi yang lazim ditemukan tidak hanya di Kota Banjarmasin, namun juga di berbagai area dalam wilayah kesultanan banjar kala itu.

Mengutip keterangan atau info yang digali melalui temannya Vera D Damayanti yang sedang studi S3 mengenai sejarah lanskap Banjarmasin di Belanda, Mokhamad Khuzaimi menyebutkan pedagang yang terlibat dalam kegiatan pasar apung di Kota Banjarmasin pun berasal dari berbagai daerah di sekitar kota karena Banjarmasin merupakan lokasi strategis pertemuan pedagang dari berbagai penjuru, termasuk salah satunya para pedagang dari area yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Banjar.

Dengan berkembangnya kota, lokasi pasar apung di Banjarmasin pun berkembang di beberapa tempat sebagai respon akan kebutuhan konsumen.

Sebut saja misalnya pasar apung Pasar Lama, Kuin, Pasar awang Perumnas, Harum Manis yang bahkan sempat ramai dulu ketika akses Sungai Veteran masih bisa dilewati kelotok yakni Pasar Veteran jalan A Yani dimana sebagian pedagangnya adalah dari Lok Baintan.

Fenomena kesejarahan tersebut menunjukkan bahwa Budaya Pasar Apung tak lain merupakan budaya Urang Banjar dalam konteks wilayah yang luas- sebagai warisan budaya jaman kesultanan yang tata kehidupannya sangat bergantung pada sungai di masa itu.

Untuk melestarikan kebudayaan ini, maka upaya inovatif guna menghidupkan dan melestarikan pasar apung perlu dikembangkan secara bijak, kata Khuzaimi.

Salah satunya misalnya dengan mencari lokasi-lokasi baru yang nantinya menguntungkan bagi para pedagang di pasar apung, sebagaimana yang telah diinisiasi di Siring Tendean,

Pasar terapung tersebut dengan tetap mempertahankan keaslian para penjual (acil2) bahkan penampilan diri termasuk jenis bedak wajah dan jenis dagangan serta alat transportasi.

yang tak kalah pentingnya pembekalan kepada para pedagangnya dengan seni berdayung, berformasi ditengah sungai.

Kedepannya diharapkan akan bisa bangkit lagi beberapa pasar terapung tradisional 'Banjarmasin'.

Bagian lain, Khuzaimi menuturkan ada beberapa infa dari Vera D Damayanti bahwa pada mulanya wilayah pengaruh Kesultanan Banjarmasin mencakup kawasan Kalimantan Timur, Selatan dan sebagian dari Kalimantan Tengah.

Sebagaimana tertulis dalam Hikayat Banjar, kerajaan-kerajaan seperti Sabangau, Mandawai, Sampit, Pambuang, Kota Waringin, Sukadana, Lawai, Sambas, Takisung, Tambangan Laut, Kintap, Asam-asam, Pulau Laut, Pamukan, Pasir, Kutai, Berau, dan Karasikan merupakan vassal dari Banjarmasin.

Dalam berbagai dokumen Belanda, penulisan Kesultanan Banjarmasin seringkali disingkat dengan Banjar, sementara itu penulisan Banjarmasin secara lengkap biasanya dalam konteks mengacu pada Kota Banjarmasin yang kala itu merupakan pusat pemerintahan baik di masa kesultanan maupun masa kolonial.

Pewarta: Hasan Zainuddin

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2018