Ketua tim Energi Efficiency in Industrial, Commercial dan Public Sector (EINCOPS) atau program efisiensi energi pada industri, sektor komersial dan publik, Melany Tedja mengatakan, keamanan ketersediaan energi Indonesia kian terancam.


Menurut dia, pada sosialisasi pekan energi di Banjarmasin, Selasa, ancaman keamanan terhadap ketersediaan energi tersebut karena penyediaan energi Indonesia masih sangat tergantung dengan energi fosil.

Energi fosil yang disubsidi, tambah dia, mencapai 95,21 persen sedangkan energi terbarukan hanya dipandang sebagai energi alternatif yang belum dimanfaatkan secara efisien.

"Karena ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil yang semakin menipis, keamanan energi nasional semakin terancam, untuk itu provinsi yang pertumbuhan ekonomi tinggi seperti Kalimantan perlu dilakukan efisiensi energi," katanya.

Berdasarkan penelitan International Energy Agency (IEA) efisiensi energi adalah sumber energi yang paling murah yang mampu memenuhi peningkatan kebutuhan energi hingga 20 tahun mendatang.

Apalagi, kata dia, saat ini konsumsi energi nasional mengalami kenaikan cukup pesat rata-rata adalah tujuh persen setiap tahunnya.

Penggunaan energi terbesar di Indonesia adalah sektor industri dengan penggunaan 50 persen dari total energi nasional, setelah itu sektor trasnportasi 30,77 persen, dan rumah tangga 13,08 persen.

Laju pertumbuhan energi terutama sektor industri tersebut bila tidak segera diantisipasi melalui terobosan baru baik itu energi terbarukan yang kini pemanfaatannya kurang dari 5 persen maupun terobosan lainnya.

Salah satu menahan laju pertumbuhan kebutuhan energi tersebut adalah dengan melaksanakan pekan efisiensi energi yang diluncurkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan bantuan dari pemerintah Denmark sebesar 10 juta dolar AS selama empat tahun.

Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Maryam Ayuni mengatakan saat ini lebih dari 30 persen masyarakat Indonesia belum menikmati listrik, hal tersebut mengindikasikan bahwa negara membutuhkan penyediaan energi yang lebih baik.

Pembangunan pembangkit listrik secara terus menerus, tambah Yuni, hanya akan mampu memenuhi kebutuhan listrik atau energi jangka pendek, sehigga harus dicarikan formula agar kebutuhan energi jangka panjang tetap terpenuhi.

"Pada tahun 2006-2009 Japan International Cooperation Agency) JICA melakukan audit energi dengan hasil total konsumsi energi nasional senesar 27 juta TOE per tahun dengan potensi penghematan energi 18 persen," katanya.

Penghematan tersebut, tambah Melany, sebanyak 5 juta TOE atau setara 58 TWh per tahun artinya bila penghematan tersebut berhasil maka akan sama halnya menunda pembangunan pembangunan pembangkit listrik sebesar 58 TWh atau (24x365)=6.600 megawatt./B/

Pewarta:

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2012