Pengamat politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (ULM)
Dr. Taufik Arbain, M.Si menilai politik elektoral di Kalimantan Selatan masih kuat dipengaruhi oleh patronase elite, politik identitas, serta konstruksi narasi yang dibangun untuk kepentingan kekuasaan.
Hal tersebut disampaikan Taufik dalam kegiatan diskusi bertajuk “Politik Elektoral dan Perilaku Pemilih Banua: Sebuah Catatan Kecil” yang diselenggarakan Barisan Muda PAN Kalimantan Selatan, Kamis (19/12).
Menurut Taufik, perilaku pemilih di Banua pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan perilaku pemilih di wilayah lain di Indonesia. Pilihan politik masyarakat dibentuk oleh kombinasi faktor sosiologis, psikologis, rasional-ekonomi, politik identitas, hingga pengaruh elite lokal dan media informasi.
“Pemilih tidak sepenuhnya rasional. Banyak keputusan politik lahir dari ikatan sosial, kedekatan emosional, serta pengaruh tokoh dan elite lokal,” ujarnya.
Ia merujuk pada kajian Edward Aspinall dan Marcus Mietzner yang menyebut bahwa pemilu di Indonesia sangat melekat dengan jaringan patronase dan pertukaran material. Selain itu, teori Paul F. Lazarsfeld juga menegaskan bahwa perilaku memilih lebih banyak dipengaruhi keanggotaan sosial dibandingkan kalkulasi individu semata.
Dalam paparannya, Taufik juga menyoroti tantangan demokrasi di era digital.
Menurutnya, politik kerap menjadi gaduh bukan karena fakta objektif, melainkan akibat narasi elite yang dikonstruksi untuk menciptakan ketakutan, delegitimasi lawan, atau pembusukan politik.
“Narasi politik hari ini bisa menjadi sumber ketertiban, tetapi juga bisa menjadi sumber konflik dan kegaduhan sosial jika tidak dikelola secara sehat,” jelasnya.
Berdasarkan penilaian terhadap situasi Pilkada 2024, ia menyebut isu pembusukan melalui media sosial masih menjadi fenomena dominan.
Mulai dari kampanye hitam, isu oligarki, politisasi identitas agama dan gender, hingga tuduhan korupsi terhadap kandidat kepala daerah.
Taufik juga mengingatkan adanya ancaman democratic backsliding atau kemunduran demokrasi secara perlahan, di mana institusi demokrasi masih berjalan secara formal, tetapi substansinya melemah akibat kompromi elite, pelemahan pengawasan, serta menyempitnya ruang partisipasi publik.
Ia mencontohkan kondisi demokrasi di Amerika Serikat yang secara prosedural memenuhi prinsip demokrasi, namun dalam praktiknya mengalami distorsi akibat dominasi oligarki ekonomi dan politik.
Hal serupa, menurutnya, berpotensi terjadi di Indonesia jika demokrasi hanya dijalankan sebagai formalitas elektoral.
“Demokrasi bisa tampak hidup di ruang depan, tetapi sesungguhnya dikendalikan di ruang belakang oleh kekuatan oligarkis,” tegasnya.
Menutup pemaparannya, Taufik mendorong generasi muda, khususnya Barisan Muda PAN, untuk mengambil peran strategis dalam merawat demokrasi.
Upaya tersebut antara lain melalui penguatan literasi politik, narasi yang produktif, serta mendorong partai politik membangun relasi yang lebih partisipatoris, programatik, dan responsif terhadap kepentingan publik.
“Orang muda harus menjadi agen kritis yang menjaga agar demokrasi tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga bermakna secara substantif,” pungkasnya.
Editor : Imam Hanafi
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2025