Jakarta, (Antaranews Kalsel) - Institut Media Sosial dan Diplomasi, yakni Komunikonten, mendesak pemerintah Indonesia untuk menarik pajak dari perusahaan digital internasional seperti Google, Facebook, Yahoo dan Twitter melalui sebuah petisi daring yang diluncurkan mulai Minggu (02/10).
"Seharusnya Google dan raksasa digital lainnya bayar pajak seperti halnya pengusaha media lainnya. Pegawai saja bayar pajak, kita makan dan 'ngopi' saja bayar pajak, masa pengusaha/pemilik Google tidak. Pemerintah kita sudah sangat baik dengan Google dan perusahaan digital lain itu," ujar Direktur Eksekutif Komunikonten (Institut Media Sosial dan Diplomasi) Hariqo Wibawa Satria dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan bahwa Pemerintah Perancis sudah pernah menyegel kantor Google di negaranya karena tidak membayar pajak.
Adapun petisi daring yang dapat dibuka di tautan https://goo.gl/33b0iU itu berjudul "Tidak Adil, Kita Bayar Pajak Tapi Google dkk Tidak, Kami Mendesak Google dkk Bayar Pajak".
Ada empat soal penting yang diangkat dalam petisi tersebut. Pertama, pemerintah mesti mampu memaksa Google, Facebook, Twitter dan Yahoo serta perusahaan digital internasional lainnya membayar pajak seperti pengusaha sejenis di Indonesia.
"Pajak itu hak bangsa kita dan kewajiban mereka. Kita tidak boleh minder, bimbang dan ragu terhadap itu, karena Indonesia adalah bangsa merdeka dan berdaulat," kata Hariqo.
Kedua, pemerintah harus mewajibkan perusahaan-perusahaan digital internasional itu untuk melakukan penyaringan isi, dimana hal-hal bertentangan dengan Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika harus segera dihapuskan.
Untuk ini, pemerintah diminta memiliki sejenis "tim tanggap darurat" yang menanggapi dengan cepat ketika ada konten yang melanggar kebebasan pribadi warga dan nilai-nilai kebangsaan.
Tim tersebut diharapkan dapat langsung bergerak cepat dengan berkoordinasi dengan TNI, POLRI, BIN, BAIS, BNPT, Kejaksaan, PPNS, pemuka agama, akademisi, organiasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, Gerakan Pramuka serta asosiasi-asosiasi.
Ketiga, pemerintah diminta untuk mewajibkan pendidikan literasi digital sejak usia dini, agar generasi Indonesia menjadi generasi pengunggah, bukan pengunduh.
Seiring dengan itu, pemerintah pun seharusnya mampu untuk melindungi data pribadi masyarakat dan data ketahanan bangsa.
"Lihatlah bagaimana Pemerintah Amerika Serikat memaksa perusahaan internasionalnya yang memaksa vendor-vendor lokal kita untuk setuju dengan 'rights to audit' ketika akan bekerja sama dengan perusahaan mereka. Lebih dalam lagi bisa kita lihat pada Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang bertujuan mencegah tindakan korupsi pada perusahaan AS di negara asing," tutur Hariqo.
Keempat, pemerintah dianggap perlu terus memacu, memotivasi dan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk menciptakan mesin pencari otomatis karena Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada Google.
Ini mungkin karena beberapa negara sudah memiliki mesin pencari buatan sendiri yang bisa menguasai pasar dalam negeri.
"Lihatlah Tiongkok yang memiliki mesin pencari sendiri Baidu (menguasai lebih dari 50 persen pasar di dalam negeri), Rusia yang memiliki Yandex (menguasai lebih dari 50 persen pasar dalam negeri), Korea Selatan dengan Naver (menguasai lebih dari 70 persen dalam negeri) dan Daum (menguasai lebih dari 20 persen pasar dalam negeri)," ujar Hariqo./f
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2016
"Seharusnya Google dan raksasa digital lainnya bayar pajak seperti halnya pengusaha media lainnya. Pegawai saja bayar pajak, kita makan dan 'ngopi' saja bayar pajak, masa pengusaha/pemilik Google tidak. Pemerintah kita sudah sangat baik dengan Google dan perusahaan digital lain itu," ujar Direktur Eksekutif Komunikonten (Institut Media Sosial dan Diplomasi) Hariqo Wibawa Satria dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan bahwa Pemerintah Perancis sudah pernah menyegel kantor Google di negaranya karena tidak membayar pajak.
Adapun petisi daring yang dapat dibuka di tautan https://goo.gl/33b0iU itu berjudul "Tidak Adil, Kita Bayar Pajak Tapi Google dkk Tidak, Kami Mendesak Google dkk Bayar Pajak".
Ada empat soal penting yang diangkat dalam petisi tersebut. Pertama, pemerintah mesti mampu memaksa Google, Facebook, Twitter dan Yahoo serta perusahaan digital internasional lainnya membayar pajak seperti pengusaha sejenis di Indonesia.
"Pajak itu hak bangsa kita dan kewajiban mereka. Kita tidak boleh minder, bimbang dan ragu terhadap itu, karena Indonesia adalah bangsa merdeka dan berdaulat," kata Hariqo.
Kedua, pemerintah harus mewajibkan perusahaan-perusahaan digital internasional itu untuk melakukan penyaringan isi, dimana hal-hal bertentangan dengan Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika harus segera dihapuskan.
Untuk ini, pemerintah diminta memiliki sejenis "tim tanggap darurat" yang menanggapi dengan cepat ketika ada konten yang melanggar kebebasan pribadi warga dan nilai-nilai kebangsaan.
Tim tersebut diharapkan dapat langsung bergerak cepat dengan berkoordinasi dengan TNI, POLRI, BIN, BAIS, BNPT, Kejaksaan, PPNS, pemuka agama, akademisi, organiasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, Gerakan Pramuka serta asosiasi-asosiasi.
Ketiga, pemerintah diminta untuk mewajibkan pendidikan literasi digital sejak usia dini, agar generasi Indonesia menjadi generasi pengunggah, bukan pengunduh.
Seiring dengan itu, pemerintah pun seharusnya mampu untuk melindungi data pribadi masyarakat dan data ketahanan bangsa.
"Lihatlah bagaimana Pemerintah Amerika Serikat memaksa perusahaan internasionalnya yang memaksa vendor-vendor lokal kita untuk setuju dengan 'rights to audit' ketika akan bekerja sama dengan perusahaan mereka. Lebih dalam lagi bisa kita lihat pada Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang bertujuan mencegah tindakan korupsi pada perusahaan AS di negara asing," tutur Hariqo.
Keempat, pemerintah dianggap perlu terus memacu, memotivasi dan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk menciptakan mesin pencari otomatis karena Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada Google.
Ini mungkin karena beberapa negara sudah memiliki mesin pencari buatan sendiri yang bisa menguasai pasar dalam negeri.
"Lihatlah Tiongkok yang memiliki mesin pencari sendiri Baidu (menguasai lebih dari 50 persen pasar di dalam negeri), Rusia yang memiliki Yandex (menguasai lebih dari 50 persen pasar dalam negeri), Korea Selatan dengan Naver (menguasai lebih dari 70 persen dalam negeri) dan Daum (menguasai lebih dari 20 persen pasar dalam negeri)," ujar Hariqo./f
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2016