Jarum jam baru menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Kegelapan pun masih menyelimuti wilayah pemukiman masyarakat adat Dayak Meratus di Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
        
Meski saat itu sang fajar masih enggan beranjak dari peraduan, namun tidak demikian halnya dengan Julak Maribut. Lelaki berusia lebih dari 70 tahun itu justru tengah bersiap-siap sementara sebagian warga kampung masih terlelap.
        
Sambil sesekali mengisap rokok kretek kesukaannya, Julak Maribut memasukkan satu persatu 'sangu' (bekal) dan perlengkapan yang akan dibawanya ke dalam sebuah wadah (butah) kecil.
        
'Butah' adalah wadah atau tempat untuk membawa sesuatu yang terbuat dari anyaman bambu. Butah memiliki dua tali dari kulit kayu layaknya sebuah ransel sehingga mudah dibawa kemana-mana.
        
Sekitar 30 menit kemudian, Julak Maribut beranjak. Ketika daun pintu di buka, hembusan angin dingin pegunungan Meratus segera menerpa wajahnya yang tirus.
        
Sedikit menggigil, Julak Maribut menyalakan senter dan mulai melangkah. Membelah gelap dan dinginnya pagi menuju ladang, tak jauh dari rumah kecilnya untuk memulai aktivitas 'mamantat' (menyadap) karet hari itu.
        
Begitulah aktivitas di saat subuh yang dilakoni oleh Juklak dan sejumlah warga masyarakat adat Dayak Meratus di sana. Hampir setiap hari mereka menjadi saksi terbitnya sang fajar di ufuk timur di kaki pegungunan Meratus sambil beraktivitas  'mamantat gatah batang para' (menyadap getah pohon karet).
        
Aktivitas 'mamantat' karet hanya dilakukan dari subuh hingga pagi. Setelah beranjak siang, mereka pun menuju warung minum untuk berbincang dan bergosip ria sebelum pulang ke rumah masing-masing saat menjelang makan siang.
        
"Mamantat bagusnya memang pagi-pagi karena kalau sudah siang 'gatah' (getah) karet cepat kering sehingga hasilnya tidak banyak," ujar Julak Maribut seraya bersantai di sebuah warung minum.
        
Di HST, karet merupakan komoditi unggulan ke dua setelah padi. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan (Dipertabun) setempat, dari sebelas kecamatan yang ada, semuanya memiliki kebun karet yang dikelola oleh masyarakat setempat.
        
Karet di HST merupakan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) andalan. Dengan jumlah petani karet sebanyak 31.559 orang, mampu memproduksi karet mentah sebanyak 11.601,08 ton per tahun  atau 842,98 Kg per Hektare (data produksi karet tahun 2009).
        
Dari seluruh total luas areal kebun karet milik rakyat di HST yang berjumlah 20.968 Hektare, 13 persen atau 2.690 Hektare di antaranya berada di wilayah BAT. Dari segi luas areal, BAT masih di bawah Kecamatan Batang Alai Utara (BAU) yang memiliki 3.085 Hektare kebun karet.
        
"Namun untuk tingkat produksi, kebun karet di BAT mampu menghasilkan 2.139,49 ton per tahun dan merupakan yang tertinggi se-HST," ujar Kepala Bidang Perkebunan, Dipertabun setempat, H Sofyan.
        
Berdasarkan hasil Riset Pengelolaan dan Pengembangan Hasil Hutan Non Kayu yang dilakukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan tahun 2006 lalu, tercatat hampir seluruh penduduk BAT memiliki usaha utama sebagai petani karet.
        
"Dari 11 Balai Adat yang tersebar di empat desa di BAT, hanya tiga Balai yang penduduknya memiliki usaha utama sebagai petani padi sawah," ujar Koordinator LPMA Borneo Selatan, Juliade.
        
Mereka yang memiliki usaha utama sebagai petani padi sawah itu berada di Balai Juhu dan Haraan Paniyungan di Desa Juhu serta penduduk Balai Haraan Kiyu di Desa Hinas Kiri.
        
Sedang penduduk di Balai Apari dan Muara Linau di Desa Pambakulan memiliki dua usaha utama yaitu sebagai petani padi sawah dan karet.
        
Sementara, penduduk di Balai Batu Kambar dan Kiyu di Desa Hinas Kiri, penduduk di Balai Atiran, Kalampayan, Banyu Panas dan Sumbai di Desa Atiran, seluruhnya memilliki usaha utama sebagai petani karet.
        
Wilayah HST, khususnya BAT, sebenarnya memiliki kandungan potensi kekayaan alam yang berlimpah ruah. Berdasarkan data Dinas Perindustrian Pertambangan dan Energi setempat, sedikitnya terdapat 8.469.000.215 ton cadangan marmer di wilayah yang dihuni oleh mayoritas masyarakat adat Dayak Meratus itu.
        
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Sumberdaya Geologi (PSG), Departemen Pertambangan dan Energi Jakarta, BAT juga memiliki kandungan batu bara sebanyak 15 juta ton.
        
Kandungan batu bara yang terletak di Desa Hinas Kiri itu berada pada kemiringan 70 derajad dengan nilai panas antara 5.000 hingga 6.000 Kcal per kilogram. Dengan kandungan belerang sebanyak 0,5 persen dan 5 persen abu, batubara di daerah itu memiliki ketebalan 1 meter hingga 20 meter yang terdiri dari lima lapis.
        
Namun masyarakat adat Dayak Meratus di sana tidak tertarik untuk melakukan eksploitasi terhadap potensi kekayaan sumber daya alam tersebut. Mereka lebih tertarik 'mamantat gatah batang para' dan menolak dengan keras segala aktivitas pertambangan.
        
"Pertambangan tidak akan membuat kami kaya, tetapi justru akan merusak sumber mata pencaharian selama ini. Semua akan habis percuma dan tak ada lagi warisan untuk anak cucu kelak bila ada pertambangan di sini," ujar Julak Maribut seraya mengepulkan asap rokok kretek murahan.
        
Sebuah ketegasan sikap yang di pandang pengamat sosial budaya dan politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin, Taufik Arbain sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat adat Dayak Meratus.
        
"Mereka mampu memilah dan memilih antara mana yang pantas dan tidak serta mana yang harus dilakukan dan tidak, untuk kelangsungan hidup sekaligus menjaga keseimbangan alam. Gambaran tingkatan toleransi yang tinggi ketika mereka sangat menghargai kelangsungan generasi penerus," katanya.
   
Belum Optimal 
Namun sayangnya, di tengah kearifan masyarakat Adat Dayak Meratus untuk tidak mengeksploitasi sumber daya alam, pemanfaatan potensi karet ternyata juga masih belum optimal.
        
Getah karet hanya diolah secara tradisional dalam bentuk 'lump' (karet beku) yang bila dijual harganya masih rendah karena kualitasnya berada di bawah getah olahan dalam bentuk 'Rubber Sheet Smoke' (RSS) atau oleh masyarakat setempat disebut 'gatah lambaran'.
        
Bahkan tak jarang sebagian petani karet di BAT menjual hasil sadapan mereka dalam bentuk 'lateks' (karet mentah) yang nilai jualnya sangat rendah.
        
"Karet dalam bentuk 'lateks' biasanya dijual petani karet yang bekerja 'mamantat' di kebun orang lain," Juliade menjelaskan.
        
Berdasarkan data Dipertabun HST, saat ini harga karet di tingkat petani untuk jenis RSS sebesar Rp22.500 per Kg, Rp8.500-Rp9.500 untuk jenis 'lump' dan Rp2 ribu untuk jenis 'lateks'.
        
Teknik pengolahan tradisional, berpengaruh terhadap kualitas karet hasil olahan. Masih banyak petani yang menggumpalkan karet menggunakan tawas, air aki, dan TPS, padahal itu dapat merusak mutu.
        
Karet hasil olahan juga masih banyak yang mengandung bahan pengotor seperti tanah, lumpur, ranting dan daun kering. Kebiasaan masyarakat setempat yang merendam hasil karet olahan, juga membuat kadar air meningkat membuat kualitasnya rendah dan berimbas pada rendahnya harga.
        
"Bahkan ada saja petani berbuat curang dengan memasukkan plastik berisi air ke dalam gumpalan karet beku dengan tujuan agar lebih berat saat ditimbang," katanya menyayangkan.
        
Kondisi seperti itulah yang membuat perusahaan ban multinasional seperti Bridgestone, Michelin dan Goodyear, pada tahun 2009 lalu sempat lebih memilih membeli karet dari negara lain. Dan bahkan nyaris terjadi penolakan terhadap karet Indonesia.
        
Untuk itu, Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), selaku asosiasi yang menaungi para pengusaha karet, merasa perlu mengeluarkan pemberitahuan.
        
Dalam pemberitahuan itu disebutkan, pengusaha karet jangan membeli bahan olah karet (Bokar) yang mengandung bahan pengotor seperti tanah, ranting, daun, lumpur, dan lain-lain. Pengusaha juga diimbau untuk tidak membeli karet yang bukan berasal dari pohon 'Hevea Brasiliensis'.
        
Bokar yang dibeli hanya digumpalkan atau dibekukan dengan asam semut (format) atau bahan penggumpal yang direkomendasikan oleh lembaga penelitian yang kredibel. Disebutkan pula, pengusaha hanya boleh membeli karet yang tidak direndam dalam air.
        
Pemberitahuan yang dikeluarkan Gapkindo sepertinya tidak main-main. Karena Gapkindo juga menyertakan sanksi terhadap pengusaha yang melanggar dengan ancaman akan dicabut Sertifikat Penggunaan Tanda SNI atau pencabutan Sertifikat Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 series.
        
Bukan hanya pengusaha karet, pengumpul karet pun diancam pidana penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp dua milyar rupiah. Ketentuan itu sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 18 Pasal 50 Ayat 1 tentang Perkebunan.
  
Miliaran Rupiah Dari Karet   
Petani karet di BAT terdiri dari tiga kategori. Pertama adalah mereka yang memiliki kebun sendiri, tidak memiliki kebun tapi mengerjakan milik orang lain dan tidak memiliki kebun dan berprofesi sebagai buruh.
        
Buruh penyadap karet biasanya mengerjakan kebun milik siapa saja, sedang mereka yang mengerjakan kebun orang lain dengan sistem pinjam pakai bekerja di satu kebun saja dan disebut 'pangangarun'.
        
Sistem pinjam pakai kebun karet itu disebut dengan istilah 'mangangarun atau mangaruni'. Pada sistem ini, hasil karet dibagi antara pemilik dengan 'pangangarun' dengan perhitungan 30 persen untuk pemilik dan 70 persen untuk 'pangangarun'.
        
Sistem ini dijalankan atas dasar kepercayaan. Terkadang, pemilik kebun mengharuskan 'pangangarun' menjual hasil kebun kepada mereka sehingga besaran produksi dapat dikontrol dengan jelas.
        
Penjualan hasil karet tidak dilakukan langsung ke pabrik pengolahan tetapi melalui jasa makelar sebagai pengumpul. Transaksi kebanyakan dilakukan di dalam wilayah desa atau Balai Adat masing-masing karena para pengumpul biasanya adalah penduduk setempat.
        
"Sebuah Balai yang mampu menjual hasil di wilayahnya sendiri menunjukkan akses pasar yang baik karena masyarakat dimudahkan dalam menjual hasil kebun mereka," kata Juliade.
        
Para pengumpul di tingkat desa atau Balai Adat kebanyakan adalah pemilik kebun dalam jumlah besar yang meminjamkan sebagian kepada kerabatnya, juga tidak semuanya menjual karet langsung ke pabrik. Sebagian dari mereka ada yang menjual lagi kepada tengkulak dari desa lain atau dari kota.
        
Rantai perdagangan seperti itu dapat terjadi karena kemudahan akses jalan, meski tidak semuanya dalam keadaan mulus.
        
Data LPMA Borneo Selatan dari hasil Riset Pengelolaan dan Pengembangan Hasil Hutan Non Kayu Tahun 2006 menyebutkan di BAT terdapat satu ruas jalan aspal, empat ruas jalan semen dan lima ruas jalan setapak yang bisa dilalui kendaraan.
        
Masih berdasarkan hasil riset tersebut, hasil dan jumlah hari 'mamantat' biasanya berbeda antara saat musim hujan dengan musim kemarau. Saat musim hujan, hasil 'mamantat' per hari diketahui 136 persen lebih banyak dibandingkan hasil 'mamantat' di saat musim kemarau.
        
Akan tetapi, jumlah hari saat 'mamantat' di musim hujan seringkali hanya dapat dilakukan satu kali sedang saat musim kemarau bisa sampai tiga hari dalam satu minggu.
        
Dengan perhitungan musim hujan bisa mencapai delapan bulan dan kemarau bisa mencapai empat bulan lamanya, diketahui jumlah hari 'mamantat' berjumlah 74 hari dan menghasilkan 3.746 Kg per harinya untuk total seluruh petani karet yang ada di sana.
        
Bila dikalikan dengan harga karet saat itu yang hanya Rp4 ribu per Kg, maka dalam satu tahun petani karet di BAT mampu menghasilkan Rp1,2 Miliar.
        
Bila dikalikan harga 'lump' terendah saat ini, dengan kisaran jumlah hari dan hasil yang sama, maka hasil yang di dapat dalam satu tahun adalah sebesar Rp2,4 Miliar atau per satu orang petani karet mampu menghasilkan uang sebesar Rp888 juta per tahun.
        
Sebuah angka yang fantastis dan dapat dipastikan hasil sebenarnya justru lebih dari Rp2,4 Miliar tersebut. Karena patokan hasil dan jumlah hari masih mengacu pada hasil riset 2006 atau sudah tertinggal empat tahun yang lalu.
        
Kepastian bahwa hasil itu lebih besar lagi dapat ditunjang oleh berbagai upaya yang dilakukan Dipertabun setempat dalam mengembangkan potensi karet, khususnya bibit unggul.
        
Data Pengembangan tahun 2009 menyebutkan, di HST terdapat 5.500 Hektar lahan yang sangat potensial untuk pengembangan karet bibit unggul, yang sebagian berada di wilayah BAT.
        
"Di BAT tercatat memiliki potensi luas lahan terbesar, yaitu seluas 885 Ha dan pengembangannya sudah mulai dilakukan sejak 2007," ujar H Sofyan.
        
Secara keseluruhan, sejak 2007 lalu, Dipertabun HST mampu melakukan pengembangan seluas 1.500 Hektare  dari total keseluruhan luasan potensi lahan yang ada. Begitu pula pada tahun 2008 dan tahun 2009, berturut-turut telah dilakukan pengembangan bibit karet unggul seluas 1.500 Ha.
        
Tahun 2010 ini, telah dilakukan upaya pengembangan bibit karet unggul di lahan potensial yang ada dengan total seluas 1.000 Hektar.
        
Bukan hanya itu, juga dilakukan optimalisasi dan pembangunan jalan produksi perkebunan untuk menunjang kelancaran arus pendistribusian hasil kebun, khususnya karet.
        
"2010 ini, diprogramkan pembangunan enam jalan produksi perkebunan di lima kecamatan," katanya.
        
Kenyataan tentang upaya pengembangan dan optimalisasi jalan produksi perkebunan yang telah dilakukan, tentu berimbas langsung pada peningkatan luas lahan dan tingkat produktivitas.
        
Belum lagi penerapan teknologi pengolahan yang coba diterapkan kepada petani karet melalui penggunaan 'Deorub' sebagai bahan pengolah karet ramah lingkungan, yang mampu mempercepat waktu pengeringan dan pembekuan "blanket" sehingga sangat efisien.
        
Saat ini, di seluruh wilayah kecematan di HST telah berdiri kios-kios khusus penjual Deorub sehingga petani karet sangat dimudahkan dalam upaya peningkatan mutu hasil karet olahan.
        
Karena itulah, sangat mungkin bila untuk wilayah BAT saja hasil olahan karet bisa lebih dari Rp2,4 Miliar per tahun. Mungkin saja Rp3 Miliar, Rp4 Miliar atau bahkan Rp5 Miliar dan itu baru untuk wilayah BAT saja.
        
Tak bisa dipungkiri memang, bila getah dari Meratus sungguh luar biasa.

Pewarta:

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2010