Sebagai akademisi di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Achmad Syamsu Hidayat punya segudang pengalaman baik dalam penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat berkaitan sektor perikanan dan kelautan khususnya di Kalimantan Selatan.


Pada tahun 80-an hingga 90-an, dia ingat betul jika sektor usaha perikanan di Kalsel sangatlah menjanjikan dengan melimpahnya sumber daya alam perairan kala itu.


Kawasan pesisir yang sangat luas telah dimanfaatkan oleh berbagai aktivitas ekonomi pada sektor perikanan dan kelautan sejak lama seperti usaha penangkapan ikan laut dan usaha budidaya udang dan ikan (tambak). 


Salah satu wilayah yang paling luas kawasan pesisirnya Kabupaten Tanah Laut, yakni sebesar 2.430 km2 atau sebesar 63,15 persen dari total luas wilayah kabupaten dengan panjang pantai sekitar 175,93 km.


Di kabupaten ini pula, Syamsu banyak mengamati perkembangan kehidupan Rumah Tangga Perikanan (RTP) dari waktu ke waktu sejak dirinya berstatus mahasiswa Program Studi S1 Manajemen Sumber Daya Perairan ULM di tahun 1985 hingga menjadi dosen di Fakultas Perikanan dan Kelautan ULM dan kini telah meraih Guru Besar Bidang Ilmu Sosial Ekonomi Perikanan sebagai jabatan fungsional akademik tertinggi di perguruan tinggi.


Penelitian demi penelitian telah dilakukan pria kelahiran Marabahan, 4 Januari 1966 ini sebagai upaya mengetahui kondisi sektor perikanan di Bumi Tuntung Pandang.


Sejumlah risetnya antara lain berjudul Model kemitraan pendidikan kelautan dengan masyarakat belayan Desa Pagatan Besar Kabupaten Tanah Laut, Optimasi usaha perikanan rengge di Kabupaten Tanah Laut, Partisipasi nelayan pesisir terhadap program asuransi nelayan di Kabupaten Tanah Laut, serta Peran kelembagaan terhadap adaptasi nelayan untuk keberlanjutan usaha perikanan.


Dosen yang pernah menjabat Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan ULM ini juga kerap melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PKM) dengan sasaran membantu nelayan dan kelompok pembudidaya perikanan agar bisa mengembangkan usahanya lebih maju lagi termasuk menumbuhkan sektor ekonomi pendukung yaitu wisata pantai.


Antara lain PKM peningkatan produktivitas nelayan melalui alternatif penguatan modal usaha, PKM optimalisasi media sosial sebagai sarana promosi wisata Pantai Asmara serta PKM pengelolaan organisasi Pokdakan melalui optimalisasi perangkat administrasi kelompok di Pokdakan Baruh Makmur.


Syamsu juga pernah memberikan bantuan alat tangkap ikan ramah lingkungan ke nelayan, edukasi cara penyimpanan ikan setelah ditangkap hingga membantu cara pemasaran modern guna memaksimalkan penjualannya.


Peduli terhadap para nelayan dan membangkitkan sektor perikanan jadi motivasinya untuk membantu masyarakat pesisir itu agar bisa bertahan hidup dan terus menjaga budaya leluhur dengan mencari dan membudidayakan ikan untuk penghidupan berkelanjutan.

 
Prof Achmad Syamsu Hidayat bersama keluarga saat pengukuhannya sebagai guru besar. (ANTARA/Firman)



Mengutip data Statistik Perikanan Provinsi Kalsel, usaha penangkapan ikan di perairan laut Tanah Laut dilakukan oleh 3.749 RTP pada tahun 2008 yang sebagian besar adalah RTP Lampara Dasar Mini dan RTP Rawai Tetap (Long line) dan RTP Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net). 


Jumlah ini terjadi penurunan yang sangat tajam menjadi 2.047 RTP pada tahun 2011 dan 1.979 RTP pada tahun 2012.  


Kemudian ada kenaikan kembali tahun 2018 terdapat sebanyak 2.213 RTP.


Adapun produksi usaha penangkapan pada tahun 2013 mencapai 35,406,7 ton naik menjadi sebesar 52,050 ton tahun 2017, sebesar 73,166 ton pada tahun 2019 namun menjadi 9,065 ton pada tahun 2021 dengan komoditas udang brown, udang manis, udang tiger, udang putih dan jenis udang lainnya serta ikan tongkol, ikan tenggiri, ikan bawal hitam, dan ikan telang.


Kawasan pesisir wilayah ini oleh masyarakat juga dimanfaatkan untuk usaha budidaya tambak udang dan bandeng. 


Pada tahun 2018 tinggal hanya 137 RTP pembudidaya tambak. 


Penurunan jumlah RTP pembudidaya tambak terjadi cukup signifikan bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2008, pada waktu itu terdapat sebanyak 467 RTP pembudidaya tambak.


Syamsu yang getol mempertahankan keberadaan rumah tangga perikanan menyebut semuanya mulai berubah semenjak maraknya pemanfaatan tambang batu bara di awal tahun 2000 oleh beberapa perusahaan pertambangan pemegang izin usaha pertambangan (IUP/IUPK) serta beroperasinya perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan luas areal sekitar 58.960 hektare di Tanah Laut.


Potensi sumberdaya yang beragam pada pesisir Tanah Laut ini menimbulkan konflik antar sektor dalam pemanfaatan ruang seperti aktivitas transportasi pada sungai dan pantai oleh perusahaan pertambangan batu bara dengan aktivitas usaha penangkapan ikan dan usaha budidaya tambak.


Syamsu menyatakan tantangan eksternal pada usaha budidaya tambak adalah adanya tekanan lingkungan yang sangat kuat dari berbagai aktivitas pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit di sepanjang pesisir timur Tanah Laut. 


Hal ini dimungkinkan karena semua pihak beranggapan bahwa kawasan perairan tersebut sebagai suatu sumberdaya yang bersifat milik bersama, dimana pemanfaatannya bersifat terbuka.  


Sebagai contoh, Desa Muara Kintap di Kecamatan Kintap merupakan salah satu desa pesisir di Tanah Laut yang dahulu mayoritas penduduknya adalah nelayan dan pembudidaya ikan (tambak).  


Pada wilayah ini juga beroperasi fasilitas bongkar muat dan pengapalan dari beberapa perusahaan pertambangan batu bara. 


Operasional pelabuhan khusus dan stockpile beberapa perusahaan batu bara di Sungai Kintap yang setiap hari melewati Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Kintap yang di sekitarnya juga merupakan tempat bersandarnya kapal-kapal nelayan. 


Aktivitas-aktivitas ini tentu memberikan dampak fisik terutama kepadatan alur pelayaran pada daerah muara Sungai Kintap.  


Selain itu beroperasinya beberapa pelabuhan khusus di sepanjang pesisir pantai wilayah ini menyebabkan banyaknya jumlah kapal tongkang pengangkut batu bara yang labuh jangkar untuk menunggu antrian muat batu bara. 


 
Hasil tangkapan ikan nelayan Desa Muara Kintap yang melimpah. (ANTARA/Achmad Syamsu Hidayat)



Muara Kintap andalan perikanan


Berdasar Pasal 11 Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan No.9/2000, Muara Kintap merupakan kawasan andalan perikanan yang merupakan Kawasan Sentra Produksi (KSP) Tanah Laut dan Kotabaru yang dikembangkan sebagai kawasan prioritas bagi sektor perikanan laut dan tambak.


Kondisi ini didukung dengan dibangunnya sarana dan prasarana yang menunjang sektor perikanan pesisir seperti pembangunan saluran irigasi untuk pengairan dan pertambakan. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) serta fasilitas perikanan lainnya.


Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel melaporkan sebagai dampak dari kebijakan tersebut maka pembukaan tambak-tambak udang telah berkembang dan mengalami perluasan kawasan dari 912 hektare pada awal 1999 menjadi kurang lebih 1.006,93 hektare pada tahun 2005.


Fasilitas utama untuk mendukung usaha budidaya tambak pada wilayah ini irigasi yang berfungsi sebagai inlet dan outlet air tambak. 


Irigasi ini dibangun sekitar awal tahun 1999-2000 atas program bantuan Pemerintah Jepang yakni Sector Program Loan (SPL)-OECF yang pada wilayah ini digunakan untuk proyek pengembangan tambak dan hatchery. 


Kondisi fasilitas pengairan ini sekarang sudah tidak terawat lagi, khususnya pada bagian outlet yang bermuara mengarah ke Sungai Kintap telah terjadi pendangkalan sehingga keluar masuknya air sudah tidak berjalan dengan baik begitu pula dengan bagian muara irigasi (inlet) yang menghadap ke laut dan menuju kedalam saluran irigasi utamanya.


Usaha budidaya tambak di Desa Muara Kintap kini sudah tidak dijalankan lagi secara intensif oleh pemiliknya.


Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa pembudidaya sudah tidak berani lagi menebarkan benih udang (benur) pada petakan tambak mereka karena selalu mengalami kematian total setelah beberapa minggu ditebar.   


Kegagalan ini sudah terjadi beberapa tahun terakhir sehingga mereka sudah hampir tidak punya kekuatan modal lagi untuk mencoba mengusahakan tambak mereka.  


Mangkraknya usaha budidaya tambak udang ini juga terjadi pada lokasi tambak lainnya pada wilayah pesisir Kabupaten Tanah Laut. 


Indikasi lesunya usaha budidaya ini terlihat dari tidak beroperasinya perusahaan perikanan yang melakukan usaha budidaya dan perdagangan (cold storage) baik antar pulau maupun ekspor di kabupaten ini.   


Tahun 2000 terdapat 14 perusahaan perikanan yang aktif melakukan perdagangan ekspor dan antar pulau, bahkan diantaranya juga sekaligus menjalankan usaha budidaya tambak sendiri seperti PT. Suri Tani Pemuka.   


Namun pada tahun 2007 hanya tinggal lima perusahaan yang masih menjalankan usahanya dengan membuat rekomendasi dari DKP Tanah Laut untuk memperpanjang SIUP.


Pada tahun 2010 perusahaan industri perikanan yang beroperasi di Tanah Laut berkurang menjadi 4 perusahaan yaitu PT. Ebi Mas Besar, PT. Borneo Surya Abadi, PT. Karimata Timur, dan PT. Bumi Menara Internusa.


Berdasarkan data tahun 2007 produksi perikanan budidaya tambak Tanah Laut sebesar 1.661,10 ton dari areal luas tebar sebesar 1.940,30 ha dengan produktifitas 856,10 kg/ha/tahun.


Kemudian pada tahun 2011, produksi tambak mengalami penurunan yang sangat tajam yaitu 199,22 ton dari luas total tambak 1.759,36 ha dengan produktifitas 113,24 kg/ha/tahun.


Di sisi lain, aktivitas sektor pertambangan terus meningkat sejak tahun awal 2000 hingga tahun 2014 dan mulai menurun hingga tahun 2020 namun sudah menaik kembali pada tahun 2022.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tanah Laut, sektor pertanian secara umum termasuk sub-sektor perikanan yang awalnya berkontribusi besar untuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yakni 32 persen terus menurun hingga 18,9 persen tahun 2018 dan menjadi 15,58 persen pada tahun 2022. 


Kontribusi sektor perikanan dan kelautan juga terus menurun kontribusinya setelah tahun 2006 hingga 2014, kemudian sempat stabil di atas dari 6 persen hingga tahun 2020 namun turun kembali pada tahun 2022 menjadi 5,4 persen.


Sementara sektor pertambangan pada tahun 1999 hanya 4,3 persen terus merangkak naik 32,62 persen di tahun 2014 dan semakin mendominasi 34,3 persen di tahun 2022.


Konflik pemanfaatan lahan pesisir telah memberikan tekanan lingkungan dan pada akhirnya berdampak pada mata pencaharian nelayan karena akses terhadap sumberdaya perikanan menjadi semakin terbatas.


Menurut Syamsu, upaya memanfaatkan besarnya potensi perikanan yang terdapat di Tanah Laut dan Kalimantan Selatan secara umum perlu terus dipertahankan bahkan ditingkatkan karena selain produk perikanan menjadi salah satu bahan pangan berprotein tinggi yang berguna untuk menjaga dan memperkuat daya tahan tubuh.


Komoditas ini juga sebagai sumber mata pencaharian utama bagi sekian banyak rumah tangga nelayan.  


Oleh karenanya keberpihakan pemerintah terhadap kelangsungan usaha semua usaha perikanan perlu terus terjaga dengan berbagai kebijakan maupun program-program yang bisa membuat mereka bisa bertahan dan lebih berdaya. 


Program pemerintah melalui kelompok pelaku utama perikanan seperti KUB (usaha penangkapan), Poklahsar (usaha pengolahan dan pamasaran) serta kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) perlu terus ditingkatkan hingga kelompok ini bisa menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal yang akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya, bukan kelompok yang dibentuk hanya sebagai syarat untuk bisa mendapatkan program bantuan.  

 
Rektor ULM Prof Ahmad Alim Bachri bersama Prof Achmad Syamsu Hidayat dan Prof Leila Ariyani Sofia saat dikukuhkan sebagai guru besar di bidang Ilmu Sosial Ekonomi Perikanan. (ANTARA/Firman)



Sumberdaya perikanan lahan basah


ULM kini disokong sebanyak 116 guru besar yang merupakan jumlah terbanyak di antara perguruan tinggi negeri (PTN) kawasan regional Kalimantan.


Prof Achmad Syamsu Hidayat satu dari delapan orang guru besar di Fakultas Perikanan dan Kelautan ULM yang keberadaannya diharapkan berkontribusi besar terhadap pengembangan kualitas Tridarma Perguruan Tinggi khususnya di sektor perikanan dan kelautan.


Sejalan dengan visi kampus yakni Terwujudnya ULM sebagai universitas terkemuka dan berdaya saing di bidang lingkungan lahan basah, ULM terus memperkuat posisinya untuk unggul di bidang ini.


Mendorong optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan lahan basah pun menjadi fokus ULM untuk pencapaian The Sustainable Development Goals (SDGs) atau program pembangunan berkelanjutan yang merupakan sebuah komitmen bersama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus tetap melestarikan lingkungan.


Rektor ULM Prof Ahmad Alim Bachri berharap pengelolaan 629,27 hektare mangrove di Kabupaten Kotabaru dalam upaya mengembangkan hutan pendidikan lahan basah sebagai pusat penelitian dan informasi pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan bisa segera terealisasi.


Saat ini tinggal proses perizinan  pemanfaatannya yang dimintakan ULM kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.


Sejak 2010, tim peneliti ULM telah melakukan  studi di Kotabaru sebagai wilayah pesisir laut untuk mengidentifikasi kondisi eksisting ekosistem mangrove (terdapat 17 jenis), perhitungan stok karbon mangrove (10-240 ton/ha) serta aktivitas pemanfaatan yang telah dilakukan masyarakat yakni perikanan tangkap dan budidaya.


Pada akhir tahun 2025 diharapkan telah tumbuh suatu desa pesisir produktif yang mampu memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di ekosistem mangrove melalui kegiatan ekowisata terintegrasi dan menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai guna dan nilai ekonomi lebih tinggi.


Restorasi hutan mangrove di kawasan pesisir untuk ekosistem berkelanjutan diyakini turut berdampak positif bagi sektor perikanan yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan nelayan dan rumah tangga perikanan.

Pewarta: Firman

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2023