Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Eugenia Mardanugraha menilai kehadiran bursa sawit Indonesia yang segera diluncurkan Bappepti dapat mendukung keberlangsungan iklim usaha sawit nasional.

Ia mengatakan kehadiran bursa sawit Indonesia ini juga dapat membangun pasar keuangan sawit yang lebih mapan serta mampu bersaing dengan acuan harga internasional yang ditetapkan Belanda dan Malaysia.

Baca juga: GAPKI: Digitalisasi pelaporan untuk tingkatkan tata kelola

"Masa depan industri sawit Indonesia ditentukan oleh siapa yang mengendalikan harga sawit internasional," kata Eugenia dalam pemaparan di Bandung, Jawa Barat, Kamis.

Ia mengatakan masa depan industri sawit Indonesia ke depan sangat dipengaruhi oleh kekuatan dalam mengendalikan harga di bursa komoditas, mengingat sawit maupun turunannya merupakan produk unggulan strategis.

Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia harus menguasai harga sawit di tingkat internasional melalui kehadiran bursa sawit, karena upaya membangun industri tidak cukup hanya dengan mengendalikan pasokan saja.

"Semakin maju pasar keuangan atau bursa sawit Indonesia, Eropa (Belanda) semakin kehilangan kekuatan untuk mengendalikan harga," kata peneliti LPEM FEB UI ini.

Baca juga: GAPKI siapkan prosedur jaga produksi sawit hadapi El Nino

Saat ini, industri juga menghadapi tantangan lain berupa penerbitan UU anti deforestasi oleh Uni Eropa yang bertujuan untuk mencegah impor produk-produk pertanian dan hutan ilegal. Regulasi ini dinilai tak lebih dari sekadar upaya Eropa menghambat kemajuan industri sawit nasional.

Penerapan peraturan itu dianggap dapat menurunkan permintaan yang berdampak pada harga sawit dan harga minyak nabati lainnya serta menyebabkan terjadinya penyesuaian pasokan. Tidak hanya itu, ekspor Indonesia dan potensi pendapatan dari pasar minyak sawit pun terpengaruh.

Pengamat Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhamad Faisol Amir pun menilai tekanan Eropa dapat berdampak pada kelangsungan industri sawit di Indonesia, apalagi minyak CPO menjadi satu-satunya minyak nabati yang dikeluarkan dari daftar renewable energy oleh Uni Eropa.

"Mereka tidak memasukkan sawit sebagai minyak nabati yang direkomendasikan untuk digunakan dalam memproduksi biofuel," katanya.

Baca juga: Mentan RI minta Kalsel penuhi target tanam sawit 10 ribu hektare

Menurut dia, kondisi ini semakin menguatkan alasan Indonesia untuk terus memperkuat posisi di pasar internasional dan memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan.

"Indonesia harus segera keluar dari ketergantungan pasar dari negara-negara yang menerapkan hambatan dagang seperti Uni Eropa," kata Faisol.

Sebelumnya, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) bersiap untuk meluncurkan bursa komoditas sawit yang nantinya dapat menjadi referensi harga CPO Indonesia untuk kepentingan ekspor.

Dasar hukum pembentukan bursa sawit atau badan pengelola bursa tersebut akan diterbitkan dalam peraturan Menteri Perdagangan (permendag).

Selama ini, referensi harga CPO Indonesia masih mengacu pada pasar di Belanda dan Malaysia, sehingga Indonesia belum memiliki nilai tawar tinggi dalam penentuan harga meski menjadi salah satu produsen sawit terbesar di dunia.

Baca juga: Antisipasi karhutla, PT TBM- GAPKI rapatkan barisan

Pewarta: Satyagraha

Editor : Taufik Ridwan


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2023