Banjarmasin sebagai "Kota Seribu Sungai" terus berbenah dalam menata ratusan jembatan tua dari konstruksi kayu ulin yang tersebar di seluruh wilayah kota dan rata-rata usianya puluhan tahun.


Sebagai kota yang terus mengalami perkembangan dengan arus lalulintas yang semakin padat, tuntutan untuk pembenahan infrastruktur jembatan kayu ulin, mau tidak mau harus dilaksanakan dengan tetap mempertahankan ciri kota seribu sungai.

Kebijakan penataan jembatan tua kayu ulin dilakukan Pemko Banjarmasin demi menjamin kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan, yakni mengganti dengan konstruksi beton yang lebih kokoh.

Beban anggaran, itulah yang diungkapkan Kepala Dinas Bina Marga Kota Banjarmasin Gusti Ridwan Sofyan bagi pemerintah kota untuk membenahi semua jembatan kayu yang jumlahnya masih ratusan, yakni, sekitar 475 buah jembatan yang tersebar di daerah ini baru sekitar 40 persennya diganti.

"Perlu dana besar yang dibutuhkan untuk mengganti semua jembatan kayu kebeton ini, dan ini tidak mampu dibiayai APBD secara langsung, makanya dilakukan bertahap dan dipilih yang lebih prioritas," ucapnya.

Sebagaimana tahun ini, ujar dia, APBD hanya mampu mengalokasikan bagi infrastruktur yang dibagi tiga program, yakni, program jalan, jembatan, dan penerangan jalan umum (PJU) sebesar Rp120 miliar.

"Sedangkan rata-rata jembatan yang harus dibangun itu kalau katagorenya panjang di atas 20 meter biayanya lebih Rp10 miliar, maklum tanah di daerah kita rawa, hingga sangat mahal membangun pondasinya," terang Ridwan.

Sebagaimana perubahan Jembatan Mantuil II yang sebelumnya berkonstruksi kayu ulin dibangun beton sudah selesai tahun ini menelan anggaran sekitar Rp15 miliar. Dan rencananya tahun depan dilakukan pada jembatan jalan Sulawesi atau jembatan Antasan Kecil Timur (AKT).

"Rata-rata jembatan baru atau jembatan kayu ulin dibangun sekarang ini berdesein melengkung ke atas," tuturnya.

Menurut dia, desain jembatan melengkung ini untuk memberikan ruang bagi trasportasi sungai bisa melewatinya dengan lebih leluasa, karena sungai di daerah ini yang sering terjadi pasang surut.

Diutarakan Ridwan, daratan Banjarmasin yang dipenuhi jalur sungai yang menyambung satu sama lainnya menyebabkan pembangunan infrastruktur jalan cukup berat, selain tanah rawa yang labil, harus melewati beberapa sungai baik kecil maupun sedang dan besar.

Selain itu, ujar dia, langkah yang berat pula untuk membenahi jembatan itu karena posisinya berdekatan dengan pemukiman atau rumah warga, pemkot juga terbebani dengan pembebasan lahan.

"Jadi terkadang itu, pembebasan lahan di sekitar jembatan hampir sama menghabiskan biaya membangun jembatan, ini yang membuat Pemkot cukup dibebani," tuturnya.

Peroses pembebasan lahan ini, ungkap dia, terkadang menjadi kendala di lapangan, di mana rencana pembangunan bisa molor oleh karena pembebasan lahan yang tidak selesai sesuai jadwal, lantaran negosiasi Pemkot dengan pemilik lahan belum tercapai kesepakatan.

"Sebagaimana pembangunan jembatan Sungai Andai III, masih ada satu bangunan yang ngotot tidak mau dibongkar karena tidak setuju penawaran Pemkot, sedangkan pembangunan jembatan sudah berjalan, hingga harus dilakukan bongkar paksa, proses ini cukup mengganggu penyelesaian pembangunan," akunya.

Menurut dia, kendala semacam ini cukup berpengaruh pada percepatan pembenahan infrastruktur jalan dan jembatan di daerah ini, hingga sebagian jembatan hanya dilakukan perawatan.

"Setiap tahun Pemkot menganggarkan untuk puluhan perawatan jembatan-jembatan kayu, diantara perbaikan kayu yang ada patah, atau sedikit meningkatkan kualitasnya, sebab rata-rata jembatan kayu sudah berumur sekitar 20 tahun," paparnya.

Pembenahan sungai

Selain jembatan, tugas yang berat dan beban biaya besar dipikul Pemkot Banjarmasin adalah melakukan normalisasi dan revitalisasi sungai yang jumlahnya cukup banyak. Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Drainase Kota Banjarmasin, Muryanta, menyatakan, jumlah sungai di kotanya ini dari hasil survei 2013 sebanyak 150 dan ini berpotensi bertambah.

"Sekarang kemungkinan bisa 195 sungai dengan panjang 250 kilometer lebih. Jumlah ini termasuk drainase atau sungai mati yang tertutup bangunan," ujarnya.

Dari jumlah tersebut, menurut Muryanta, sebanyak 102 sungai masuk kategori aktif dan sisanya berstatus mati.

Adapun, lanjut dia, sungai yang layak dilewati transportasi air hanya sekitar 20 dari 102 sungai aktif itu, hingga yang lainnya harus dilakukan normalisasi atau revitalisasi untuk mengembalikan ke fungsinya.

Salah satu sungai yang dilakukan normalisasi dengan mengeruknya kembali adalah sungai di Jalan Veteran, di mana sungai itu lama mati suri karena ditutup bangunan.

"Perlu biaya besar yang kita anggarkan secara bertahap setiap tahunnya untuk menormalisasi sungai Veteran itu," ucapnya.

Menurut dia, setelah pemkot berhasil membebaskan lahan dan bangunan yang menutup hampir sepanjang sungai itu, pihaknya pun bergerak cepat mengeruknya, dan didapati selain sudah dangkal karena lumpur dan sampah juga banyak batang-batang kayu besar di dalam sungai itu.

"Cukup sulit melakukan normalisasi sungai Veteran ini, tapi dengan tekad yang didukung semua pihak, kini sudah cukup kelihatan mulai berfungsi dengan baik," tuturnya.

Menurut dia, pengerukan sungai Veteran masih kalah sulit dengan sungai lainnya, diantaranya sungai Pekapuran, sungai Kelayan, dan sungai lainnya sejenis karena penuh bangunan warga dibantarannya.

"Kesulitannya, alat berat sulit masuk karena rapatnya bangunan, belum lagi melalui banyaknya halangan jembatan," ujarnya.

Dikatakan dia, pemkot masih mempercayakan tugas pengerukan dasar sungai ini dengan kapal "biuku" atau kapal motor terapung sewa yang dilengkapi pengeruk alat berat eksapator.

"Sudah beberapa tahun kita oprasikan kapal biuku ini, dan kerjanya cukup baik, ribuan ton sampah di dasar sungai dapat kita angkat," ucapnya.

Selain pengerukan, ujar Muryanta, pihaknya juga melakukan pembuatan siring bagi sungai-sungai kecil hingga terus bisa berfungsi aliran airnya yang dapat mengendalikan genangan bahkan banjir.

"Dan bisa dilihat, saat hujan, genangan yang terjadi ini tidak bertahan lama, sebab aliran sungai di daerah kita ini berfungsi baik," tuturnya.

Revitalisasi Sungai Martapura

Hal lain yang menjadi beban berat bagi pembenahan sungai di Banjarmasin adalah program revitalisasi bantaran sungai Martapura, sungai terbesar membelah ibu kota provinsi itu.

Ditargetkan, ungkap dia, pembangunan siring di sepanjang sungai Martapura itu akan sambung menyambung hingga lima kilometer, dengan masa waktu pelaksanaan sekitar 25 tahun.

"Namun dengan besarnya perhatian pemerintah provinsi dan pusat, diperkirakan bisa rampung dalam sepukuh tahun," bebernya.

Sebab, kata dia, sejauh ini sudah lebih 2,5 kilometer dapat diselesaikan pembangunannya. Siring yang sudah dibangun tersebut di Jalan Piare Tendean, siring eks SMP6, serta siring Jalan Sudirman.

"Siring di jalan RK Ilir juga sudah sebagian terbangun dan terus dilanjutkan hingga sisi-sisinya sampai ke jembatan RK Ilir dan Muara Kelayan," paparnya.

Kegiatan yang sedang dikerjakan saat ini, tutur Muryanya, adalah siring di jalan Sungai Baru yang dikerjakan Balai Sungai melalui anggaran pemerintah pusat. Dari pengusulan biaya Rp35 miliar, pemerintah pusat hanya mencairkan sejumlah Rp15 miliar.

Rencananya, ungkap dia, siring ini akan dibangun mulai dari Jembatan Dewi hingga Jembatan Pangeran Antasari. Namun demikian, mengingat tenggat tahun anggaran tinggal dua bulan lagi dan anggaran yang terbatas, maka pembangunan tidak akan dilakukan sekaligus.

Dari 400 meter, tahun 2015 ini akan dibangun sepanjang 275 meter sementara tahun depan sisanya, jelas Muryata.

Aktivitas sungai di Banjarmasin merupakan bagian dari pendukung program nasional kemaritiman yang sedang gencar dilakukan pemerintah. Dari sungai-sungai di Banjarmasin dan wilayah Kalimantan Selatan lainnya ikut menentukan upaya aktualisasi kelautan yang pernah berjaya di Indonesia.


Pewarta: Syamsuddin Hasan

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015