Akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM d/h Unlam) Banjarmasin Dr Taufik Arbain MSi berpendapat, patut memberikan apresiasi terkait Undang Undang Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) antara lain berisikan pemindahan ibukota provinsi.

"Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang Undang (UU) Tahun 2022 tentang Provinsi Kalsel berisikan antara lain pemindahan ibukota provinsi dari Banjarmasin ke Banjarbaru," ujar Ketua Pusat Studi Kebijakan Publik ULM itu melalui WA-nya, Selasa (22/2/22) malam.

"Terkait UU Provinsi Kalsel tahun 2022, Saya kira kita patut memberikan apresiasi atas usaha itu, meluruskan yang bengkok, meninggikan yang rendah terkait alas UU 25 Tahun 1956 yang memang harus diganti meski banyak pihak tercengang sampai harus berganti pusat Ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru," lanjutnya.  

Menurut dia, realitas tersebut menjadi catatan penting untuk ke depan, bahwa keterlibatan ragam aktor, partisipasi publik terhadap hal-hal hajat ornag banyak mesti memerlukan ruang diskursus pada aras input dan proses sebelum masuk pada ruang formulasi kebijakan.

Oleh sebab itu, menurut pengamat politik dan kebijakan publik ULM tersebut, polemik terkait perpindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru ditinjau dalam perspektif kebijakan publik sebenarnya hanya terkait aspek input, proces dan output. 

Pada tataran input sebagai ruang persiapan formulasi kebijakan barangkali kurang mendalam, apakah partisipasi publik, peran aktor yang berkepentingan  ataupun para pakar yang diundang dalam mendalami RUU saat itu. 

"Yang tersiar di media bahwa ada usaha pergantian 25/1956 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat, Kalsek dan Kalimantan Timur yang dianggap sudah kadaluawarsa dan berpijak pada konstitusi Republik Indonesia Serikat, dimana dibutuhkan Undang -Undang baru sebagai legal standing kedudukan provinsi-provinsi dimaksud," ujarnya.

"Lalu terkait dengan adanya pasal  ketika Ibukota Provinsi Kalsel berkedudukan di Banjarmasin kemudian dipindah ke Banjarbaru,  justru seingat saya tidak ada berdengung, bahkan di media massa. Sementara aspek perpindahan inilah yang menjadi polemik dan melahirkan pro dan kontra.  Mengapa yang tak terdengung itu justru muncul?, lanjutnya.

Ia berpendapat, bahwa pada tataran input barangkali masih kurang mandalam terkait pemikiran pakar tentang apa tujuan dan filosofis dari usaha pergantian UU 25/1956,  apakah hanya membahas UU 25/1956 khas perubahan UU atau normative saja?

"Aspek sosiologis? Aspek regional development, sosial kultural dan kesejarahan, geografis -demografis atau aspek spasial tidak tereksplore dengan baik? Inilah saya kira tatkala diskusi dan seminar terkait pergantian UU tersebut tidak melihat ragam perspektif pada September 2021," ungkapnya.

"Memang pergantian ibukota provinsi dari Banjarmasin ke Banjarbaru memiliki implikasi luas baik aspek kesejarahan, aspek morfologis kawasan maupun aspek pembangunan," lanjutnya.

Sebagai contoh aspek kesejarahan tentu saja ini terkait soal kesejarahan di ibukota di masa Kesultanan Banjar, Kolonial Belanda hingga NKRI  Tahun 2021. Sedangkan aspek morfologis Kawasan terkait pemanfaatan dan daya dukung lahan dari implikasi pembangunan.

"Paling gampang saja misalnya bahwa setiap Kantor Partai Palitik (Parpol) tingkat provinsi harus berkedudukan di Ibukota provinsi, ini akan terjadi mobilisasi besar-besaran kantor partai di Kota Banjarbaru," ujarnya.

Namunharus diingat,  lanjut dia, baik  Kota Banjarmasin, Banjarbaru dan sekitarnya memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk kisaran 1,5 - 2 persen yang artinya akan  terjadi pola sebaran pemanfaatan lahan seperti sarang laba-laba, termasuk Kabupaten Barito Kuala (Batola) dan  Kabupaten Banjar.

"Maka dari itu saya kira pindah atau tidak ibukota, implikasi  dari demografis dan pembangunan keniscayaan akan terjadi pola demikian. Kota Banjarbaru dan Kota Banjarmasin tetap menjadi magnet-magnet pembangunan  (primary city) dengan pola tersendiri," tambahnya.

Oleh sebab itu.  pengamat politik dan kebijakan publik ULM tersebut mengingatkan, bahwa disitulah justru integrasi perencanaan pembangunan dan antarkawasan Banjarbakula penting bersama pemerintah provinsi (Pemprov).

"Apalagi nanti dengan kehadiran Kabupaten Gambut Raya (pemekaran Kabupaten Banjar) sebagai kawasan penopang dua "primary city" tersebut," ujarnya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) ULM tersebut menyarankan, desain pembangunan harus terintegrasi dan tentu saja dikaitkan Kalsel sebagai pintu gerbang Ibu Kota Negara (IKN).

Sisi lain Kota Banjarbaru yang menjadi tempat pemindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin. (Yose Rizal/Antara Kalsel)


"Maka wajar jika ada kalangan di Banua ini terkait input dan proses pergantian UU 25/1956 tersebut  melakukan komparasi dengan UU Provinsi Bali yang memiliki usaha yang sama jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan UU Provinsi Kalsel baik aspek otonomi, isu pembagian urusan pemerintahan, daya saing daerah, bahkan terkait asas dan tata adat Bali dan pelestarian kebudayaan," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut dia, wajar karena masyarakat dan elit aktor di Provinsi Bali jauh-jauh hari sudah melek terhadap perubahan Undang Undang tersebut apalagi sejak ramainya kebijakan "Desentralisasi Asimetris" atau  yang kita kenal dengan  Otonomi Khusus, mereka mempersiapkan.

Ia menambahkan, mendalamnya konten Undang-Undang Provinsi Bali saat ini justru  bisa menjadi pintu masuk  pada ekspektasi menuju usulan Otonomi Khusus Provinsi Bali dengan sebutan Keistimewaan karena implikasinya diikuti dengan perangkat kebijakan lainnya termasuk anggaran pembangunan khusus.

"Usulan disertasi saya tahun 2012 di Program Doktor Universitas Gajah Mada (UGM) terkait soal Kebijakan Desentralisasi Asimetris Kalimantan, tetapi saying tidak diperkenankan oleh para dosen penguji usulan disertasi," ujarnya.

"Waktu itu saya menganggap ada syarat-syarat yang memungkinkan desentralisasi asimetris, yakni ketidakmerataan pembangunan, berbatasan dengan negara lain, kaya sumber daya alam, adanya tatanan keraton/kerajaan dan lembaga adat semua provinsi, lintasan jalur laut internasional dan apalagi saat ini IKN ada di Kalimantan. Jadi usulan desentralisasi asimetris tidak harus dilewati dengan separatism," lanjutnya.

Oleh sebab itu, menurut dia, terkait UU Provinsi Kalsel tahun 2022, kiranya patut memberikan apresiasi atas usaha untuk meluruskan yang bengkok, meninggikan  yang rendah terkait alas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 yang memang harus diganti meski banyak pihak tercengang sampai harus berganti pusat Ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru.  

"Realitas tersebut menjadi catatan penting bagi kita ke depan bahwa keterlibatan ragam aktor, partisipasi publik terhadap hal-hal hajat orang banyak mesti diperlukan ruang diskursus pada alas input dan proses sebelum masuk pada ruang formulasi kebijakan," demikian Taufik Arbain.

 

Pewarta: Syamsuddin Hasan

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022