Jukung itu berayun lembut mengikuti riak-riak sungai, sementara malam yang gelap hanya diterangi pantulan cahaya dari lampu-lampu yang jauh di pinggir jalan, selaras dengan kesunyian yang menggelayuti malam itu.

Si pendayung sesekali mengayuh, terkadang dia berhenti sambil berdialog santai mengakrabi penumpangnya.

Seolah tak ada hal serius yang mereka perbincangkan, padahal ustadz Ahmad Nida Lukman sedang melakukan proses terapi kepada residen (sebutan untuk pasien rehabilitasi narkoba). Dia tengah mendalami latar belakang si penderita.

Dia akrabi pasiennya laksana dua sahabat yang sudah lama berpisah dan baru bersua kembali. Dia biarkan si residen melepaskan uneg-unegnya. Bebas dalam suasana yang sunyi, tenang, di tengah sungai yang jauh dari manusia-manusia lainnya.

Nikmatnya duduk berayun-ayun di jukung kecil (perahu yang dibuat dari kepingan-kepingan papan yang disusun), yaitu sampan kayu khas Kalimantan Selatan, sambil menikmati keindahan sungai dengan pemandangan eksotik dalam suasana malam, boleh jadi membantu proses terapi itu.

Ustadz Nida, demikian dia akrab disapa, adalah pengasuh Pondok Pesantren Darul Mukhtar, sebuah lembaga konsultasi, untuk terapi dan rehabilitasi parapecandu narkoba di Benua Anyar, Banjarmasin Timur, sebuah kampung yang tersohor dengan makanan khas Kalsel, yakni soto Banjar, di Banjarmasin.

Dalam terapi dan rehabilitasi, dia menggunakan metode LIS, yaitu perpaduan logika, intuisi dan supranatural. Sebuah metode yang dia peroleh dari gurunya KH Elwansyah Elham, pendiri Pondok Pesantren Ibadurrahman di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kaltim.

Selain sebagai sarana pendidikan yang lengkap dan terpadu, Ibadurrahman pun melayani terapi dan rehabilitasi para pecandu narkoba yang ingin terbebas dari hidup normal kembali.

Dalam praktiknya, ustadz Nida dengan Pondok Pesantren Darul Mukhtar-nya sebuah Lembaga kononsultasi Terapi dan Rehabilitasi Penyandang Masalah Sosial, menggunakan pendekatan-pendekatan unik, yang mungkin tidak ditemukan pada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) lainnya.

Dia berupaya agar residen tidak merasa bahwa dia sedang dalam proses terapi.

Seorang pencandu sabu-sabu, yang datang dari Surabaya, contohnya. Saat awal kedatangannya di Darul Mukhtar, mulutnya diam, tidak berbicara sama sekali. Ekspresi wajahnya menunjukkan kebingungan, linglung seperti tidak ingat apa-apa.

Sementara nasi bungkus yang dihidangkan kepadanya hanya dipandangi dalam waktuyang begitu lama tanpa ia sentuh. Baru setelah bungkus nasi itu dibukakan, diperlihatkan apa yang ada di dalamnya, dibantu dia untuk makan, diapun akhirnya makan.

Keadaannya tak beda dengan `pemadat` atau pecandu narkoba pada umumnya. Tidak bisa diajak bicara. Kalaupun bicara hanya sepotong-sepotong, tidak jelas. Sangat sulit untuk diajak berkomunikasi.

Ustadz Nida dan terapis, yang membantunya, sudah terbiasa menghadapi pencandu dengan berbagai perilaku. Ada yang pemarah, berteriak-teriak. Adapula penakut, yang bahkan diajak bicara pun ketakutan. Ada lagi yang pemalu, juga yang diam saja, serta macam-macam kelakuan lainnya.

Namun, sama saja, mereka tetap berlaku akrab, sopan dan menghargai residen. Si penderita mereka ajak bergaul, seperti orang yang sudah lama kenal. Pelan-pelan, mereka ajak dia bicara.

Sedang residen asal Surabaya itu mulanya mereka biarkan istirahat. Sementara di dekatnya diletakkan beberapa bahan bacaan ringan. Awalnya, mungkin, tidak disentuh seperti barang yang tiada berguna.

Tetapi karena yang ada di dekatnya hanya itu, akhirnya ditoleh, dipegang lalu dibuka dan dibaca.

Ini satu dari tujuh terapi logika, yaitu pendidikan akal (intelektual). Pendidikan akal ini meliputi dialog terbuka, dialog rahasia, membaca dan menulis, bercerita, bertanya dan mengeluarkan pendapat.

Residen memang seperti `disekolahkan ulang`, karena kerusakan intelektual, psikis, sosial, dan fisiknya akibat narkoba.

Setelah menjalani tahapan dari pendidikan akal, ada pendidikan fisik, termasuk di sini bekerja dan berolahraga, pendidikan psikis, yang meliputi penanaman sifat terpuji, pendidikan spiritual, pendidikan sosial dan etika, pendidikan kecakapan dan keterampilan, serta pendidikan seksual.

Pemuda Surabaya itu, tutur ustadz Nida, dulu adalah pengguna narkoba sejak usia SMP hingga SMA. Pendidikannya terputus. Narkobanya, memang dapat dihentikan, tetapi ketergantungannya pada obat penenang tidak bisa diputus. Kalau tidak, dia mengamuk.

Rata-rata anggota keluarga sudah merasakan bogem mentahnya. Dan, tanpa obat penenang, dia susah sekali tidur. Itu berlangsung sampai 10 tahunan.

Di Darul Mukhtar, dia bisa tenang: tanpa obat medis, tanpa suntikan penenang. Dia tidak memukul orang dan dia bisa tidur. Kata ustadz Nida, ini bagian dari terapi intuisi berisi empat tahapan, yaitu penenangan, pendobrakan, pengobatan dan penangkalan.

"Realisasinya lewat minuman, makanan, transfer bio energi, juga doa, dzikir dan wirid," katanya.

Orang Surabaya itu tidak hanya tenang dan bisa tidur. "Dia kini sudah bisa bikin kopi sendiri, masak mi, bahkan pernah menerima tamu," tuturna.

Waktu itu ada tamu yang datang, dia tanya mau cari siapa. Setelah itu dia bilang tunggu ya.

Waktu proses terapi dan rehabilitasi korban narkoba di Darul Mukhtar berlangsung enam bulan. Selama itu, tiap residen menjalani tiga tahapan terapi: logika, intuisi dan supranatural.

Dalam tahap supranatural ada lima langkah dilakukan yaitu munajat dan muhasabah; doa, dzikir, wirid dan amalan-amalan; hijrah dan taqarrub, yaitu pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala; peningkatan keshalihan ritual; mewaspadai strategi dan perangkap godaan hawa nafsu.

Bangunan tanpa sekat

Darul Mukhtar berdiri sejak 2011 dengan bangunan dua tingkat di atas lahan 11 hektare. Ruang dalam bagungan dibiarkan los, tanpa sekat.

Kata ustadz Nida, kalau dibuat bersekat atau berkamar-kamar, dikhawatirkan residen akan melakukan hal-hal tersembunyi yang negatif tidak membantu proses kesembuhannya, dan sulit dipantau.

Dalam melakukan praktik, terapis di sini memiliki standar sikap, yaitu tulus ikhlas, penyantun, peramah, sabar, tenang, teliti, tegas, bersih, patuh, menyimpan rahasia, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya.

Darul Mukhtar, kata ustadz Nida, sudah diakui Badan Nasional Narkotika Kabuaten (BNNK) Banjarmasin. Motode yang digunakannya sudah mendapat hak paten.

Karena Darul Mukhtar adalah IPWL swasta, maka residen yang dilayani memiliki kewajiban untuk membayar registrasi dan biaya rehabilitasi.

Menurut ustadz Nida, penyalahgunaan narkoba merusak kepribadian. Korbannya menjadi apatis, bahkan terhadap dirinya sendiri, dia kehilangan kepercayaan dirinya, semangatnya anjlok, klop dengan berbagai penyakit fisik yang menimpanya.

Sementara dalam pergaulan, dia kehilangan kontrol. Dia tinggalkan norma dan etika, sehingga tidak mampu menunjukkan sikap sopan dan wajar. Dia tidak peduli soal lingkungan, kehormatan, kebaikan, dan keselamatan.

Di Darul Mukhtar, korban (baca residen) menjalani proses penyegaran, baik secara fisik, psikis, maupun spiritual dan sosial.

Dalam pendidikan spiritual, dia mendapat bimbingan khusus tentang hikmah, disegarkan kembali pengetahuan agamanya disertai pengamalannya. Di antaranya dengan konsisten menjaga wudhu, memelihara diri dari maksiat, menjaga dzikir dan wirid.

Menjelang tiba waktu shalat, dia pun diingatkan akan kewajibannya.

"Kamipun mengajaknya shalat berjamaah di masjid bersama kaum muslimin lainnya, sehingga dia merasakan dirinya adalah bagian dari mereka," tuturnya.

Lain waktu, residen diajak makan di restoran atau rumah makan. Tujuannya adalah proses dia bersosial kembali agar kepercayaan dirinya pulih dan mulai memperhatikan orang-orang di sekelilingnya.

"Kami juga mengajaknya bamasakan (tradisi khas Kalsel dengan kumpul-kumpul masak bersama dan makan bersama). Kami panggil teman dan handai-taulan untuk datang. Jadi ramai kumpul dengan banyak orang, sehingga residen berbaur dengan mereka," kisahnya lagi.



Perlu kerja sama



Selama empat tahun Lembaga Konsultasi Terapi dan Rehabilitasi Penyandang Masalah Sosial Darul Mukhtar memberi pelayanan, baru sekitar 20 residen rawat inap yang direhabilitasi.

Selebihnya, ada ratusan residen yang menjalani rawat jalan. Sebagian besar mereka adalah pegawai, baik pegawai pemerintah maupun swasta, serta mahasiswa.

Ustadz Nida menggambar keadaan para residen ini sebagai korban-korban yang mengalami kejenuhan terhadap narkoba.

"Mereka sudah capek, jenuh, ingin segera berlepas diri dari jeratan narkoba, tapi tidak bisa," ujarnya.

Apa pasal? "Ketika keinginan itu mereka ungkapkan, keluarga mereka tidak percaya atau menganggap mereka main-main atau tidak tahu mau kemana menyalurkannya. Sementara mereka masih berada dalam kondisi ketagihan. Akhirnya, karena tidak ada jalan keluar, mereka kembali lagi," tuturnya.

Para korban narkoba, ujarnya, adalah mereka yang butuh pertolongan.

"Untuk membantu proses penyembuhan mereka harus ada kerja sama antara pemakai, orangtua, keluarga, dan tim ahli yang menanganinya. Kerja sama ini harus dibangun dengan dasar kekeluargaan, keakraban, dan keharmonisan, kata ustadz Nida.

Darul Mukhtar sendiri, dia tegaskan, tidak akan menerima residen yang dititip begitu saja, lalu ditinggalkan seakan orangtua dan keluarganya lepas tangan.

"Upaya untuk memperoleh kesembuhan ini adalah upaya serius dan mendapat perhatian bersama," katanya lagi.

Dia mengingatkan kalau kesembuhan itu adalah milik Allah Ta`ala. Dialah yang menyembuhkan siapa yang dikehendaki-Nya. Maka, korban perlu berdoa dan didoakan. "Kita hanya mengupayakan, sedang yang menyembuhkan adalah Allah Ta`ala," ujarnya.

Pewarta: Mahdani

Editor : Asmuni Kadri


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015