Mei lalu, ekonom-ekonom Jepang memprediksi jika Olimpiade Tokyo dibatalkan maka implikasi negatifnya terhadap perekonomian Jepang bakal demikian besar padahal negeri itu di ambang resesi hebat.
Salah seorang ekonom, kepala ekonom Dai-Ichi Life Research Institute Toshihiro Nagahama, menyebut kerugian ekonomi yang diderita Jepang bisa mencapai 1,4 triliun yen (Rp186 triliun), sedangkan Takahide Kiuchi dari Nomura Research Institute Ltd menaksir angka 1,8 triliun yen (Rp236 triliun).
Semua angka itu tetap tak menghindarkan fakta bahwa menyelenggarakan Olimpiade di tengah pandemi sama sekali tak menguntungkan secara ekonomi.
Jepang sendiri sejak awal menginginkan Olimpiade Tokyo ini menjadi ajang untuk menunjukkan mereka masih menjadi kekuatan ekonomi global sekalipun kemapanan ekonominya telah lama tersalip oleh China.
Jepang juga ingin menunjukkan mereka telah bangkit dari bencana tsunami dan nuklir dahsyat pada 2011.
Dan Olimpiade Tokyo pun tetap mereka gelar, di bawah hujan kritik dari separuh jumlah penduduk dan di bawah bayang-bayang rugi besar ketika segala gambaran positif mengenai insentif ekonomi besar dari Olimpiade pupus manakala diputuskan harus diadakan di bawah aturan-aturan terkait pandemi yang amat ketat yang tak pernah terjadi pada Olimpiade modern mana pun.
Di antara yang paling mengerikan adalah larangan adanya penonton di dalam stadion, padahal kehadiran penonton lebih dari sekadar pemasukan tiket, namun juga pesan kuat mengenai situasi nasional Jepang.
Mantan perdana menteri Shinzo Abe bahkan menyatakan Olimpiade ini harus menjadi simbol kemenangan umat manusia terhadap virus corona.
Tetapi yang kini ada di hadapan Jepang, di luar catatan medalinya yang fenomenal, adalah gambaran rugi besar dari aspek ekonomi.
Untuk menyelenggarakan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo ini, Jepang diperkirakan mengeluarkan dana 1,64 triliun yen (Rp214 triliun) atau 22 persen lebih tinggi dari taksiran sebelum Olimpiade ini dinyatakan ditunda pada 2020.
Angka itu juga dua kali lipat dari estimasi awal Jepang sebesar 800 miliar yen (Rp104 triliun) ketika Tokyo pertama kali mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 2020.
Namun yang didapat Jepang saat ini hampir tak ada, alih-alih harus mengembalikan sebagian besar dana, begitu Olimpiade ini selesai.
Oleh karena itu, dari sisi ekonomi, tak ada yang bisa dipetik Jepang, karena mulai pemasukan tiket, sampai tagihan asuransi dan sponsor, semuanya ambrol yang bahkan harus secepatnya ditutup.
Dalam urusan tiket misalnya. Sebelum memutuskan menunda Olimpiade ini pada 2020, 4,48 juta tiket sudah habis terjual dan diperkirakan memberikan pemasukan sebesar 90 miliar yen (Rp11,79 trilun).
Semua angka itu raib tak bisa diraih, karena memang tak ada penonton yang boleh masuk stadion, bahkan semua pintu masuk Jepang tertutup kecuali untuk orang-orang yang terkait langsung dengan arena Olimpiade.
Tak mau hanya demi ekonomi
Jepang juga harus menanggung klaim asuransi gila-gilaan yang menurut taksiran lembaga pemeringkat Fitch mencapai 2,5 miliar dolar AS (Rp36 triliun) yang sebagian besar untuk hak siar televisi dan sponsor, dan sisanya perhotelan dan akomodasi lain yang rugi berat karena tiada orang asing yang datang ke Jepang.
Sponsor yang di antaranya melibatkan 60 perusahaan Jepang, termasuk Toyota dan Panasonic, juga tak kalah rugi. Mereka total membayarkan dana sponsor 3,2 miliar dolar AS (Rp46,2 triliun).
Namun di antara semua itu, yang paling menyiksa adalah musnahnya impian menggenjot pariwisata yang sempat diproyeksikan naik empat kali lipat dari angka 30 juta turis per tahun. Semuanya lenyap ditelan pandemi virus corona.
Padahal setahun sebelum pandemi pada 2019, Jepang telah mengalokasikan hampir 4,81 triliun yen (Rp629 triliun) untuk mempermak hotel-hotel, restoran, toko dan jasa lainnya sehingga ketika Olimpiade tiba semakin banyak turis yang datang untuk kemudian menjadi cerita yang dibagikan kepada calon-calon turis setelah mereka.
Menurut Nomura Research Institute, Olimpiade normal biasanya memberikan tambahan 0,33 persen untuk produk domestik bruto (GDP) atau sekitar 1,8 triliun yen (Rp235 triliun).
Namun sepertinya Olimpiade Tokyo yang disebut Universitas Oxford di Inggris sebagai Olimpiade termahal sepanjang masa itu gagal menyuntikkan darah segar kepada perekonomian Jepang.
Ironisnya, di bawah tekanan rugi ekonomi super hebat seperti ini, Jepang tak tergoda melakukan langkah hanya demi 'balik modal'.
Padahal Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan sejumlah negara sepertinya lebih senang Olimpiade ini digelar normal atau paling tidak seperti UEFA menggelar Euro 2020 lalu.
Tapi pemerintah Jepang tak mau tergoda oleh itu. Mereka tak mau hanya karena demi investasi dan demi menggenjot pariwisata, mereka lantas sembarangan membuka pintu-pintu perbatasan demi masuknya orang asing ketika ancaman pandemi tegas meneror rakyat.
Bahkan mereka melarang atlet-atlet Olimpiade yang setiap hari dites COVID-19 dan hampir seluruhnya sudah divaksin, berkeliaran di luar Desa Atlet Olimpiade.
Pemerintah Jepang memang ngotot menyelenggarakan Olimpiade ini, tapi mereka tak ingin melakukan itu semua dengan menciptakan risiko satu pun nyawa penduduknya terenggut COVID-19.
Mereka tahu di depan mereka, sudah menunggu tagihan luar biasa besar dan kerugian luar biasa hebat. Tetapi mereka tak mau sedikit pun menyepelekan pandemi.
Hebatnya, dalam situasi-situasi super berat seperti ini, mereka berhasil menggelar acara olahraga terbesar di dunia dalam gelembung olahraga yang skalanya ratusan atau mungkin ribuan kali lebih besar daripada gelembung-gelembung olahraga lain, termasuk NBA di AS pada 2020.
Harmoni segalanya
Mereka sebaliknya telah membuat acara olahraga paling kolosal sejagat ini digelar dengan aman sekali ketika terus diintip pandemi yang merajalela di mana-mana dan varian baru virus corona yang tak meneror dunia.
Indikasinya terlihat dari sangat rendahnya angka infeksi di arena Olimpiade, yang hanya 0,01 persen.
Semua acara Olimpiade pun mulus digelar nyaris tanpa gangguan dan keluhan, sekalipun di bawah protokol kesehatan super ketat yang di antaranya mengharuskan atlet tetap dalam gelembung Olimpiade dan segera pulang ke negerinya begitu menyelesaikan kompetisi.
Tak heran Chef de mission Australia Ian Chesterman saja memuji Jepang dan bahkan akan menggunakan Olimpiade Tokyo sebagai peta jalan untuk Olimpiade Brisbane 2032.
Dia memuji daya tahan dan keterampilan Jepang dalam mengorganisasikan acara super besar ini, sampai dia memberi angka “11 untuk nilai maksimal 10" kepada Jepang.
"Tokyo sudah jelas menunjukkan organisasi dan komitmen yang hebat serta memberikan peta jalan ke depan yang lebih baik ketimbang yang kami hasilkan dari Rio (2016). Kita berterima kasih banyak kepada Jepang yang sudah menunaikan tugas yang luar biasa besar ini sehingga semua terwujud."
Padahal, mengutip Chesterman, ini bukan Olimpiade yang dimaui Jepang. Namun mereka tetap melakukannya dengan luar biasa baik sehingga para atlet pun menikmatinya.
Dan ketika Olimpiade Tokyo 2020 ditutup, mereka pun melakukannya dengan indah, santai, hangat, riang, meskipun tetap berbalut optimisme dan selimut kebanggaan nasional yang tebal sekali.
Atmosfer itu berbalikkan dengan suasana terkungkung protokol kesehatan selagi atlet berkompetisi, seolah ingin mengatakan protokol yang ketat itu juga demi kegembiraan dan kebahagiaan itu.
Kegembiraan itu bahkan mereka simbolkan dari tarian modern berlatarkan improvisasi dari karya klasik “Ode to Joy” gubahan komponis besar Ludwig von Beethoven.
Jepang memang beda, selalu ingin memadukan yang tersirat dengan tersurat dan selalu berusaha mengharmonikan segala hal, termasuk modernitas dan tradisi, seperti terlihat baik pada upacara pembukaan maupun penutupan Olimpiade tadi.
Dalam Olimpiade Tokyo, mereka mengharmonikan protokol kesehatan dan kompetisi level tinggi. Hasilnya, Olimpiade yang super-aman, yang super-sehat, tapi tak menghilangkan seru dan agungnya kompetisi olahraga.
Terima kasih Tokyo, terima kasih Jepang.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
Salah seorang ekonom, kepala ekonom Dai-Ichi Life Research Institute Toshihiro Nagahama, menyebut kerugian ekonomi yang diderita Jepang bisa mencapai 1,4 triliun yen (Rp186 triliun), sedangkan Takahide Kiuchi dari Nomura Research Institute Ltd menaksir angka 1,8 triliun yen (Rp236 triliun).
Semua angka itu tetap tak menghindarkan fakta bahwa menyelenggarakan Olimpiade di tengah pandemi sama sekali tak menguntungkan secara ekonomi.
Jepang sendiri sejak awal menginginkan Olimpiade Tokyo ini menjadi ajang untuk menunjukkan mereka masih menjadi kekuatan ekonomi global sekalipun kemapanan ekonominya telah lama tersalip oleh China.
Jepang juga ingin menunjukkan mereka telah bangkit dari bencana tsunami dan nuklir dahsyat pada 2011.
Dan Olimpiade Tokyo pun tetap mereka gelar, di bawah hujan kritik dari separuh jumlah penduduk dan di bawah bayang-bayang rugi besar ketika segala gambaran positif mengenai insentif ekonomi besar dari Olimpiade pupus manakala diputuskan harus diadakan di bawah aturan-aturan terkait pandemi yang amat ketat yang tak pernah terjadi pada Olimpiade modern mana pun.
Di antara yang paling mengerikan adalah larangan adanya penonton di dalam stadion, padahal kehadiran penonton lebih dari sekadar pemasukan tiket, namun juga pesan kuat mengenai situasi nasional Jepang.
Mantan perdana menteri Shinzo Abe bahkan menyatakan Olimpiade ini harus menjadi simbol kemenangan umat manusia terhadap virus corona.
Tetapi yang kini ada di hadapan Jepang, di luar catatan medalinya yang fenomenal, adalah gambaran rugi besar dari aspek ekonomi.
Untuk menyelenggarakan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo ini, Jepang diperkirakan mengeluarkan dana 1,64 triliun yen (Rp214 triliun) atau 22 persen lebih tinggi dari taksiran sebelum Olimpiade ini dinyatakan ditunda pada 2020.
Angka itu juga dua kali lipat dari estimasi awal Jepang sebesar 800 miliar yen (Rp104 triliun) ketika Tokyo pertama kali mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 2020.
Namun yang didapat Jepang saat ini hampir tak ada, alih-alih harus mengembalikan sebagian besar dana, begitu Olimpiade ini selesai.
Oleh karena itu, dari sisi ekonomi, tak ada yang bisa dipetik Jepang, karena mulai pemasukan tiket, sampai tagihan asuransi dan sponsor, semuanya ambrol yang bahkan harus secepatnya ditutup.
Dalam urusan tiket misalnya. Sebelum memutuskan menunda Olimpiade ini pada 2020, 4,48 juta tiket sudah habis terjual dan diperkirakan memberikan pemasukan sebesar 90 miliar yen (Rp11,79 trilun).
Semua angka itu raib tak bisa diraih, karena memang tak ada penonton yang boleh masuk stadion, bahkan semua pintu masuk Jepang tertutup kecuali untuk orang-orang yang terkait langsung dengan arena Olimpiade.
Tak mau hanya demi ekonomi
Jepang juga harus menanggung klaim asuransi gila-gilaan yang menurut taksiran lembaga pemeringkat Fitch mencapai 2,5 miliar dolar AS (Rp36 triliun) yang sebagian besar untuk hak siar televisi dan sponsor, dan sisanya perhotelan dan akomodasi lain yang rugi berat karena tiada orang asing yang datang ke Jepang.
Sponsor yang di antaranya melibatkan 60 perusahaan Jepang, termasuk Toyota dan Panasonic, juga tak kalah rugi. Mereka total membayarkan dana sponsor 3,2 miliar dolar AS (Rp46,2 triliun).
Namun di antara semua itu, yang paling menyiksa adalah musnahnya impian menggenjot pariwisata yang sempat diproyeksikan naik empat kali lipat dari angka 30 juta turis per tahun. Semuanya lenyap ditelan pandemi virus corona.
Padahal setahun sebelum pandemi pada 2019, Jepang telah mengalokasikan hampir 4,81 triliun yen (Rp629 triliun) untuk mempermak hotel-hotel, restoran, toko dan jasa lainnya sehingga ketika Olimpiade tiba semakin banyak turis yang datang untuk kemudian menjadi cerita yang dibagikan kepada calon-calon turis setelah mereka.
Menurut Nomura Research Institute, Olimpiade normal biasanya memberikan tambahan 0,33 persen untuk produk domestik bruto (GDP) atau sekitar 1,8 triliun yen (Rp235 triliun).
Namun sepertinya Olimpiade Tokyo yang disebut Universitas Oxford di Inggris sebagai Olimpiade termahal sepanjang masa itu gagal menyuntikkan darah segar kepada perekonomian Jepang.
Ironisnya, di bawah tekanan rugi ekonomi super hebat seperti ini, Jepang tak tergoda melakukan langkah hanya demi 'balik modal'.
Padahal Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan sejumlah negara sepertinya lebih senang Olimpiade ini digelar normal atau paling tidak seperti UEFA menggelar Euro 2020 lalu.
Tapi pemerintah Jepang tak mau tergoda oleh itu. Mereka tak mau hanya karena demi investasi dan demi menggenjot pariwisata, mereka lantas sembarangan membuka pintu-pintu perbatasan demi masuknya orang asing ketika ancaman pandemi tegas meneror rakyat.
Bahkan mereka melarang atlet-atlet Olimpiade yang setiap hari dites COVID-19 dan hampir seluruhnya sudah divaksin, berkeliaran di luar Desa Atlet Olimpiade.
Pemerintah Jepang memang ngotot menyelenggarakan Olimpiade ini, tapi mereka tak ingin melakukan itu semua dengan menciptakan risiko satu pun nyawa penduduknya terenggut COVID-19.
Mereka tahu di depan mereka, sudah menunggu tagihan luar biasa besar dan kerugian luar biasa hebat. Tetapi mereka tak mau sedikit pun menyepelekan pandemi.
Hebatnya, dalam situasi-situasi super berat seperti ini, mereka berhasil menggelar acara olahraga terbesar di dunia dalam gelembung olahraga yang skalanya ratusan atau mungkin ribuan kali lebih besar daripada gelembung-gelembung olahraga lain, termasuk NBA di AS pada 2020.
Harmoni segalanya
Mereka sebaliknya telah membuat acara olahraga paling kolosal sejagat ini digelar dengan aman sekali ketika terus diintip pandemi yang merajalela di mana-mana dan varian baru virus corona yang tak meneror dunia.
Indikasinya terlihat dari sangat rendahnya angka infeksi di arena Olimpiade, yang hanya 0,01 persen.
Semua acara Olimpiade pun mulus digelar nyaris tanpa gangguan dan keluhan, sekalipun di bawah protokol kesehatan super ketat yang di antaranya mengharuskan atlet tetap dalam gelembung Olimpiade dan segera pulang ke negerinya begitu menyelesaikan kompetisi.
Tak heran Chef de mission Australia Ian Chesterman saja memuji Jepang dan bahkan akan menggunakan Olimpiade Tokyo sebagai peta jalan untuk Olimpiade Brisbane 2032.
Dia memuji daya tahan dan keterampilan Jepang dalam mengorganisasikan acara super besar ini, sampai dia memberi angka “11 untuk nilai maksimal 10" kepada Jepang.
"Tokyo sudah jelas menunjukkan organisasi dan komitmen yang hebat serta memberikan peta jalan ke depan yang lebih baik ketimbang yang kami hasilkan dari Rio (2016). Kita berterima kasih banyak kepada Jepang yang sudah menunaikan tugas yang luar biasa besar ini sehingga semua terwujud."
Padahal, mengutip Chesterman, ini bukan Olimpiade yang dimaui Jepang. Namun mereka tetap melakukannya dengan luar biasa baik sehingga para atlet pun menikmatinya.
Dan ketika Olimpiade Tokyo 2020 ditutup, mereka pun melakukannya dengan indah, santai, hangat, riang, meskipun tetap berbalut optimisme dan selimut kebanggaan nasional yang tebal sekali.
Atmosfer itu berbalikkan dengan suasana terkungkung protokol kesehatan selagi atlet berkompetisi, seolah ingin mengatakan protokol yang ketat itu juga demi kegembiraan dan kebahagiaan itu.
Kegembiraan itu bahkan mereka simbolkan dari tarian modern berlatarkan improvisasi dari karya klasik “Ode to Joy” gubahan komponis besar Ludwig von Beethoven.
Jepang memang beda, selalu ingin memadukan yang tersirat dengan tersurat dan selalu berusaha mengharmonikan segala hal, termasuk modernitas dan tradisi, seperti terlihat baik pada upacara pembukaan maupun penutupan Olimpiade tadi.
Dalam Olimpiade Tokyo, mereka mengharmonikan protokol kesehatan dan kompetisi level tinggi. Hasilnya, Olimpiade yang super-aman, yang super-sehat, tapi tak menghilangkan seru dan agungnya kompetisi olahraga.
Terima kasih Tokyo, terima kasih Jepang.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021