Jakarta, (Antaranews Kalsel) - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan perbaikan kebijakan domestik untuk menjaga fundamental ekonomi dapat membuat pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih stabil.
"Kita harus memperbaiki kebijakan domestik, supaya portofolio investasi masuk dan FDI (foreign direct investment) masuk, dengan begitu itu akan memperbaiki rupiah," katanya di Jakarta, Senin malam.
Sofyan menambahkan kebijakan ekonomi pemerintah akan diarahkan untuk memperbaiki masalah yang selama ini mengganggu kinerja ekonomi seperti tingginya biaya logistik serta ketahanan fiskal agar fundamental ekonomi tetap terjaga.
"Kita memperbaiki itu, termasuk kita jaga inflasi. Alhamdulilah, dalam dua bulan pertama telah terjadi deflasi, itu juga akan memperbaiki rupiah," ujarnya.
Ia menjelaskan belum ada yang dikhawatirkan dari depresiasi nilai rupiah, karena kondisi ini lebih dikarenakan dolar AS yang sedang menguat terhadap mata uang lainnya, sebagai imbas dari perbaikan ekonomi di Amerika Serikat.
"Rupiah melemah, karena ekonomi AS sedang bagus. Namun, kalau kita lihat, rupiah justru menguat terhadap mata uang lain seperti euro, kecuali terhadap dolar AS," katanya.
Sofyan pun meminta masyarakat melihat sisi positif dari fluktuasi rupiah yang cenderung melemah setiap harinya, karena depresiasi rupiah ini dapat meningkatkan nilai ekspor nasional, yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Sebenarnya tidak ada masalah, untuk ekspor kita malah bagus karena ada rupiah yang kompetitif terhadap perdagangan. Apalagi kita itu produknya juga cukup kompetitif," tegasnya.
Menurut dia, kondisi perlemahan rupiah ini berbeda dengan situasi ketika terjadi krisis moneter pada 1999, karena nilai rupiah waktu itu melemah dari angka kisaran Rp2.500, bukan dari nilai Rp11.900 seperti saat ini.
"1999, pada saat itu dari Rp2.500 ke Rp13.000 sehingga jadi masalah. Tahun lalu Rp11.900, jadi melemahnya hanya beberapa persen saja dan itu normal. Semua indikator masih oke," kata Sofyan.
Sementara, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, pada Senin sore, bergerak melemah sebesar 13 poin menjadi Rp12.943 per dolar AS dibandingkan sebelumnya di posisi Rp12.930 per dolar AS.
"Faktor eksternal mendominasi fluktuasi mata uang rupiah hingga sempat menyentuh level Rp13.000 per dolar AS. Tekanan rupiah itu salah satunya dipicu oleh rencana bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat kembali muncul," kata Analis PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa pelaku pasar uang menilai perbaikan perekonomian AS berjalan sesuai jalur seperti yang diharapkan The Fed, sehingga ekspektasi awal mengenai kenaikan suku bunga AS pada pertengahan tahun ini kembali mencuat./e
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015
"Kita harus memperbaiki kebijakan domestik, supaya portofolio investasi masuk dan FDI (foreign direct investment) masuk, dengan begitu itu akan memperbaiki rupiah," katanya di Jakarta, Senin malam.
Sofyan menambahkan kebijakan ekonomi pemerintah akan diarahkan untuk memperbaiki masalah yang selama ini mengganggu kinerja ekonomi seperti tingginya biaya logistik serta ketahanan fiskal agar fundamental ekonomi tetap terjaga.
"Kita memperbaiki itu, termasuk kita jaga inflasi. Alhamdulilah, dalam dua bulan pertama telah terjadi deflasi, itu juga akan memperbaiki rupiah," ujarnya.
Ia menjelaskan belum ada yang dikhawatirkan dari depresiasi nilai rupiah, karena kondisi ini lebih dikarenakan dolar AS yang sedang menguat terhadap mata uang lainnya, sebagai imbas dari perbaikan ekonomi di Amerika Serikat.
"Rupiah melemah, karena ekonomi AS sedang bagus. Namun, kalau kita lihat, rupiah justru menguat terhadap mata uang lain seperti euro, kecuali terhadap dolar AS," katanya.
Sofyan pun meminta masyarakat melihat sisi positif dari fluktuasi rupiah yang cenderung melemah setiap harinya, karena depresiasi rupiah ini dapat meningkatkan nilai ekspor nasional, yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Sebenarnya tidak ada masalah, untuk ekspor kita malah bagus karena ada rupiah yang kompetitif terhadap perdagangan. Apalagi kita itu produknya juga cukup kompetitif," tegasnya.
Menurut dia, kondisi perlemahan rupiah ini berbeda dengan situasi ketika terjadi krisis moneter pada 1999, karena nilai rupiah waktu itu melemah dari angka kisaran Rp2.500, bukan dari nilai Rp11.900 seperti saat ini.
"1999, pada saat itu dari Rp2.500 ke Rp13.000 sehingga jadi masalah. Tahun lalu Rp11.900, jadi melemahnya hanya beberapa persen saja dan itu normal. Semua indikator masih oke," kata Sofyan.
Sementara, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, pada Senin sore, bergerak melemah sebesar 13 poin menjadi Rp12.943 per dolar AS dibandingkan sebelumnya di posisi Rp12.930 per dolar AS.
"Faktor eksternal mendominasi fluktuasi mata uang rupiah hingga sempat menyentuh level Rp13.000 per dolar AS. Tekanan rupiah itu salah satunya dipicu oleh rencana bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat kembali muncul," kata Analis PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa pelaku pasar uang menilai perbaikan perekonomian AS berjalan sesuai jalur seperti yang diharapkan The Fed, sehingga ekspektasi awal mengenai kenaikan suku bunga AS pada pertengahan tahun ini kembali mencuat./e
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015